Farhan, Wali Kota Bandung: Kepemimpinan Yang Perlu Dievaluasi 

Avatar photo

Oleh: R. Wempy Syamkarya, SH., M.M
Pengamat Kebijakan Publik dan Politik

Porosmedia.com – Bandung bukan sekadar kota; ia adalah simbol peradaban, pusat sejarah, dan cermin pergerakan nasional. Dari bumi inilah lahir peristiwa-peristiwa besar yang menggema ke seluruh dunia — dari Konferensi Asia Afrika hingga geliat intelektual yang menandai Bandung sebagai kota pemikir dan pelopor perubahan.

Namun, seiring perjalanan waktu, kebanggaan itu perlahan memudar. Dalam 15 tahun terakhir, Kota Bandung menghadapi kemunduran yang terasa di banyak lini: tata kelola pemerintahan yang tidak efisien, perencanaan pembangunan yang tambal sulam, dan manajemen sumber daya yang jauh dari profesional. Di balik jargon modernisasi dan inovasi, publik justru melihat realitas yang berantakan — mulai dari krisis sampah, kemacetan, hingga minimnya pelayanan publik yang layak.

Para pendiri Kota Bandung tentu tidak pernah membayangkan bahwa kota yang dahulu menjadi simbol kemajuan kini justru tersandera oleh kepemimpinan yang kehilangan arah.
Era pemerintahan pasca-Ridwan Kamil tampaknya gagal menjaga momentum perubahan. Kini, di bawah kepemimpinan Muhammad Farhan sebagai Wali Kota Bandung, masyarakat mulai mempertanyakan arah dan efektivitas tata kelola kota.

Kritik terhadap kepemimpinan Farhan bukan semata karena ketidaksukaan pribadi, melainkan refleksi dari keresahan publik yang semakin meluas. Warga Bandung menilai, belum terlihat kebijakan yang benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat secara konkret.
Kebijakan publik sering kali berputar di level retorika, tanpa peta jalan yang jelas dan hasil yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

Baca juga:  Strategis Posisi Jabar di Zaman Kiwari?Refleksi Akhir tahun 2024: Gubernur Baru = Target Baru

Dalam teori kepemimpinan publik, seorang kepala daerah tidak cukup hanya tampil di ruang publik dan berbicara dengan narasi yang manis. Kepemimpinan yang efektif menuntut kepekaan sosial, keberanian mengambil keputusan, dan kemampuan manajerial yang solid.

Bandung sebagai kota dengan kultur urang Sunda yang ramah, kreatif, dan berjiwa komunitas, memerlukan pemimpin yang memahami nilai-nilai lokal tersebut. Sayangnya, kebijakan yang dihasilkan sejauh ini belum mencerminkan pemahaman mendalam terhadap karakter sosial masyarakat Bandung.
Ketika kebijakan tidak berpijak pada realitas sosial, hasilnya adalah kebingungan di birokrasi dan kekecewaan di masyarakat.

Retorika tanpa tindakan nyata hanya memperlebar jurang antara pemerintah dan rakyatnya. Bandung tidak membutuhkan seremoni atau slogan; Bandung membutuhkan aksi nyata dan hasil terukur.

Kepemimpinan Farhan harus dievaluasi secara objektif dan terbuka. Kritik publik yang muncul seharusnya tidak dianggap sebagai serangan politik, melainkan sebagai alarm moral agar pemerintah kota segera melakukan perbaikan.

Beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian serius antara lain:

1. Keterhubungan dengan Masyarakat
Farhan perlu lebih sering turun ke lapangan dan mendengar langsung aspirasi warga — bukan hanya melalui laporan birokrasi. Masalah seperti sampah, drainase, hingga akses ekonomi masyarakat kecil, membutuhkan solusi langsung dan bukan wacana panjang.

Baca juga:  Bupati Bandung Wajib Memelihara dan Mensejahterakan Rakyatnya

2. Kejelasan Rencana Aksi
Kota Bandung memerlukan roadmap yang konkret dan terukur. Penanganan krisis sampah, pengendalian banjir, hingga revitalisasi pasar harus memiliki target waktu dan indikator keberhasilan yang jelas.

3. Efisiensi Anggaran Publik
Penggunaan APBD harus difokuskan pada kebutuhan masyarakat. Pengeluaran seremonial dan kegiatan pencitraan harus ditekan, agar anggaran dialihkan pada infrastruktur dasar dan layanan publik yang bermanfaat nyata.

4. Kolaborasi dengan Akademisi dan Tokoh Lokal
Farhan memiliki peluang untuk mengoptimalkan potensi besar Bandung sebagai kota akademik. Mengundang ahli dari ITB, UNPAD, UNPAR, dan berbagai lembaga riset akan memperkuat kebijakan berbasis data dan solusi ilmiah, bukan intuisi semata.

5. Aksi Cepat dan Tepat
Masyarakat menunggu langkah konkret, bukan pernyataan di media. Respons cepat terhadap masalah publik akan memperkuat kepercayaan warga dan membangun kembali kredibilitas pemerintah kota.

Kepemimpinan tidak diukur dari seberapa banyak janji yang diucapkan, tetapi dari seberapa besar perubahan yang dirasakan rakyat.
Jika Bandung hari ini masih terjebak dalam masalah klasik yang sama — sampah menumpuk, tata kota semrawut, pelayanan publik tidak efisien — maka evaluasi terhadap kepemimpinan adalah keniscayaan, bukan pilihan.

Baca juga:  Satgas Yonif 323 Menggandeng Puskesmas Sinak Gempur Polio di Pedalaman Papua

Kritik publik harus dijadikan energi perubahan, bukan dianggap gangguan politik. Masyarakat berhak menyampaikan pendapatnya secara damai dan konstruktif. Farhan sebagai Wali Kota Bandung sepatutnya merangkul suara rakyat sebagai bagian dari proses perbaikan, bukan ancaman terhadap legitimasi kekuasaan.

Legasi kepemimpinan tidak dibangun dari baliho, pidato, atau acara seremonial, melainkan dari jejak karya nyata yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Warga Bandung kini menunggu bukti — bukan kata-kata.