Oleh: R. Wempy Syamkarya, SH., M.M
Pengamat Kebijakan Publik dan Politik
Porosmedia.com – Dalam sistem demokrasi lokal, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung seharusnya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. DPRD bukan hanya lembaga formal yang hadir dalam rapat-rapat seremonial, melainkan representasi masyarakat yang diberi mandat untuk mengawasi, mengontrol, dan memastikan arah pembangunan kota berjalan sesuai kebutuhan publik.
Namun dalam praktiknya, idealisme kelembagaan itu kerap berbenturan dengan realitas politik dan kepentingan kekuasaan. Fungsi DPRD yang seharusnya kuat—legislasi, anggaran, dan pengawasan—terlihat berjalan di tempat. Antara harapan publik dan kenyataan lapangan, terdapat jarak yang kian melebar.
Secara formal, DPRD memiliki kekuasaan untuk membentuk Peraturan Daerah (Perda), menyetujui atau menolak rancangan APBD, serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan kebijakan pemerintah kota.
Mereka juga memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk menyerap aspirasi masyarakat Bandung yang majemuk—dari isu lingkungan, transportasi, pendidikan, hingga kesejahteraan sosial.
Namun fungsi-fungsi itu dalam kenyataan sering kali berhenti di atas kertas. Pengawasan berjalan parsial, komunikasi dengan masyarakat minim, dan kebijakan publik lebih sering ditentukan oleh pertimbangan politik jangka pendek ketimbang analisis kebutuhan publik jangka panjang.
Kinerja lembaga ini tampak tidak seimbang dengan ekspektasi publik terhadap kualitas tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan partisipatif.
Fungsi DPRD yang tampak ideal dalam regulasi sering kali hanya menjadi slogan. Kinerjanya dinilai belum efektif dan memerlukan evaluasi menyeluruh. Beberapa penyebab mendasar yang patut dicermati antara lain:
1. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas.
DPRD sering tertutup dalam proses pengambilan keputusan, terutama terkait penggunaan anggaran dan hasil pengawasan terhadap eksekutif. Masyarakat kehilangan ruang untuk memantau dan menilai kinerjanya secara terbuka.
2. Minimnya Komunikasi Publik.
DPRD kerap tidak melakukan komunikasi efektif dengan masyarakat. Forum serap aspirasi (reses) yang seharusnya menjadi wadah dialog publik, lebih sering bersifat formalitas ketimbang ruang partisipatif yang hidup.
3. Potensi Penyalahgunaan Wewenang.
Dalam beberapa kasus di berbagai daerah, DPRD terseret dalam praktik korupsi dan penyimpangan kebijakan. Meskipun belum tentu terjadi di Bandung secara spesifik, pengawasan masyarakat perlu diperkuat agar tidak muncul celah bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Undang-undang telah menyiapkan perangkat hukum yang dapat menjerat pelanggaran oleh anggota DPRD, antara lain:
Pasal 55 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah:
Sanksi administratif dapat dikenakan bagi pelanggaran kode etik atau tata tertib DPRD.
Pasal 80 UU No. 23 Tahun 2014:
Anggota DPRD dapat diberhentikan sementara atau tetap jika terbukti melakukan tindak pidana berat seperti korupsi atau pencucian uang.
Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
Menegaskan sanksi pidana bagi setiap pejabat publik, termasuk anggota DPRD, yang terlibat dalam penyuapan, pemerasan, atau penggelapan uang negara.
Pasal 28 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik:
Menegaskan kewajiban DPRD untuk memberikan informasi publik secara akurat dan tepat waktu, serta sanksi administratif bagi pelanggarannya.
Namun perlu ditekankan, setiap penerapan sanksi harus melalui proses hukum yang adil dan transparan, dengan tetap menjunjung asas praduga tak bersalah.
Jika kondisi Kota Bandung dianggap stagnan atau tidak berjalan efektif, pimpinan dan anggota DPRD memiliki beberapa langkah strategis untuk memperbaiki keadaan:
1. Mengadakan Rapat Evaluasi dengan Pemerintah Kota guna membahas kebijakan yang tidak berjalan sesuai target.
2. Turun ke Lapangan untuk memahami langsung persoalan masyarakat dan mendapatkan data faktual di lokasi.
3. Mengajukan Interpelasi terhadap kebijakan pemerintah kota yang dinilai tidak efektif atau tidak pro rakyat.
4. Mengusulkan Revisi Anggaran (APBD) agar program pembangunan lebih tepat sasaran.
5. Menggelar Forum Publik dan Rapat Terbuka bersama masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab representatif.
6. Mengawasi Pelaksanaan Program Pemerintah Kota secara ketat agar tidak terjadi penyimpangan dan inefisiensi.
Langkah-langkah ini bukan sekadar mekanisme formal, melainkan bukti keberpihakan DPRD kepada rakyat.
Kelemahan kinerja DPRD bukan semata karena sistem, tetapi juga soal kemauan politik dan integritas personal. Tanpa transparansi, komunikasi publik, dan kejujuran politik, lembaga ini akan terus dipersepsikan jauh dari rakyat yang diwakilinya.
Padahal, kekuatan DPRD terletak pada kepercayaan publik—dan kepercayaan itu hanya lahir dari konsistensi moral, bukan dari retorika.
Masyarakat Kota Bandung menunggu perubahan konkret, bukan janji politik. DPRD harus berani mengevaluasi dirinya sendiri sebelum rakyat kehilangan keyakinan terhadap fungsi representasi.
Sebab demokrasi lokal yang sehat hanya bisa tumbuh jika lembaga perwakilan berani menatap cermin dan mengakui kelemahannya.
R. Wempy Syamkarya, SH., M.M
Pengamat Kebijakan Publik dan Politik







