Porosmedia.com – Menunda pelaksanaan Pilpres (Pemilihan Presiden) dari jadual yang telah ditentukan, itu seperti sikap melawan kodrat yang sudah menjadi kesepakatan sebelumnya, hingga sangat bisa terkesan sebagai pengkhianatan dan potensial menyulut kerusuhan.
Dari perspektif politik pun — atas nama demokrasi — tetap akan mengesankan kelahiran apa pun bentuknya — jadi pemaksaan kehendak yang hanya bisa dicegah dengan pemaksaan juga adanya.
Ibarat ingin membuang hajat yang dipaksa ditunda, semua pihak agaknya dapat memahami kondisi sulit seperti itu, bila tetap dibiarkan dilakukan oleh pihak manapun, sebab Pilpres maupun Pilkada yang ditunda itu akan mengganjal kepentingan hajat yang telah menjadi bagian dari suatu proses yang sesungguhnya tak elok untuk diundurkan atau pun diajukan.
Waktu makan siang saja, jika diundurkan saat pelaksanaannya pasti akan mengubah tatanan selera yang sesungguhnya merupaka bagian dari rachmat Allah SWT yang nyaris tak kuasa untuk dikendalikan oleh manusia.
Apalagi dengan dalih atau birahi untuk memperpanjang masa jabatan –seberapa pun waktunya — sebab tak sedikit akibat dari perubahan itu yang akan menjadi dera dan derita banyak orang dibanding mereka yang menghendaki dan mengharapkannya untuk diperlanjang atau diundurkan masa peralihan yang seharusnya sudah sepatutnya dilakukan.
Sebab dalam pergantian kepemimpinan itu — apapun jabatan yang akan digantikan — memiliki banyak harapan untuk perubaha kepada banyak hal yang bisa lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Karena artinya pergantian itu bagi orang banyak yang menaruh pengharapan dari perubahan agar dapat lebih baik dari keadaan sebelumnya, sungguh banyak. Apalagi dalam kondisi sekarang ini harapan untuk meninggalkan semua situasi dan kondisi yang serba sulit ini sudah sangat ditunggu-tunggu sejak waktu yang lama.
Tak hanya dalam beragam bentuk usaha yang susah, tapi juga suasana politik, ekonomi hingga budaya serta tatanan hidup beragama pun, sungguh mendambakan ketenteraman dan kenyamanan, sehingga untuk semua aspek kehidupan dan penghidupan bisa segera ditata kembali dengan nyaman, aman dan rasa kegembiraan yang menyenangkan.
Artinya, boleh jadi suasana yang dirasakan banyak orang sekarang ini memang tidak nyaman. Sehingga reaksi penolakan terhadap kehendak untuk memperpanjang masa jabatan apapun yang sekiranya bisa diganti sekarang ini juga, menjadi semacam keharusan bagi mereka yang menghendaki perubahan dari posisi apapun yang sedang diduduki oleh pejabat yang bersangkutan, sesuai dengan bidang atau sektor yang berkaitan dengan pekerjaan atau bidang usaha yang mereka tekuni, namun mengalami hambatan atau kesilitan akibat kebijakan yang tidak berpihak pada mereka sebagai wong cilik.
Karena selama ini wong cilik makin paham dan merasakan bahwa sesungguhnya mereka hanya sekedar dijadikan subyek pembangunan, bukan bagian dari obyek atau tujuan dari pembangunan itu yang hendak ditingkatkan kualitas serta derajat kemanusiaannya.
Oleh karena itu bisalah dipaham ditengah kepanikan rakyat yang dilanda bencana, perseteruan dan persaingan politik yang sangat pulgar tidak hirau pada dera dan derita terhadap kesengsaraan rakyat. Sejumlah bahan pangan pokok pun seperti dibiarkan menjadi pergunjingan dan keresahan warga, sementara dari sudut yang lain, rakyat diposisikan agar tetap terus menghiba hingga bisa dimanfaatkan untuk membangun pencitraan diri atau merebut simpati bagi partai politik yang dapat menghantar dirinya menggamit kekuasaan.
Tampaknya, lewat model demokradi yang jurig inilah, dasar kedaulatan rakyat Indonesia yang kropos dibangun hingga dalam waktu dekat bisa menciptakan lagi proyek baru yang berbiaya mahal untuk dientik anggarannya, seperti sejumlah proyek mercu suar yang nyaris tidak memberi manfaat apa-apa untuk rakyat.
Seperti Pemilu hingga Pilkada misalnya, bisalah diurai muatan nilai pendidikan politiknya bagi rakyat, apakah sungguh sudah setimpal dengan ongkosnya yang sangat wah dan spektakuler mahak nilainya itu ?
Kalau pun terjadi peningkatan pengetahuan dan kecerdasan politik bagi rakyat kebanyakan pada level bawah, itu semua mereka peroleh dari pengalaman empiris secara otodidak, atas sikap perlawanan budaya, bukan atas jasa pendidikan politik langsung yang bisa mereka peroleh dari jasa kaderisasi partai. Karenanya, pergolakan politik di Indonesia pun wajar bila masih bertumbuhan dalam polanya yang liar. (Jacob Ereste/jt)
Jakarta, 5 Maret 2022