Porosmedia.com, Bandung – Ada yang menggelitik ketika kita menyimak narasi politik hari ini. Seolah-olah, publik diminta percaya pada satu layar ponsel pintar yang memuat senyum pejabat, program-program bertema populis, dan kata-kata bijak yang disunting manis. Lalu publik diminta ikut memencet tombol “like”, “follow”, dan “subscribe”. Apakah itu cukup untuk disebut transparansi?
Di tengah gemuruh era media sosial, sejumlah pejabat publik—termasuk Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM)—tampak lebih memilih berbicara langsung ke publik melalui kanal-kanal personal: YouTube, TikTok, dan Instagram. Tak ada jurnalis. Tak ada sesi wawancara terbuka. Tak ada laporan kritis dari pers. Apakah ini bentuk komunikasi modern, atau justru tanda awal dari matinya ruang kontrol publik?
Dalam pidato pelantikannya, KDM berulang kali mengangkat frasa “kembali ke rakyat”, “menyederhanakan birokrasi”, dan “menata ulang komunikasi politik”. Namun, yang menggelisahkan adalah absennya kemitraan sistemik antara dirinya dengan komunitas pers lokal—bahkan cenderung menafikan.
Padahal, dalam sejarahnya, kemajuan demokrasi di Indonesia tak pernah lepas dari peran pers. Dari masa reformasi hingga era digital, media memainkan peran penting sebagai penjaga nurani publik. Namun kini, ketika ruang redaksi digantikan oleh studio mini pribadi dan konferensi pers dikerdilkan menjadi unggahan Reels atau Shorts, kita patut bertanya: apakah ini langkah maju, atau mundur dalam selubung kemasan digital?
Kang Dedi Mulyadi adalah figur yang unik. Cerdas, orator ulung, dan dekat dengan simbol-simbol budaya Sunda. Popularitasnya tak diragukan, apalagi setelah dia membangun narasi personal melalui kanal YouTube-nya yang penuh kisah humanis, humor satir, dan citra kerakyatan. Namun dari sisi komunikasi publik, apa yang KDM lakukan tak ubahnya monolog: ia berbicara, merekam, mengunggah, lalu ditonton.
Bagi sebagian orang, itu cukup. Namun bagi jurnalis, aktivis, dan pegiat keterbukaan informasi, pendekatan ini rawan mengebiri ruang klarifikasi, kritik, dan koreksi.
Dalam salah satu forum jurnalis di Bandung (yang enggan disebut namanya), seorang wartawan senior mengungkapkan kekecewaannya:
“Gubernur sekarang enggak pernah bikin press conference terbuka. Semua serba video. Kita enggak pernah tahu siapa penulis naskahnya, siapa yang mengecek faktanya. Kalau begitu, buat apa kami ada?”
Di era Soeharto, rakyat hanya tahu apa yang pemerintah ingin mereka tahu. Barulah ketika pers bebas tumbuh pasca-reformasi 1998, publik mengenal dimensi lain dari kekuasaan: penyalahgunaan wewenang, ketimpangan pembangunan, hingga skandal politik.
Kini, jika pejabat memilih menutup diri dari pers dan hanya tampil dalam sketsa digital yang ia kendalikan sendiri, maka kita sedang menyaksikan “represi gaya baru”—tanpa pelarangan, tanpa pembredelan, tapi dengan cara mematikan akses informasi kritis.
Berikut adalah beberapa risiko dari pejabat publik yang menafikan pers:
Tidak ada mekanisme klarifikasi dua arah.
Praktik pencitraan tidak terbendung.
Rakyat kehilangan referensi informasi yang objektif.
Wartawan kehilangan fungsi kontrol sosialnya.
Isu-isu publik menjadi personalisasi tokoh, bukan kebijakan.
Contohnya, saat terjadi kisruh pengadaan proyek infrastruktur di beberapa kabupaten, tidak ada pernyataan resmi dari Pemprov. Tidak ada sesi tanya jawab dengan wartawan. Yang muncul hanyalah video penjelasan berdurasi dua menit di TikTok sang gubernur, tanpa data pembanding atau penelusuran investigatif.
Ironisnya, banyak tokoh yang dulunya dibesarkan oleh liputan media kini justru menafikan keberadaan pers. Dalam sejarah karier KDM, sejumlah koran lokal dan jurnalis investigatif pernah mempopulerkan program-program sosialnya sejak ia menjadi Bupati Purwakarta. Kini, ketika sudah di puncak kekuasaan, ia justru memilih menjauh.
Padahal, menurut pakar komunikasi politik dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Dr. Tedi Priatna, M.Si, kehadiran media adalah “filter penting dalam menyampaikan narasi kekuasaan kepada publik.”
“Tanpa media yang independen, pejabat bisa membentuk narasi sepihak yang justru berbahaya bagi demokrasi. Media itu bukan musuh kekuasaan, tapi mitra untuk menjaga akuntabilitas,” ujarnya.
Bukan berarti pejabat tidak boleh menggunakan media sosial. Namun, penggunaan media sosial harus menjadi pelengkap, bukan pengganti. Dialog tetap perlu, kritik harus diberi ruang, dan jurnalisme harus dihormati.
Ketika pejabat lebih takut dikritik daripada salah langkah, maka kita semua dalam bahaya. Demokrasi bukan hanya soal dipilih lewat pemilu, tapi juga dikontrol setiap hari oleh nalar publik—dan itu peran utama pers.
Sebagaimana listrik butuh kabel untuk menyalur, maka kekuasaan juga butuh pers untuk menyalurkan kebenaran. Jika semua dikendalikan oleh satu tangan—kamera, naskah, suara, bahkan filter wajah—maka yang tersisa hanyalah sandiwara. Demokrasi berubah menjadi sinetron. Dan rakyat? Hanya menjadi penonton yang dibatasi layar.
Maka hari ini, lebih dari sebelumnya, kita harus bertanya:
Apakah kita ingin jadi penonton? Atau penjaga?