Suhu dan Kegaduhan Politik

Oleh : Dwi Mukti Wibowo

Avatar photo

Porosmedia.comUmum, Ada sejumlah potensi yang perlu diwaspadai oleh kita semua. Yaitu memanasnya suhu politik dan kegaduhan politik menjelang pemilu. Sebenarnya wajar, karena di setiap penyelenggaraan pemilu di Indoneasia selalu diawali dengan memanasnya suhu politik. Yang berpotensi menciptakan suasana gaduh baik menjelang, selama, hingga pasca penyelenggaraan pemilu. Secara harfiah “gaduh” bermakna rusuh dan gempar karena perkelahian (percekcokan dan lain sebagainya), ribut atau menimbulkan keributan. Makna “gaduh”’ ini akan menjelaskan “politik gaduh” di Indonesia yang dikaitkan dengan bagaimana dinamika demokratisasi di Indonesia yang menunjukkan ke arah harapan publik yang mesti disikapi secara responsive.

Realitas politik “gaduh” saat ini harus dipandang sebagai mekanisme demokrasi yang makin sehat, sehingga ’kegaduhan politik’ yang diakibatkan akan mendewasakan sikap serta perilaku politik dan demokratisasi di Indonesia. Memang disadari jika kegaduhan politik saat ini akan menjadi sebuah kondisi yang sulit dan dilematis. Karena momentum Pemilu 2024 tepat terjadi di era ketika kita tengah berupaya melakukan recovery di era normal baru. Maka tidak dapat dipungkiri jika kondisi pemulihan ekonomi paska pandemi Covid-19 masih sulit karena bersamaan dengan beban dan himpitan ekonomi saat ini. Yang terdampak secara langsung maupun tak langsung akibat ‘kegaduhan politik’. Belum lagi beban dari ancaman global seperti resesi ekonomi, bencana alam, imbas perang Rusia – Ukrania dan bencana lainnya.

Terkait dengan suhu politik, Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono memprediksi jika suhu politik akan semakin panas karena situasi politik sudah mulai bisa dirasakan saat ini. Riak-riaknya sudah mulai terasa. Apalagi di tahun 2024 nanti pasti suhu politik akan semakin panas. Karena itu, para penjabat kepala daerah harus bisa mengantisipasi potensi kerawanan dan ‘kegaduhan politik’ yang muncul dalam setiap tahapan Pemilu. Pasalnya, saat ini polarisasi di tengah masyarakat cukup tinggi. Terlebih, polisi masih menemukan polarisasi karena politik identitas yang ditengarai bisa menyebabkan disintegrasi bangsa. Dan kalau terus dibiarkan, dan kita tidak mampu mengelolanya dengan baik, maka ‘kegaduhan politik’ adalah sebuah keniscayaan.

Baca juga:  Demam Berburu Harta Karun Digital, Fenomena Jagat Coin Hunt yang Menyerbu Kota-Kota Besar

Potensi Kerawanan Sosial

Belajar dari pengalaman, potensi kerawanan sosial dimulai dari kegaduhan akibat kampanye hitam, politik identitas, ujaran kebencian, hingga berita-berita hoaks yang beredar selama proses pelaksanaan Pemilu. Memang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus disikapi secara tegas, dan segera. Karena di tahun politik, situasi akan tambah memanas setiap waktunya, sehingga kita perlu cooling down dan mengatur strategi yang kondusif secara equal treatment. Karena kita menyadari dalam iklim demokrasi orang boleh berbeda pilihan. Namun, jangan sampai perbedaan pilihan itu sampai menyebabkan perpecahan dan disintegrasi. Salah satu masalah yang perlu menjadi perhatian adalah politik identitas yang saat ini ditengarai sebagai antitesa keberlanjutan pembangunan yang dicanangkan oleh incumbent. Selain itu, politik identitas digunakan sebagai ajang mencari massa oleh para pemangku kepentingan. Dalam hal ini, para elite politik menggunakan kesamaan suku, agama, ras dan etnik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Dikhawatirkan secara lambat laun ‘kegaduhan politik’ ini akan mencederai demokrasi. Karena banyak hoax dan ujaran kebencian berbau SARA yang ditunjukkan dengan harapan lawan politik kehilangan dukungan masyarakat

Beberapa Faktor Pemicu Kegaduhan Politik

  1. Munculnya kelompok radikalisme yang berusaha memecahbelah, mengadu domba, anti keberagaman, dan intoleransi. Serta kelompok tertentu lainnya yang membuat ruang publik mulai riuh dipenuhi oleh umpatan, sehingga suhu politik mulai memanas.
  2. Kontroversi sistem pemilu dengan opsi proporsional tertutup atau proporsional terbuka yang menjadi salah satu faktor memanasnya suhu politik. Meskipun pada akhirnya MK yang memutuskan untuk mempergunakan sistem proporsional terbuka. Dengan konsekwensi Deni Indrajaya sebagai pesakitan sekaligus tumbal karena tuduhan pembocoran rahasia negara.
  3. Wacana yang menginginkan pengunduran pelaksanaan Pemilu akan menjadi bumerang yang kontra produktif. Dan membuat dinamika politik mengalami stagnasi dan membuat sistem demokrasi Indonesia berjalan mundur, karena ada indikasi menyalahi UU Pemilu.
  4. Banyak elite partai-partai yang diduga terlibat masalah dan dapat memunculkan huru-hara politik yang mengancam stabilitas serta keamanan. Juga makin terbukanya kompetisi antar partai menuju Pemilu 2024. Akibatnya, banyak kepentingan ekonomi dan politik rakyat yang terabaikan.
  5. Antara legislatif dan eksekutif tidak saling memperkuat satu dengan lainnya. Mereka cenderung menyubordinasi demi kepentingan politik sesaat. Fungsi representasi yang mestinya ditunjukkan legislatif melalui para politikus di DPR akhirnya batal dilakukan akibat kuatnya tarikan kepentingan partai dan golongan demi kekuasaan semata.
  6. Hingga kini aktivitas politik belum menghasilkan energi positif dan gagal menghasilkan pemerintahan yang efektif dan kuat. Banyak program terhambat oleh interupsi politik yang dilakukan secara intensif. Sumbernya adalah ketidakmatangan para elite politik dan keengganan partai dalam memperbaiki atau mereformasi dirinya.
  7. Parpol belum sepenuhnya melakukan kewajiban pendidikan politik dan atau moral politik yang memadai terhadap kader-kadernya. Sementara, tidak sedikit masyarakat yang dininabobokan atau malah terjerumus dalam permainan politik uang (money politic) melalui vote buying (pembelian suara) dalam pemilu atau pemilukada.
  8. Para kontestan agar dilarang membuat isu-isu politik yang tidak baik terutama isu-isu politik identitas yang mengedepankan isu politik SARA. Para kontestan yang memiliki rekam jejak tidak baik dan terlibat dalam pelanggaran norma hukum, norma sosial serta norma kepatutan di pemilu sebelumnya agar diseleksi secara ketat dengan tambahan pakta integritas.
  9. Bagi Penjabat gubernur, bupati, dan wali kota yang masa jabatannya akan berakhir sebelum 2024 agar segera disiapkan dan diseleksi dengan baik. Seleksi figur-figur pejabat daerah ini harus betul-betul dilakukan dengan baik, yang capable, memiliki leadership yang kuat dan mampu menjalankan tugas yang berat di tengah situasi ekonomi global yang tidak mudah,
Baca juga:  Prestise dan Profesional, Ini Manfaat Punya Gelar Doktoral (S3)

Beberapa Hal yang Perlu Disimak

  1. Dalam iklim demokrasi yang makin sehat diperlukan oposisi yang esensial dengan adanya mekanisme check and balance, yang tidak berarti hanya to oppose, tetapi juga to support. Ada kekuatan pemantau dan pengimbang. Disinilah politik identitas harus bisa berperan sebagai penyeimbang.
  2. Potensi ’politik gaduh’ akan mengancam keputusan Capres dan Cawapres 2024. Kegaduhan disebabkan acrobat politik para Ketua Partai Koalisi yang mendeklarasikan dukungan politiknya kepada Prabowo menjadi Capres 2024. Meninggalkan Ganjar Pranowo, Capres besutan PDIP. Manuver yang sarat dengan ambisi politik ini dikhawatirkan akan memanas.
  3. Jargon-jargon intoleran, dan anti keberagaman sejatinya hanyalah alat politik pihak-pihak tertentu. Perlu kesadaran dari masyarakat, termasuk para elite politik untuk memberikan edukasi politik yang masif kepada masyarakat dan para kontestan politik, agar tidak terprovokasi oleh kepentingan-kepentingan politik yang tidak bermanfaat.
  4. Kita memerlukan kebijakan komunikasi politik yang mampu menyuarakan kebijakan untuk menjaga posisi kekuatan dan kekuasaan politik kelompok masing-masing kepentingan. Agar berbagai kebijakan politik tidak menimbulkan kegaduhan berupa kehebohan dan keributan ke arah “politik gaduh”.
Baca juga:  Pangdam III/Slw Jamin Keamanan Kunker Presiden

Akhir kata, sebelum adanya pemilu presiden dan pemilu legislative bulan Februari 2024, proses kandidasi presiden dan konfigurasi partai-partai akan membawa politik semakin memanas. Sebagai warga yang baik, kita harus ikut menjaga demokrasi dan moralitas politik di Indonesia. Agar suhu politik tidak semakin memanas dan menimbulkan ‘kegaduhan politik’ yang berujung pada situasi chaos dengan tindakan anarki. Kita paham, jika peta politik pileg dan pilpres di Indonesia memang unik dan dinamis sehingga ada benarnya adagium yang menyebut ‘tidak ada kawan dan lawan politik yang abadi, yang abadi adalah kepentingan harus dimaknai dengan benar. Kalau tidak, ‘kegaduhan politik’ dikhawatirkan menjadi branding baru demokrasi kita.

(Dwi Mukti Wibowo, Pemerhati masalah Politik, Ekonomi dan Kemanusiaan)