Oleh: Dimas Setyawan*
Porosmedia.com – Kiai Kholil adalah satu dari sekian guru Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, ketika belajar di tanah Madura. Selain menjadi guru dari pendiri NU, Kiai Kholil juga menjadi guru dari para ulama di Nusantara, seperti KH. Wahab Hasbullah (Tambakberas) KH. Abdul Karim (Lirboyo) KH. As’ad Syamsul Arifin (Situbondo) dan masih banyak lainnya.
Bahkan, Kiai Kholil menjadi juga sosok penentu dari pendirian Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, yang saat ini memiliki ribuan masa baik di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Hal yang menarik dari sekian kisah Kiai Kholil, yang sering kali menjadi sorotan ialah megenai karomah yang beliau miliki. Sebagai seorang waliyullah yang memiliki banyak karomah, karomah-karomah beliau layaknya suatu dongeng yang diceritakan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Salah satu dari sekian karomah beliau ialah cerita tentang beliau menitipkan sepucuk surat kepada salah seorang jamaah haji, untuk anjing hitam yang berada di Mekkah.
Ceritanya bermula pada suatu ketika musim haji tiba. Di daerah Madura, khususnya daerah Bangkalan -tempat tinggal Kiai Kholil-, bagi setiap calon jamaah haji yang hendak berangkat ke tanah suci, melakukan sowan terlebih dahulu kepada alim ulama setempat. Dan salah satunya ialah si Fulan yang menyempatkan diri sowan terlebih dahulu kepada Kiai Kholil, sebelum melaksanakan rukun Islam ke-lima tersebut.
Ketika melihat di antara tamu terdapat si Fulan, maka Kiai Kholil pun segera menyuruhnya mendekat dan berkata, “Fulan, ini surat. Sesampainya kamu di Masjidil Haram, tolong sampaikan surat ini kepada anjing hitam,” pesan Kiai Kholil kepada si Fulan dengan datar. “Iya, Kiai. Saya akan menyampaikan surat ini,” jawab si Fulan tanpa berani menatap dan bertanya alasan Kiai Kholil menyuruhnya melakukan demikian.
Seusai sowan kepada Kiai Kholil, Fulan pun langsung pulang ke rumahnya. Dengan segenap pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Namun, semua kecamuk itu akhirnya dibenamkan saja karna rasa hormat Fulan kepada Kiai Kholil.
Hari keberangkatan pun tiba. Dengan niat yang ikhlas dan suci, Fulan berangkat ke Tanah Suci. Sesampainya di Makkah. Fulan pun menunaikan ibadah hajinya dengan baik. Fulan belum tenang jika amanat yang dipesankan oleh Kiai Kholil belum terselesaikan.
Fulan pun segera pergi ke halaman Masjidil Haram. Terdorong oleh patuh kepada sosok Kiai Kholil, maka Fulan pun ingin segera menyampaikan pesan yang sangat aneh ini. Akan tetapi, bagaimana caranya?
Tak disangka-sangka, di tengah merenung itu, tiba-tiba di depannya sudah berdiri seekor anjing hitam. Tanpa berpikir panjang, Fulan segera mengambil surat yang berada di sakunya. Seketika itu juga, ia sodorkan surat itu kepada anjing hitam.
Telinga anjing itu bergerak-gerak, lalu sang anjing menggigit surat itu pelan-pelan. Beberapa saat anjing itu menatap tajam si Fulan seolah-olah ingin mengungkapkan rasa terima kasih kepada si Fulan.
Setelah itu, dengan langkah cukup tenang dan berwibawa, sang anjing hitam itu melangkah pergi meninggalkan Fulan yang masih diam terpana. Dipandanginya anjing itu hingga tidak terlihat lagi dari pandangan matanya. Fulan merasa lega sebab amanat yang tak dapat dipahami itu sudah ditunaikan.
Waktu melaksanakan haji pun usai, dan seluruh jamaah haji yang dari berbagai seantero dunia, kembali ke tanah kelahirannya masing-masing. Dalam perjalanan pulang menuju Bangkalan, Fulan menyimpan banyak pertanyaan mengenai persitiwa yang baru saja ia alami di tanah suci Mekkah. Oleh sebab itu, setibanya di Bangkalan, pertama kali yang ditemuinya adalah Kiai Kholil.
“Sudah disampaikan surat saya, Fulan?” kata Kiai Kholil menyambut kedatangan Fulan. “Sudah Kiai,” tegas Fulan lega. “Tapi, Kiai,” kata Fulan agak tersendat-sendat.
“Ada apa, Fulan?” kiai melihat kebingungan yang menyelimuti wajah si Fulan. “Kalau boleh bertanya, mengapa Kiai mengirim surat kepada anjing hitam?” Tanya si Fulan masih terheran-heran.
“Fulan, yang kamu temui itu bukan sembarang anjing. Dia adalah salah seorang wali Allah yang menyamar sebagai anjing hitam yang menunaikan ibadah haji tahun ini,” jelas sang Kiai Kholil.
Mendengar keterangan dari kiai kharismatik tersebut, Fulan baru bisa memahami maksud atas kejadian yang baru saja ia alami. Sembari manggut-manggut, Fulan kembali mengenang saat-saat anjing berhadapan dengan dirinya.
*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng.
**Tulisan ini dilansir dari: Buku karya Muhammad Rifa’i. Judul “KH. M Kholil Bangkalan”