Heboh Proyek Metaverse, Benarkah Ibadah Bisa Virtual?

Heboh Proyek Metaverse, Benarkah Ibadah Bisa Virtual?
Peluncurkan Inisiatif Hajar Aswad Virtual di Arab Saudi pada 13 Desember 2021.(Facebook/ Haramain Sharifain)

Porosmedia.com – Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate mengatakan pemerintah tengah menyiapkan regulasi untuk mendorong media agar lebih berdaya dan memberdayakan masyarakat. Hal ini merespons kehadiran teknologi digital seperti augmented reality, virtual reality, metaverse, artificial intelligence, dan 5G.

“Salah satu tujuannya untuk menjembatani orientasi bisnis serta jurnalistik, agar kemajuan dan pemanfaatan teknologi digital dapat berjalan secara optimal, selain itu manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat,” kata Johnny.

Menurut Johnny, Indonesia saat ini sudah memiliki payung hukum yang memadai untuk mengantisipasi perkembangan teknologi digital, diantaranya Undang-undang (UU) Nomor II Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang saat ini sedang yuridisial review di Mahkamah Konstitusi. Pengesahan UU tersebut, menurut dia, dapat mempercepat proses big data, cloud computing, digitalisasi media penyiaran. Melalui regulasi yang ada, Johnny mengatakan konten informasi yang disiarkan jurnalis dapat terdigitalisasi. Kondisi itu membuat cakupan penyebaran lebih luas dan kualitas siaran menjadi lebih baik (CNNIndonesia.com, Selasa, 08/02/2022).

Melansir Kompas.com, Selasa, 15/02/2022, metaverse sendiri adalah suatu teknologi augmented reality (AR) yang memungkinkan individu untuk berinteraksi dengan individu lainnya secara virtual. Metaverse kerap diartikan sebagai simulasi dunia nyata manusia yang diimplementasikan di dunia maya atau internet. Dalam metaverse, pengguna dapat membuat avatar sesuai keinginannya.

Avatar 3D adalah replika atau gambaran pengguna dalam bentuk animasi 3D. Avatar ini dapat digunakan sebagai representasi pengguna di internet. Di metaverse, pengguna dapat melakukan kegiatan apa saja dalam bentuk virtual seperti berkumpul atau mengadakan rapat, bekerja, bermain, mengadakan berbagai acara, mengikuti konser, berbelanja online, hingga membeli sebuah properti digital.

Peluncuran Proyek Hajar Aswad Virtual

Sementara itu, Arab Saudi tengah mencoba cara baru yang membuat Ka’bah di Masjidil Haram, Mekah dapat dikunjungi secara virtual dalam konsep metaverse. Kunjungan virtual ini dilakukan menggunakan alat realitas virtual (VR). Salah satu ritual penting ibadah haji adalah menyentuh dan mencium batu hitam Hajar Aswad, yang juga merupakan titik awal dan akhir dalam Tawaf, atau ritual ibadah mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali.

Baca juga:  Konsep Batil Penanganan Pandemi Akan Selalu Berujung Pada Kegagalan

Tingginya jumlah jemaah yang melaksanakan haji membuat Tawaf dan mencium Hajar Aswad menjadi sesuatu yang tidak mudah dilakukan. Perkembangan teknologi yang menghadirkan Ka’bah di metaverse disebut menjadi salah satu solusi untuk memberikan pengalaman ibadah yang didambakan setiap umat muslim tersebut.

Otoritas Departemen Tempat Suci Islam di Arab Saudi mengumumkan peluncuran proyek ‘Hajar Al-Aswad Virtual’ di mana batu hitam suci tersebut kini dapat disentuh secara virtual melalui teknologi VR. Proyek Hajar Al-Aswad Virtual diluncurkan oleh Sheikh Abdurrahman Al Sudeysi, Kepala Urusan Dua Masjid Suci Arab Saudi. Proyek ini menghadirkan dunia simulasi yang terdiri dari situs ziarah utama umat muslim di Mekah. Jemaah kini dapat melihat dan menyentuh batu suci di Masjidil Haram tersebut secara virtual sebelum ziarah ke Mekah (CNNIndonesia.com, Selasa, 08/02/2022).

Sah-kah Ibadah Haji Virtual dengan Metaverse?

Kementrian Agama Turki atau yang lebih sering disebut Diyanet menyatakan bahwa mengunjungi Ka’bah di metaverse tidak dianggap sebagai ‘ibadah haji sebenarnya’. Pernyataan tersebut muncul setelah diskusi panjang yang berlangsung selama satu bulan. Diyanet menyatakan pada Selasa (1/2), bahwa mengunjungi Ka’bah secara virtual tidak akan dihitung sebagai ibadah.

“(Ibadah haji di metaverse) ini tidak dapat terjadi,” kata Remzi Bircan, Direktur Departemen Layanan Haji dan Umrah Diyanet, seperti dikutip dari Hurriyet Daily News. “Orang-orang beriman dapat mengunjungi Ka’bah di metaverse, tetapi itu tidak akan pernah dianggap sebagai ibadah yang benar,” ujar Bircan. “Kaki mereka harus menyentuh tanah (Ka’bah),” imbuhnya.

Senada dengan pernyataan Kementrian Agama Turki, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan rencana Arab Saudi yang akan menghadirkan platform metaverse untuk melihat maupun mengelilingi Ka’bah melalui virtual reality (VR) mesti dimaknai hanya sebagai simulasi ibadah haji semata.

Baca juga:  Resmi, Keppres Biaya Haji 1445 H Terbit, Catat Besaran dan Tahapan Pelunasannya

“Platform itu harus dimaknai secara positif untuk memudahkan calon jemaah haji dan calon jemaah umroh untuk meng-’eksplore’ lokasi-lokasi di mana nanti akan dilaksanakan aktivitas ibadah dengan mengetahui secara presisi di mana lokasi Ka’bahnya.” ujar Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam di Jakarta, Jum’at.

Asrorun mengatakan, upaya digitalisasi dalam platform metaverse merupakan bagian dari perkembangan teknologi yang bersifat muamalah. Artinya, teknologi itu dapat memudahkan para calon jemaah untuk mengenal lebih dalam lokasi-lokasi ibadah sebelum nantinya mereka pergi langsung ke tanah suci untuk berhaji. Dengan demikian, kata Asrorun, melihat atau mengelilingi Ka’bah dengan menggunakan teknologi secara metaverse merupakan hal yang baik, tetapi tidak dapat dikatakan sedang berhaji karena tak memenuhi syarat-syarat haji.

Ia mengatakan, pelaksanaan ibadah haji harus hadir secara fisik di tempat-tempat yang ditentukan, seperti di Padang Arafah, Muzdalifah, Mina, Ka’bah, Shafa dan Marwa. Selain itu, waktu pelaksanaannya telah ditentukan, yakni digelar pada bulan Dzulhijjah (m.antaranews.com, Sabtu, 12/02/2022).

Metaverse, Jebakan Kapitalisme

Perkembangan teknologi memang mengubah fokus masyarakat yang awalnya berada di dunia nyata menjadi beralih ke dunia maya. Terutama dengan keberadaan metaverse yang memungkinkan segala kegiatan untuk dilakukan di dunia maya melalui augmented reality atau virtual reality (VR). Tak bisa dipungkiri, dengan keberadaan pandemi Covid-19 yang membatasi pergerakan manusia di luar rumah, metaverse dan program dunia maya lainnya dianggap menjadi solusi pelaksanaan berbagai kegiatan outdoor.

Namun, benarkah demikian?

Pada dasarnya keberadaan teknologi virtual seperti metaverse lahir dari sistem kapitalisme sebagai salah satu perwujudan dunia hiburan. Sistem Kapitalisme itu sendiri telah menyebabkan tingkat stres yang melanda masyarakat begitu tinggi, sehingga permintaan akan acara hiburan menjadi meningkat. Sesuai dengan asas manfaat yang menjadi landasan perbuatan dalam sistem ini, maka segala sesuatu yang dilakukan oleh Sistem Kapitalisme bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Baca juga:  Kemenag Buka Pendaftaran Calon Anggota BPKH Dibuka 10 - 18 Februari 2022

Demikian pula dengan teknologi metaverse. Perkembangan teknologi ini dilakukan pada dasarnya demi kepentingan kaum elit oligarki global, sedikit pun bukan untuk kepentingan rakyat, apalagi mempermudah ibadah masyarakat. Sehingga jelas bahwa teknologi metaverse tak bisa menjadi pengganti ibadah haji, apalagi ritual sakral mencium Hajar Aswad.

Islam Solusi Ibadah Haji Mudah, Bukan Metaverse

Ibadah haji adalah kebutuhan mutlak bagi umat Islam. Sudah barang tentu kemudahan akses ibadah haji menjadi suatu urgensi bagi masyarakat, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Itu pun bukanlah ibadah haji virtual, namun ibadah haji yang nyata dilakukan menuju perjalanan tersendiri ke Baitullah. Sayangnya di Indonesia sendiri, pelaksanaan ibadah haji bagaikan sesuatu yang dipersulit lantaran waktu tunggunya saja saat ini mencapai hingga 30 tahun lebih.

Sangat berbeda ketika di zaman Sistem Islam masih berkuasa. Sultan Abdul Hamid II pernah marah besar ketika mengetahui bahwa umat Islam di Indonesia tidak bisa melaksanakan ibadah haji. Beliau saat itu segera mengirim bantuan untuk mempermudah ibadah haji bagi umat muslim di Nusantara. Terbukti bahwa solusi terbaik dalam pelaksanaan ibadah adalah dengan penerapan kembali Sistem Islam secara kaffah. Bukan penerapan teknologi yang berlebihan, apalagi hingga salah kaprah dalam pelaksanaan ibadah. Wallahu’alam bisshawwab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *