Porosmedia.com, Parongpong, Kab. Bandung Barat – Di balik kemegahan sejarah kekayaan yang membentang dari Sabang hingga Merauke, nama Nyimas Entjeh als Osah—atau dikenal juga sebagai Siti Aminah, Justina Regent, hingga Marie—adalah salah satu sosok yang begitu legendaris. Ia merupakan istri dari Tuan Henry Van Blommestein, bangsawan berdarah Eropa yang dikenal sebagai pengelola lahan dan aset-aset besar sejak masa kolonial.
Namun, nasib peristirahatan terakhir perempuan yang disebut-sebut sebagai orang terkaya se-Nusantara ini justru sangat memprihatinkan. Makamnya yang terletak di Blok Katumbiri, Kampung Cihanjuang Rahayu, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, kini berada dalam kondisi kumuh, tidak terawat, dan terjepit di halaman belakang milik seorang pengusaha peternakan ayam.
Ironisnya, di tengah riuh rendah gugatan soal warisan dan kepemilikan harta peninggalannya—yang disebut tersebar di beberapa provinsi di Indonesia—makam sang pemilik kekayaan justru nyaris luput dari perhatian. Nyimas Entjeh wafat pada 5 Januari 1944, dan dimakamkan di atas lahan dengan status Hak Eigendom Verponding No. 3155 berdasarkan Akte Notaris Mr. H.J.J. Lamers di Bandoeng No. 145, tertanggal 25 April 1935. Lahan tersebut memiliki luas lebih dari 1,8 juta meter persegi (1.840.411 m²) berdasarkan Surat Ukur/Meetbrief No. 320/1916 tertanggal 27 Juni 1916.
Makam tersebut berdampingan dengan makam menantunya, Mr. Johan Frederik Tjassens Keiser, dan semula berada di wilayah Desa Cihanjuang, kini dikenal sebagai Desa Cihanjuang Rahayu. Dahulu, lokasi ini diyakini sebagai bagian dari sentral ekonomi dan kepemilikan tanah milik kerajaan dan kesultanan yang didaftarkan menjadi akta-akta kolonial, seperti Eigendom Verponding dan Land Transfer Agreement era pra-kemerdekaan.
Persoalan menjadi lebih rumit saat muncul berbagai pihak yang mengklaim sebagai ahli waris dari Nyimas Entjeh. Mereka sibuk mengajukan gugatan atas harta peninggalan yang nilainya ditaksir triliunan rupiah. Namun tak satu pun dari mereka tampak memedulikan kondisi makam leluhur yang mereka perjuangkan namanya.
Salah satu pihak yang kini angkat bicara adalah Lukman Ny. R. Purba, penerima testament (wasiat terbuka) dari Ny. Mona Lilie Van Blommestein, yang merupakan anak kandung Ir. Otto Van Blommestein. Penyerahan testament tersebut dilakukan pada 26 Juni 2018 di hadapan notaris di Belanda, dan kabarnya sudah diketahui oleh pihak Pemerintah Republik Indonesia.
“Saya baru mengetahui bahwa di wilayah Cihanjuang Rahayu terdapat makam beliau (Nyimas Entjeh). Sebagai penerima testament, saya akan menempuh langkah hukum berupa somasi kepada semua pihak yang telah menguasai lahan secara tidak sah, termasuk terhadap kantor ATR/BPN Kabupaten Bandung Barat dan pemerintahan desa setempat,” ujar Lukman.
Sosok budayawan sekaligus pemerhati sejarah lokal, Bah Wawan atau Aki Sancang, turut menyuarakan keprihatinannya. Ia menilai bahwa makam Nyimas Entjeh tidak bisa dilihat semata sebagai tempat peristirahatan terakhir, melainkan juga sebagai bagian dari bukti sejarah penting atas eksistensi kerajaan, kesultanan, dan aset-aset kolateral yang berhubungan dengan dana amanah bangsa.
“Makam ini seharusnya dijadikan monumen prasasti atau bahkan ditetapkan sebagai situs cagar budaya, karena keberadaannya tidak terlepas dari sejarah kepemilikan aset tanah zaman kolonial yang sangat mempengaruhi struktur agraria dan keuangan negara hari ini,” ujar Aki Sancang.
Situasi ini menunjukkan ironi besar: harta kekayaan yang berserakan diperebutkan dengan sengit, namun pusara yang menjadi pengingat sejarah dan asal-usulnya dibiarkan terbengkalai. Padahal, sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati leluhurnya.
Publik pun kini berharap agar pemerintah daerah, lembaga kebudayaan, hingga Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat turun tangan. Tidak hanya untuk melindungi situs makam tersebut, tetapi juga menggali kembali narasi besar yang tersimpan di balik nama Nyimas Entjeh als Osah—perempuan kuat dengan jejak kekuasaan ekonomi lintas generasi dan lintas bangsa.







