Oleh: R. Wempy Syamkarya, SH., M.M.
Porosmedia.com, Bandung – Gempuran masalah mendasar yang melilit Kota Bandung — mulai dari krisis sampah, banjir yang kian kronis, hingga jalan berlubang di mana-mana — muncul gagasan ambisius bertajuk “Trotoar Berkelanjutan.”
Konsep yang sekilas tampak modern ini digadang-gadang sebagai simbol kemajuan tata kota, padahal di balik kemasan estetisnya tersembunyi problem klasik: pola pikir kosmetik yang mengabaikan akar persoalan.
Kosmetika Beton di Tengah Kota yang Sakit
Fokus pembangunan trotoar dengan motif batik, ukiran kayu, hingga penggunaan paving porous mungkin tampak memesona di atas kertas, namun sesungguhnya hanya menyentuh permukaan dari luka lama tata kelola kota.
Kota Bandung tidak membutuhkan trotoar yang indah bila di bawahnya drainase tersumbat, jalan-jalan utama masih bolong, dan sungai berubah fungsi menjadi tempat pembuangan sampah raksasa.
Proyek trotoarisasi seperti ini—dalam kondisi fiskal yang ketat dan diselimuti isu tata kelola yang belum transparan—lebih menyerupai proyek citra ketimbang solusi urban yang berkelanjutan.
Prioritas Anggaran yang Salah Kaprah
Pembangunan infrastruktur seharusnya berorientasi pada fungsi dan utilitas publik, bukan pada ornamen visual yang memakan biaya tinggi.
Dalam kondisi keuangan daerah yang terbatas, arah kebijakan anggaran idealnya difokuskan untuk:
Normalisasi sungai dan drainase yang telah menua dan tertutup sedimentasi,
Perbaikan jalan utama yang setiap hari menelan korban pengguna jalan, dan
Pemulihan sistem pengelolaan sampah terpadu yang kini hampir kolaps.
Namun yang terjadi justru sebaliknya: anggaran potensial untuk kepentingan vital publik dikhawatirkan tersedot untuk proyek trotoar bernuansa “artistik” yang efektivitasnya belum teruji.
Pertanyaannya sederhana namun mendasar: apakah kota ini ingin dikenal karena trotoarnya yang estetik, atau karena infrastrukturnya yang kuat dan berfungsi baik?
Transparansi Semu di Balik Proyek Estetika
Setiap proyek dengan nilai besar selalu menuntut pengawasan ekstra. Terlebih bila melibatkan komponen non-standar seperti ornamen budaya, material khusus, atau desain tematik.
Alih-alih meningkatkan transparansi, model proyek seperti ini justru membuka ruang lebar bagi potensi penyimpangan teknis—mulai dari penentuan spek material hingga mekanisme pengadaan.
Tanpa sistem kontrol publik yang kuat, proyek-proyek berlabel “ramah lingkungan” atau “berkelanjutan” sering kali hanya menjadi bungkus hijau untuk praktik lama yang tidak berubah.
Paving Porous, Solusi yang Tidak Menyentuh Akar
Paving porous kerap dipromosikan sebagai inovasi untuk memperbaiki daya serap air di kawasan padat kota. Namun teknologi ini tidak akan berarti apa-apa jika sistem drainase utama tetap tersumbat oleh lumpur, plastik, dan limbah rumah tangga.
Air yang seharusnya meresap justru akan melimpas ke jalan dan menggenangi trotoar itu sendiri — menjadikannya simbol ironi: trotoar berkelanjutan yang tak mampu menahan genangan.
Lebih jauh, paving porous menuntut perawatan berkala dan biaya operasional tinggi agar pori-porinya tidak tertutup debu dan lumpur. Dengan kemampuan operasional Pemkot Bandung saat ini, perawatan seperti itu lebih menyerupai mimpi daripada rencana realistis.
PKL dan Pejalan Kaki: Konflik yang Tak Pernah Usai
Persoalan trotoar di Bandung tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial ekonomi masyarakat kecil, khususnya Pedagang Kaki Lima (PKL).
Konflik antara PKL dan pejalan kaki bukanlah semata persoalan disiplin ruang, melainkan soal keadilan ruang hidup dan ekonomi.
Selama Pemkot belum mampu menyediakan ruang usaha alternatif yang layak dan berkelanjutan, setiap proyek trotoar baru hanya akan melahirkan konflik baru — antara ketertiban dan kebutuhan perut rakyat kecil.
Menambal Luka dengan Plester Mewah
Bandung tidak kekurangan ide, yang kurang justru keberanian untuk menuntaskan masalah dari akarnya.
Trotoar berestetika tinggi tidak akan menolong kota yang sistem drainasenya kolaps, yang sungainya berubah jadi tempat sampah, dan yang jalannya membahayakan pengguna.
Kota ini tidak butuh plester mahal untuk menutup luka lama; yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh dalam tata kelola infrastruktur perkotaan.
Kesimpulan: Selesaikan Akar, Bukan Sekadar Ranting
Trotoar yang “berkelanjutan” tidak akan pernah menjadi simbol kemajuan bila dibangun di atas fondasi kota yang rapuh.
Sebelum berbicara tentang paving porous dan taman vertikal, seharusnya Pemkot Bandung menuntaskan tiga prioritas utama:
1. Normalisasi total sungai dan drainase perkotaan dengan pengawasan publik dan audit teknis yang transparan.
2. Perbaikan masif jalan-jalan rusak yang menjadi urat nadi mobilitas warga.
3. Sistem pengelolaan sampah terintegrasi, dari sumber hingga TPA, yang bebas dari intervensi politik dan kepentingan jangka pendek.
Tanpa langkah konkret di tiga bidang ini, semua slogan tentang “kota berkelanjutan” hanyalah retorika pembangunan—indah di papan reklame, tetapi gagal di kenyataan.
Jika tak berhati-hati, proyek trotoar berkelanjutan justru akan menjadi monumen baru dari kegagalan lama, berdiri megah di atas banjir, sampah, dan jalan berlubang.







