Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes
Pemerhati Telematika, Multimedia, AI, dan OCB Independen
Jakarta, 31 Mei 2025 –
Porosmedia.com – Setelah sekian lama polemik keabsahan ijazah Presiden Republik Indonesia, JkW, menjadi sorotan publik, kini muncul temuan baru yang berpotensi mengubah arah perdebatan. Dengan menggunakan metode identifikasi ilmiah yang sama persis sebagaimana dilakukan oleh Puslabfor Bareskrim Mabes Polri, saya mencoba melakukan verifikasi independen melalui pendekatan komparatif terhadap tiga ijazah sejenis dari Fakultas Kehutanan UGM tahun 1985.
Tujuannya satu: membuka ruang transparansi agar masyarakat bisa menyaksikan dan menilai sendiri berdasarkan data, bukan asumsi atau spekulasi politik.
Sebagai catatan awal, meskipun tersedia dokumen ijazah dengan kualitas digital yang lebih tinggi — salah satunya yang sempat diunggah oleh politisi PSI, Dian Sandi Pratama, pada 1 April 2025 lalu (dan sudah disusul permintaan maaf secara langsung kepada JkW pada 22 Mei 2025 di Solo) — dalam riset ini saya menggunakan fotokopi ijazah yang secara resmi ditampilkan oleh Dirtipidum Bareskrim melalui layar lebar dalam konferensi pers pada tanggal yang sama. Hal ini saya lakukan untuk menjaga kredibilitas sumber dan menghindari bias teknis.
Sementara itu, tiga ijazah pembanding yang digunakan adalah:
1. No. 1115 – Atas nama Frono Jiwo
2. No. 1116 – Atas nama Alm. Hari Mulyono
3. No. 1117 – Atas nama Sri Murtiningsih
Ketiga dokumen ini diketahui merupakan keluaran resmi Fakultas Kehutanan UGM dan telah dipublikasikan secara terbuka oleh pihak bersangkutan maupun oleh Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Dr. Sigit Sunarta, dalam wawancara bersama Kompas tahun 2022.
Temuan Visual: Ada yang Tidak Sinkron
Dalam proses identifikasi visual, fokus analisa diarahkan pada konsistensi letak huruf-huruf kunci dalam desain ijazah, khususnya:
Posisi huruf Z dalam kata IJAZAH
Posisi huruf A terakhir dalam kata SARJANA
Pada ketiga ijazah pembanding, letak huruf-huruf tersebut secara presisi terintegrasi dengan logo UGM — baik dari sisi vertikal maupun horizontal. Huruf Z tampak “turun” masuk ke area logo, sementara huruf A berada lebih “ke kiri” dan sebagian masih menyatu dengan lingkaran logo.
Namun, temuan yang mengkhawatirkan muncul saat ijazah No. 1120 (milik JkW) diperbandingkan. Huruf Z tampak lebih “naik” dan tidak menyatu dalam struktur logo sebagaimana yang terlihat di ketiga sampel pembanding. Hal serupa terjadi pada huruf A yang justru lebih “ke kanan”, seolah-olah terpisah dari konstruksi logo UGM.
Perbedaan ini sangat signifikan karena menyangkut elemen dasar desain statis dari satu institusi pendidikan yang semestinya memiliki standar pencetakan yang seragam dalam satu periode kelulusan.
Hasil analisis ini dengan tegas menyatakan bahwa ijazah No. 1120 tidak identik dengan ketiga ijazah pembanding yang seharusnya berasal dari cetakan dan periode yang sama. Ini menggugurkan pernyataan resmi sebelumnya dari pihak kepolisian yang menyebut ijazah JkW “identik” dengan tiga dokumen pembanding yang bahkan tidak pernah diungkap secara terbuka.
Padahal, ketiga pemilik ijazah pembanding ini merupakan individu yang dalam sejarah kariernya dikenal dekat atau bahkan mendukung JkW secara politik. Maka, semestinya tidak ada alasan teknis ataupun politis untuk melakukan modifikasi atau pengaburan data.
Sebagai pemerhati bidang telematika, multimedia, dan keilmuan forensik digital, saya menyampaikan analisa ini bukan untuk mendiskreditkan pribadi siapapun, tetapi untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas di hadapan publik.
Jika negara pernah mengedepankan asas keterbukaan dalam kasus serupa terhadap tokoh-tokoh lain, maka keadilan yang sama harus ditegakkan kepada siapapun, termasuk Presiden sekalipun. Karena kebenaran tidak boleh tunduk pada kekuasaan.
Kini, biarkan rakyat yang menilai berdasarkan data yang terbuka dan dapat diuji oleh siapa pun secara ilmiah.
Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes
Pemerhati Telematika, Multimedia, AI, dan OCB Independen
Jakarta, Sabtu, 31 Mei 2025