Porosmedia.com, Kota Bandung, Jawa Barat – Abah Landoeng sang legenda hidup kelahiran Bandung pada 11 Juli 1926, hebatnya ia kini masih berkegiatan hingga di zaman milenium! Paling anyar, Abah Landoeng setiap Selasa pagi masih turut atau menyaksikan para Jurnalis Bela Negara (JBN) bermain tenis di lapangan tenis Kodiklat AD di Jl. Aceh No. 50 Kota Bandung.
Kali ini, mari kita tengok aktivitas Abah Landoeng agak berbeda, ia ditemui di salah satu ruangan di Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA) di Jalan Asia Afrika No. 65 Kota Bandung (2/11/2024). Kali itu ia ditemani Teuku Rezasyah, selaku Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, keduanya pada Sabtu sore itu secara khusus menjadi nara sumber dari jurnalis negeri Prancis.
Kedua tokoh ini bergiliran diwawancarai Frédéric Martel, ia dikenal sebagai jurnalis kondang yang mengampu program soft power di France Culture (Radio Nasional Prancis). Tema wawancara hari itu menyangkut Konperensi Asia Afrika 1955 dan perannya dalam geopolitk global serta dampaknya terhadap masyarakat Bandung.
Menurut Abah Landoeng berdasarkan info dari Direktorat Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Indonesia:
”Dalam suratnya ke Abah Kang Frédéric Martel ini tadinya mau mewawancari selain kami berdua dengan Kang Teuku Rezasyah. Yang lain itu, saksi sejarah Ceu Popong, Kang Inen Rusnan, Kang Sam Bimbo, Kang Sarbili Sutedja, dan Prof Wardiman Djojonegoro. Sayangnya yang lain itu, berhalangan,” kata Abah Landoeng.
Belanda & Jepang …
Bagi Abah Landoeng sebagai pensiunan guru SMP (1956 – 1996), dan kerap diwawancari wartawan dari mancanegara terkait sukses penyelengaraan KAA 1955, “Ini yang dari Prancis terbilang langka, kalau tak salah dulu beberapa tahun pernah ada juga mereka bersama wartawan dari Afrika. Yang lebih sering ya, dari Belanda dan Jepang. Kedua terakhir ni hampir setiap tahun, datang ke rumah tiap menjelang 17 Agustusan,” jelas Abah Landoeng.
Lebih jauh kata Abah Landoeng tentang wartawan Belanja dan Jepang yang selalu datang menjelang 17 Agustusan, “ini baru Abah katakan yang sebenarnya, mereka dua bangsa ini inginnya di mata generasi mudanya dalam hubungan dengan Indonesia, tidak dianggap sebagai penjajah tetapi hubungan dagang,” kata Abah Landoeng sambil menambahkan –“Rupanya, mereka ini bingung juga membuat kurikulum pendidikan (sejarah) bagi anak-anak sekolah di sana?”
Sementara itu, Kepada redaksi, Ricky Arnold selaku penerjemah dari Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung dalam wawancara sekitar 25 menit itu, berdasarkan penjelasan dari Frédéric Martel sendiri yang hari itu didampingi David Pata dari Jakarta:
“Hasil wawancara dengan Abah Landoeng sungguh memuaskan, keterangan yang dicari atau yang dituju Frédéric Martel dalam perjalanannya ke Kota Kembang ini, yakni menyingkap seputaran situasi dibelakang suksesnya KAA 1955, telah tercapai. Tunggu saja nanti hasilnya,” papar Ricky Arnold sambil menambahkan – “Wawancara dengan Pak Teuku Rezasyah sore ini akan bergeser tempatnya, masih di seputar Jalan Braga dan Asia Afrika.”
Dasasila & Palestina
Kepada redaksi, Abah Landoeng yang dikenal diantaranya sebagai pengumpul mobil VVIP para delegasi KAA 1955, kembali mengingatkan:
“HUT RI ke-10 waktu itu, tahun 1955 warga Bandung dan Jabar serta Indonesia, suka rela dan mampu gotong royong menyelenggarakan hajatan antar bangsa. Semoga ini Dasasila Bandung, jangan dilupakan. Ada 29 negara peserta, dan 5 negara sponsor, hadir. Semua itu intinya KAA 1955 melawan kolonialisme saat itu. Sayangnya, sisa kolonialisme di Palestina, itu juga tugas kita agar segera dibebaskan dari zionisme,” ujar Abah Landoeng.
Secara terpisah jurnalis senior Adi Raksanagara mengetahui aktivitas Abah Landoeng diwawancarai jurnalis sohor asal Prancis, Frédéric Martel, “setidaknya, kembali sukses KAA 1955 di Bandung bergema…”
Masih kata Adi Raksanagara yang intens mengamati denyut KAA1955 hingga kini:”Kali ini via dua tokoh Bandung, digaungkan kembali pesan perdamain di antaranya melalui ‘Dasasila Bandung’. Isinya, menghormati hak-hak manusia sesuai Piagam PBB, menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua nasion. itu ihtisar KAA 1955 yang relevan hingga kini dan selanjutnya,” pungkasnya. (Harri Safiari)