Porosmedia.com — Pada tahun 1649, Panembahan Ratu I wafat, namun karena anaknya yang sebelumnya telah ditunjuk sebagai Raja Muda telah wafat mendahuluinya (Pangeran Sedang Gayam), maka yang didaulat menjadi Raja selanjutnya adalah cucunya, yaitu Pangeran Putera.
Pangeran Putra menjabat sebagai Raja Cirebon dari tahun 1649-1662, ketika menjadi Raja, beliau bergelar “Panembahan Ratu II”. Raja ini merupakan raja terkahir Cirebon, karena setelah kewafatannya, kerajaan Cirebon dianggap telah runtuh karena telah terpecah menjadi beberapa kerajaan.
Pada masa pemerintahannya, Panembahan Ratu II tidak sanggup menghadapi gejolak yang sedang terjadi di Pulau Jawa, Cirebon kala itu terseret-seret dalam pusaran politik tiga kekuatan besar di Pulau Jawa yang saling bertikai, yaitu VOC Belanda, Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram.
Pada masa pemerintahannya (1649-1662), Panembahan Ratu II gagal menjadi negara Independen, Cirebon diperlakukan sebagaimana negeri jajahan oleh Amangkurat I.
Cirebon yang tak berdaya menghadapi Mataram terpaksa mengikuti ambisi Amangkurat I meskipun dijalankankan setengah hati, sementara disisi lain, para pejabat Keraton Cirebon yang yang menolak tunduk dibawah Mataram malah banyak menampung para pelarian Mataram dan berpihak pada Banten, sehingga atas prilaku Cirebon yang mendua itulah Amangkurat I berniat menghabisi riwayat Kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1662, Amangkurat I dengan bantuan seorang Belanda berhasil mendatangkan Panembahan Ratu II ke Mataram, Raja Cirebon ketiga itu didatangkan ke Mataram beserta kedua putranya. Di Mataram, Panembahan Ratu I wafat dengan misterius dan kemudian dimakamkan di Giri Laya Mataram, dan karena dimakamkan di tempat itu, Panembahan Ratu II nantinya dijuluki Panembahan Girilaya. Sementara kedua anaknya, yang juga merupakan Putra Mahkota di tahan di Mataram.
Wafatnya Panembahan Ratu II serta ditahannya Putra Mahkota Cirebon di Mataram menyebabkan terjadinya kekosongan pemerintahan di Kerajan Cirebon, sehingga dengan terpaksa Kerajaan Cirebon kala itu, diperintah oleh 7 orang Jaksa yang salah satu anggotanya adalah anak Panembahan Ratu II yang bukan putra mahkota (Pangeran Wanggsakerta).
Perlakuan Amangkurat I pada Cirebon membuat para pejabat Keraton di Cirebon menjadi murka, sehingga mereka bekerja sama dengan Banten untuk memerangi Mataram.
Secara konsisten, Cirebon dan Banten membiayai beberapa pemberontakan yang terjadi di Mataram, salah satunya membiayai pemberontakan Trunojoyo.
Kelak Pemberontakan Trunojoyo yang dibiayai Banten dan Cirebon itu, berhasil menggulingkan Amangkurat I dari tahta bahkan meruntuhkan Kesultanan Mataram. Selain itu, Amangkurat I juga nantinya tewas dalam pelarian.
Atas jasa-jasa Cirebon dan Banten dalam membantu Pemberontakan Trunojoyo, Raden Trunojoyo membebaskan 2 putra Panembahan Ratu II dan memulangkannya ke Cirebon, kedua putra Panembahan Ratu II itu kelak oleh Kesultanan Banten sama-sama didaulat menjadi Sultan baru di Cirebon.
Pangeran Mertawijaya, anak tertua Panembahan Ratu II di daulat menjadi Sultan Sepuh dengan memperoleh setengah bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Cirebon, nama negaranya adalah Kesultanan Kasepuhan Cirebon, sementara adiknya Pangeran Kertawijaya di daulat menjadi Sultan Anom dengan memperoleh setengah bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Cirebon, adapun nama negaranya adalah Kesultanan Kanoman Cirebon.
Selain mengangkat dua anak Panembahan Ratu II menjadi Sultan, Banten juga mengangkat Pangeran Wangsakerta sebagai Penguasa Cirebon dengan Gelar Panembahan Kacirebonan, hanya saja ia tidak memperoleh wilayah kekuasaan melainkan hanya menjadi asisten kakaknya di Kasepuhan.
Terpecahnya Cirebon menjadi dua Kerajaan menandai sebagai akhir dari riwayat Kerajaan Cirebon, sebab pada masa ini Cirebon dibawah pengaruh dan perlindungan Kesultanan Banten. Namun, dikemudian hari setelah Sultan Ageng Tirtayasa digulingkan oleh anaknya Sultan Haji atas bantuan VOC Belanda, Cirebon melepaskan diri dari Banten, sebelum akhirnya menjadi negara Vasalnya VOC Belanda pada 1681.
Oleh : @Sejarah Cirebon