UU IKN Untuk Siapa?

UU IKN Untuk Siapa?

Porosmedia.com – Mengejutkan, DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi Undang-undang (UU), Selasa 18 Januari 2022. Pengesahan RUU IKN dilakukan secara inkonstitusional karena DPR dan Pemerintah mengesahkan UU dalam waktu singkat dan tidak melibatkan masyarakat. Pembentukan Ibu Kota Baru ini tentu saja ditolak sejumlah pihak karena berpotensi mengancam keselamatan rakyat serta tidak ada dalam rencana jangka pembangunan nasional.

Banyak yang mempertanyakan apa yang ada dalam benak presiden atas pemindahan ibu kota ini, serta apa urgensinya pemindahan IKN dilakukan sekarang?mengingat negara sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Ekonomi sedang terpuruk, kemiskinan dan pengangguran meningkat. Utang kian membengkak. Sementara penanganan covid-19 belum juga usai karena salah dalam penanganan, ditambah dengan munculnya berbagai varian baru yang sangat mungkin kembali mengeruk kas negara. Maka sangat wajar apabila muncul berbagai penolakan atas UU IKN ini.

Apalagi anggaraan yang digunakan untuk pembangunan IKN yang sebelumnya tidak akan membebani APBN, tapi sekarang Jokowi mengumumkan 53,5 persennya akan diambil dari APBN. Kalau sudah begitu, lagi-lagi rakyat yang akan menanggung beban. Bagian rakyat bisa saja diambil untuk pembangunan IKN. Jika tidak, mungkin akan ada utang baru. Lagi-lagi nanti yang membayar utang itu adalah rakyat. Rakyat yang akan dirugikan, Sementara pengusaha tinggal menikmati hasil rakyatnya.

Maka tak heran jika survey yang dilakukan oleh Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), misalnya menunjukan 61% rakyat menolak pemindahan IKN. Bahkan berbagai persiapan judicial review pun telah dilakukan.

Karena itu, YLBHI bersama 17 Kantor LBH seluruh Indonesia dan Koalisi Masyarakat Sipil Bersihkan Indonesia yang terdiri dari #BersihkanIndonesia, Sajogyo Institute, Yayasan Srikandi Lestari, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, menyatakan sikap:Pertama, menolak pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur karena tidak berdasarkan kajian kelayakan yang jelas. Kedua, mendesak kepada DPR RI dan Pemerintah untuk membatalkan UU IKN. Ketiga, mendesak kepada Pemerintah RI untuk menyelesaikan beragam permasalahan di Jakarta dan Kalimantan Timur tanpa perlu memindahkan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur.

Untuk siapa UU IKN?

Public bertanya-tanya, apakah gerangan yang membuat DPR secara tiba-tiba mengesahkan RUU tentang Ibu Kota Negara (IKN) menjadi UU?apakah sebegitu genting dan penting seolah sesuatu yang tidak bisa ditunda, sehingga pembahasan itu dibahas secara kilat dan terkesan sembunyi sembunyi?untuk siapa dan siapa yang diuntungkan?
Apa yang terjadi di Gedung parlemen ini mengulangi hal yang sama seperti pengesahan RUU Ominibus Law Cipta Kerja tahun 2020 lalu. Pengesahannya begitu cepat tidak melalui proses yang transparan dan akuntabel. Bahkan menurut ekonom Faisal Basri terlihat lebih ugal-ugalan. Betapa tidak, proses pembahasannya hanya berlangsung 43 hari. DPR membahas tengah malam, dan jelang subuh (selasa18/1) disetujui semua fraksi kecuali PKS.

Pada akhirnya rapat paripurna yang dipimpin ketua DPR Puan Maharani mengesahkan RUU menjadi UU yang menurut informasi para anggota dewan tidak mendapatkan draftnya. Seperti apa naskah final UU IKN tersebut yang terdiri dari 11bab dan 44 pasal, public belum tahu.

Langkah DPR ini tentu saja menuai banyak pihak. Sebab ini terkait dengan pembahasannya yang kilat dan kualitas naskah akademiknya yang memperihatinkan. Forum Masyarakat Peduli Parlemen menilai pembahasan IKN terkesan tergesa-gesa dan mengabaikan partisipasi public peneliti Formappi, Lucius Karus mengatakan, pembahasan yang super cepat dan minim partisipasi public justru menimbulkan kecurigaan dari rakyat. Menurutnya, pembahasan yang ngebut ini dapat dianggap hanya mementingkan ambisi pemerintah dan DPR terhadap IKN baru.

Wajar jika kemudian public menduga kuat, pemindahan IKN sarat kepentingan oligarki yakni sekelompok elite politik dan pengusaha yang kini mencengkram negara. Terendus juga kepentingan asing disana, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur kepada Hukumonline, Rabu (19/1/2022),’’Pemindahan Ibu Kota Negara juga dinilai sebagai agenda oligarki untuk mendekatkan pada pusat bisnisnya serta bagian dari penghapusan dosa-dosa beberapa korporasi yang merusak di wilayah calon Ibu Kota Baru,” ujarnya

“Menghimbau kepada jaringan gerakan masyarakat sipil dan seluruh warga Indonesia bahwa pemindahan IKN tidak didasarkan pada kajian kelayakan yang komprehensif dan diduga hanya menguntungkan segelintir pihak,” bebernya.

Baca juga:  Pendaftaran Balon Walikota Di Partai NasDem Kota Cimahi Tidak Ditarik Mahar

Dia menegaskan penetapan Kalimantan Timur sebagai Ibu Kota Baru telah cacat sejak awal. Pada saat mengumumkan akan melakukan pemindahan ibu kota, Presiden menyatakan menunggu kajian untuk menentukan Provinsi yang akan ditetapkan sebagai daerah Ibukota yang Baru menggantikan DKI Jakarta. Namun, hingga saat ini, kajian yang dimaksud Presiden dan diklaim menjadi dasar penetapan wilayah Kalimantan Timur sebagai ibu kota tidak diketahui keberadaannya. “Dengan kata lain, penetapan Kalimantan Timur sebagai ibu kota bukan berdasarkan atas sebuah kajian yang mendalam,” kata Isnur.

Kawasan yang akan diproyeksikan sebagai IKN terdiri dari Kawasan Inti Pemerintahan, Kawasan IKN, hingga Kawasan Perluasan IKN bukan ruang kosong. Kawasan ini sebelumnya sudah terpenuhi oleh izin-izin dan konsesi, seperti pertambangan, kehutanan, perkebunan, PLTU, dan konsesi bisnis lainnya. Yang diuntungkan dari proyek IKN baru adalah perusahaan-perusahaan pemilik konsesi ini karena menjadi penerima manfaat atas megaproyek ini. Mereka adalah para politisi nasional dan lokal, beserta keluarganya yang memiliki konsesi industri ekstraktif.

Terdapat 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit, dan PLTU batu bara di atas wilayah total kawasan IKN seluas 180.000 hektare—setara dengan tiga kali luas DKI Jakarta, ditambah tujuh proyek properti di Kota Balikpapan. Setidaknya, ada 148 konsesi, di antaranya pertambangan batu bara, baik berstatus Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan salah satunya berstatus Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau ring satu seluas 5.644 hektare seluruhnya berada di dalam konsesi PT. IHM. Ring dua seluas 42.000 hektare mencakup konsesi PT IHM dan sekaligus PT IKU.

Ditemukan pula 10 konsesi perkebunan di atas kawasan IKN, yakni delapan di ring dua dan tiga, yakni Kecamatan Samboja dan Muara Jawa, serta sisanya di Kecamatan Sepaku.Salah satu yang terbesar adalah PT Perkebunan Kaltim Utama I seluas sekitar 17.000 hektare yang penguasaannya terhubung dengan keluarga Menko Marves pada kabinet jilid II Jokowi-Amin. Nama-nama pemilik konsesi di sana adalah Sukanto Tanoto, Hashim Djojohadikusumo (adik kandung Prabowo Subianto), Rheza Herwindo (anak Setya Novanto), dan Yusril Ihza Mahendra. Pada wilayah ring tiga terdapat satu pembangkit listrik tenaga uap batu bara. PLTU batu bara tersebut mendapatkan izin lokasi pendirian di bawah bendera PT Indo Ridlatama Power (PT IRP) yang berlokasi di Kecamatan Muara Jawa, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Terdapat 94 lubang bekas tambang batu bara yang tersebar di atas kawasan IKN. Dari jumlah tersebut lima perusahaan terbanyak yang meninggalkan lubang tambang adalah PT Singlurus Pratama (22 lubang), PT Perdana Maju Utama (16 lubang), CV Hardiyatul Isyal (10 lubang), PT Palawan Investama (9 lubang), dan CV Amindo Pratama (8 lubang).

Maka jelaslah, Perusahaan-perusahaan tersebut akan diuntungkan dan menjadi target transaksi negosiasi Pemerintah, termasuk pemutihan lubang-lubang bekas tambang yang seharusnya direklamasi.

Keberpihakan Asing dan Aseng
Selain kepada oligarki dalam negeri, keberpihakan negara pada oligarki asing dan aseng terlihat begitu kuat dalam pengesahan UU IKN yang tidak urgent ini. Indikasinya terlihat karena sumber investasinya dari asing dan utang luar negeri. Mentri coordinator Bidang kemaritiman dan investasi luhut binsar pandjaitan mengatakan telah memilih konsultan dari cina dan jepang untuk membantu pekerjaan desain awal. Pihak AS, menurut LBP, juga sangat tertarik pada rencana Indonesia untuk memindahkan ibu kotanya ke Kalimantan. Sedangkan berdasarkan keterangan Kementrian PUPR, cina telah mencari peluang untuk merancang lanskap perkotaan dan pengelolaan air, sementara AS ingin membantu membangun infrastruktur seperti jalan dan jembatan. Ada udang dibalik batu kalau kita bilang, ada kepentingan para elite pengusaha dan penguasa dalam pemindahan dan pembangunan IKN.

Terlihat banyaknya pemodal asing yang mendatangi Jokowi di dubai expo, dimana mereka siap berinvestasi dalam pembangunan ibu kota negara baru dengan syarat ada payung hukumnya yang melandasi rencana pembangunan ibu kota negara. Kepala badan koordinasi penanaman modal (BPKM) Bahlil Lahadalla menyebut Uni Emirat Arab akan berinvestasi untuk pembangunan IKN. Ia menyebut IKN akan mendapatkan kucuran dana senilai 10 miliar dollar AS atau sekitar Rp 142,6 triliun. Dan ternyata presiden menjanjikan kalau pemerintah Indonesia akan segera menerbitkan payung hukum tersebut. Demi untuk mendapatkan payung hukum bagi para pengusaha untuk bisa berinvestasi di Ibu Kota Negara Baru, berbagai lobi pun dilakukan oleh sekertariat negara kepada pihak DPR agar RUU IKN segera disahkan.

Baca juga:  Kuncinya Adalah Kerja Keras Tim, Bukan Penetapan Konstituen Dewan Pers

Konsekuensi logis dari diterapkannya sistem kapitalis.
Maka sudah bukan hal yang aneh, keberpihakan terhadap para kapitalis, serta cengkraman para oligarki dibalik pengesahan UU IKN sangat mungkin terjadi, hal itu merupakan konsekwensi logis dari diterapkannya sistem kapitalis. Dengan sistem demokrasinya, mereka bisa dengan leluasa mengatur segalanya sehingga Lembaga eksekutif dan legislative bisa dikendalikan. Pemindahan IKN tentu saja sangat terbuka karena parlemen hamper 80% berada dalam satu gerbong dengan pemerintah. Apa maunya eksekutif akan dituruti oleh pihak legislative. Proses check and balance tidak terjadi. Aji mumpung, mungkin itu yang paling tepat. Sebab DPR lagi dikuasai, saatnya aturan dibuat, secepat kilat, tanpa melibatkan masyarakat.

Hubungan pemerintah dengan para oligarki memaksa pemerintah membuat keputusan-keputusan yang ditekan atau diintervensi oleh kelompok-kelompok tersebut. Sehingga keputusan yang diambil hanya menguntungkan oligarki dan elite politik saja. Itulah hakikat dari demokrasi sebagai sistem politik yang katanya dari rakyat oleh dan untuk rakyat, faktanya hanya untuk kepentingan segelintir orang saja.

UU IKN menunjukan penjajahan lewat undang undang
Swasta dan investor sudah pasti meminta kepastian hukum, maka dibuat nya UU IKN adalah sesuatu yang diperlukan untuk dapat melakukan tahap berikutnya dalam pelaksanaan pemindahan ibu kota, kalau sudah ada UU dan disahkan maka payung hukum makin kuat, mereka yang berkepentingan pun bisa sebebas-bebasnya melancarkan aksi penjajahannya. Oleh karena itu, ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Apalagi menurut ekonom faisal basri, bahwa status pemerintahan yang ditetapkan adalah otorita. Pimpinannya akan dipilih dan bertanggungjawab langsung ke presiden, sehinggal faisal menilai ini semacam proyek terselubung yang sengaja dibuat. Kenapa otorita, sebab pemerintah melakukannya pembangunan ini secara ugal-ugalan. UU belum ada saja sudah dibagi-bagi apalagi kalau UU sudah ada.

Pakar ekonomi Didik J. Rachbini mengingatkan Pemerintah agar tidak membuat perencanaan serabutan dan tidak mengacak-acak APBN yang sudah kritis. Pengeluaran APBN sudah banyak sekali dan utang juga menggunung. Oleh karena itu, tidak layak jika APBN masih terbebani IKN yang sebenarnya tidak urgen saat ini. Hal senada disampaikan ekonom Bhima Yudhistira. Menurutnya, utang pembangunan dan pemindahan IKN pada fase awal berpotensi makin membengkak karena biaya konstruksi bisa terpengaruhi efek volatilitas nilai tukar saat pandemi Covid-19. Bima menilai pembangunan IKN sebaiknya ditunda. Selain karena masih kondisi pandemi, urgensi pembangunan IKN masih lebih rendah dibanding penanganan pandemi.

Bukan tidak mungkin kondisi tersebut “memaksa” pemerintah hmenarik utang demi memenuhi kebutuhan belanja negara jumbo. Alhasil, utang pemerintah kian menggunung. Padahal, hingga akhir Desember 2021, utang pemerintah sudah menembus Rp6.908,87 triliun atau setara 41% produk domestik bruto (PDB). Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp834,31 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu 38,68% PDB. Belum lagi beban belanja bunga utang pemerintah yang semakin tinggi. Pada tahun anggaran 2022 ini, beban bunga utang diperkirakan mencapai Rp360—400 triliun atau setara 15% dari total penerimaan pajak. Tentu ini akan sangat memberatkan APBN karena mengalami tekanan untuk mengurangi defisit anggaran.

Bila pembangunan IKN baru menggunakan dana utang, stabilitas perekonomian nasional bisa terganggu. Tidak hanya itu risikonya. Bahkan, Indonesia bisa masuk ke dalam debt trap (jebakan utang). Debt trap sendiri merupakan istilah di mana sebuah negara terjebak dengan utang yang membesar, tetapi tidak memiliki kemampuan bayar. Kalau sudah terjebak, akan ada negosiasi dengan kreditur. Kalau mereka tidak mau, kreditur bisa melakukan penjualan aset negara. Risiko itu sudah terjadi di banyak negara, seperti Sri Langka dan Nigeria yang berutang dengan Cina. Mirisnya, justru negara yang siap memberi utang untuk pembangunan IKN adalah Cina, ini karena punya kepentingan geopolitik di Laut Cina Selatan. Rizal Ramli menyebut IKN ini bisa berpeluang menjadi “New Beijing”.

Baca juga:  Thanos Syndrome, Buah Pemikiran Sekuler Kapitalis

Bila masih nekat menggunakan APBN, ruang fiskal akan makin sempit. Implikasinya, target pajak akan dinaikkan sehingga berisiko menyasar warga kelas menengah untuk membayar pajak lebih banyak. Muncullah trade off—simalakama—akibat kebijakan pemerintah sendiri.

Legalisasi Hukum dalam Islam
Dalam islam, khalifah berhak mengadopsi hukum-hukum syariah yang memang dibutuhkan untuk memelihara urusan umat. Hukum-hukum itu harus digali dengan ijtihad yang shahih dari kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Dengan diadopsi oleh khalifah, hukum-hukum itu menjadi UU yang wajib ditaati dan seorang pun tidak boleh melanggarnya. Kaidah fikih ‘‘kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan’’ dan ‘’perintah pemimpin menghilangkan perbedaan pendapat’’ yang digunakan untuk melegitimasi pemindahan dan pembangunan IKN, jelas tidak dapat diterapkan di dalam konteks UU produk sistem demokrasi yang nyata-nyata bukan berasal dari hukum syara’. Sebab kaidah tersebut hanya dapat diberlakukan dalam konteks kebijakan seorang pemimpin dalam arti imam atau khalifah, yaitu kepala negara khilafah. Khalifahlah yang bertanggung jawab sepenuhnya.

Pandangan Islam tentang perpindahan ibu kota negara Islam tidak mengharamkan perpindahan ibu kota negara. Dalam sejarahnya, tercatat selama negara khilafah berdiri lebih 13 abad, pemindahan ibu kota negara terjadi sebanyak 12 kali. Maksimal luas wilayah kekuasannya 2/3 dunia. Jika dikisarkan setiap 110 tahun, negara islam baru pindah ibu kota sekali. Sedangkan Indonesia sendiri baru merdeka 74 tahun. Setidaknya perlu 36 tahun lagi untuk menyiapkan pemindahan pusat pemerintahannya, jika memang diperlukan dan urgent. Pemindahan IKN tentu harus dilakukan berdasarkan argumentasi yang kuat untuk kepentingan negara bukan kepentingan oligarki. Sebagai contoh, untuk memperkuat kedaulatan negara, untuk menyejahterakan rakyat dengan memberikan pelayanan yang terbaik bagi rakyat sehingga terwujud masyarakat yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur.

Pemindahan IKN menjadi haram kalau semakin menambah beban bagi rakyat baik jangka pendek maupun Panjang serta semakin membuat rakyat sengsara, semakin terjajah secara politik dan ekonomi oleh para kapitalis kafir penjajah, lingkungan menjadi rusak, dan haram jika dibiayai dengan dana dari yang haram seperti utang yang berbunga alias utang ribawi. Terlebih lagi jika pemindahan ibu kota negara itu malah membahayakan negara dari sisi pertahanan dan keamanan, maka pemindahan itu tidak boleh terjadi.

Khalifah sebagai Pelindung dan Penjaga umat
jika sudah begini, maka yang bisa memutuskan dan mengeringkan kolam kapitalisme hanya mungkin dilakukan oleh pemimpin yang kuat berikut sistem alternatif yang menggantikan kolam tersebut. Tidak ada yang bisa menggantikan kecuali Kembali ke sistem islam yang dipimpin oleh khalifah. Khilafah dengan sistem islam yang menerapkan aturan-aturan syariah islam ditengah-tengah umat dengan ketegasan aturannya akan mampu menjadi junnah(perisai). Khalifah berfungsi sebagai junnah yaitu pelindung sekaligus sebagai pembebas manusia dari berbagai bentuk dan agenda penjajahan. Posisi ini telah dijelaskan dalam hadist bahwasanya seorang khalifah adalah perisai orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya (HR.Muslim). Dalam islam haram hukumnya penguasa berlepas tangan terhadap kepengurusan umat, apalagi dengan menggunakan kebijakan pro kapitalis dan oligarki yang sangat menzalimi umat.

khatimah
Demikianlah, UU IKN harus dibatalkan dan kita harus menolak dengan tegas pemindahan IKN, karena rakyatlah yang akan dirugikan, sementara para oligarki dan para kapitalis yang diuntungkan. Oleh karena itu, tidak ada cara lain mengganti kapitalisme kecuali dengan islam, sistem ekonomi islam. Itulah yang akan menghentikan kapitalisme, oligarki pemilik modal akan selesai. Sebab selain sesuai syariat, kaca mata akhirat akan menjadi pertimbangan penguasa dalam setiap pengambilan keputusan publik. Ketika penguasa mengambil keputusan yang bertentangan dengan syariat, urusannya bukan dengan rakyat, tetapi urusannya dengan Allah sampai negeri akhirat.
Wallahu ‘alam bi showwab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *