Sosok Spiritual Pangeran Diponegoro Yang Dipertanyakan Seperti Kiprah Eko Sriyanto Galgendu

Jajat Sudrajat

Jacob Ereste :
porosmedia.com – Kerajaan Bima adalah kerajaan yang pernah mengalami masa Hindu yang akhirnya berubah menjadi bercorak Islam Sejarah Kerajaan Bima Menurut catatan Bo Sangaji Kai (nasakah kuno milik Kerajaan Bima), cikal bakal daerah Bima dirintis oleh pendatang dari Jawa, seorang musafir dan bangsawan Jawa yang bergelar Sang Bima. Pada saat itu, wilayah Bima telah terbagi dalam kekuasaan pimpinan wilayah yang disebut Ncuhi. Masa ncuhi merupakan ambang sejarah (proto sejarah), pada masa itu masyarakat mulai hidup berkelompok, menetap, mengenal pertanian dan peternakan.

Ada lima ncuhi yang tergabung dalam Federasi Ncuhi, yaitu Ncuhi Dara yang menguasi wilayah Bima bagian tengah atau pusat pemerintahan. Ncuhi Parewa menguasai wilayah Bima bagian selatan. Ncuhi Padolo menguasai wilayah Bima bagian barat, dan Ncuhi Banggapupa menguasai wilayah Bima bagian timur, dan Ncuhi Dorowuni menguasi wilayah utara. Federasi Ncuhi mengangkat Bima sebagai pemimpin. Secara resmi, Sang Bima menerima pengangkatan tersebut, tetapi pada pelaksanaannya ia menyerahkan kembali kekuasaannya pada Ncuhi Dara untuk memerintah atas namanya.

Putera Sang Bima yang bernama Indra Zamrud dan Indra Komala datang ke tanah Bima. Indra Zamrud menjadi Raja Bima pertama. Sejak saat itu, Bima memasuki zaman kerajaan. Secara turun temurun, Kerajaan Bima telah diperintahkan sebanyak 16 raja, hingga akhir abad ke 16. Penyebaran agama Islam di Bima semakin meluas pada abad ke-17, saat Kesultanan Gowa Tallo menaklukan wilayah-wilayah di Nusa Tenggara.

Peralihan Kerajaan ke Kesultanan Bima Pada 5 Juli 1640 Masehi menjadi saksi dan tonggak sejarah peralihan sistem pemerintahan dari kerajaan kepada kesultanan. Peralihan ini ditandai dengan dinobatkannya Putera Mahkota La Ka’i yang bergelar Rumata Ma Bata Wadu menjadi sultan pertama dan berganti nama menjadi Sultan Amir Kahir. (Dok. Atlantika Institut Nusantara). Masa kesultanan berlangsung lebih dari tiga abad lamanya.

Kejayaan Kerajaan atau Kesultanan Bima terjadi pada masa pemerintahan sultan terakhir, yaitu Sultan Muhammad Salahuddin. Kejayaan Kerajaan atau Kesultanan Bima terjadi pada masa pemerintahan sultan terakhir, yaitu Sultan Muhammad Salahuddin. Pada tahun 1951, tepat wafatnya sultan ke-14, yaitu Sultan Muhammad Salahuddin, Bima memasuki zaman kemerdekaan dan status kesultanan diganti dengan pembentukan daerah swapraja dan swatantra yang selanjutnya berubah menjadi daerah kabupaten.

Pengaruh Islam terlihat nyata pada kebudayaan yang berkembang sesudah agama ini mulai tumbuh dan berkembang di Bima. Perpaduan antara kebudayaan Islam dan kebudayaan local terjalin indah dalam setiap adat dan budaya yang berkembang dalam masyarakat. “Rimpu” yang merupakan busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa kesultanan Bima. Sebagai pakaian yang mencerminkan identitas wanita Bima yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Hadrah merupakan tari tradisional Bima yang berisi puji-pujian kepada Allah SWT.

Baca juga:  7 Langkah Sederhana untuk Mengontrol Gula Darah

Dali merupakan Puisi yang di sebut “dali” ini dapat juga di sebut dalil yaitu suatu petuah dan nasehat yang berdasar atas adat dan agama. Acara khitan dan Khatam Al-qur’an Dalam adat Bima, proses pendewasaan seorang anak manusia ditandai dengan dua macam upacara adat. Upacara adat ini merupakan pengejawantahan syariat Islam yaitu kewajiban untuk melaksanakan khitan bagi laki-laki serta anjuran untuk menamatkan pembelajaran baca Al-Qur’an sebagai penuntun hidup seorang manusia untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Maja Labo Dahu adalah tradisi verbal budaya Bima yang dipercaya dan dikenalkan hingga kini oleh masyarakat Bima. Maja labo dahu adalah pendidikan agama dan moral atau akhlak yang mengandung dunia dimensia yaitu dimensi sosial dan agama yang absolut. Nilai-nilai karakter Maja Labo Dahu terkait erat dengan nilainilai karakter yang dikembangkan melalui program pendidikan karakter bangsa oleh pemerintah Indonesia yang di antara nilainilai pokoknya yaitu religius, ketaatan, toleransi, dan saling mambantu antarsesama.

Fenomena eksistensi Maja Labo Dahu dapat dlihat dari segi komponennya, pendidikan karakter lebih menekankan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral. (Dok, Atlantika Institut Nusantara). Meski menjadi ikon budaya, motto, dan budaya verbal masyarakat, nampaknya nilai-nilai Maja Labo Dahu telah hilang baik sebagai moral knowing, moral feeling, maupun moral action.

Sejarawan Inggris, Pater Carey yang telah lebih dari 30 tahun melakukan penelitian tentang Pangeran Diponegoro dan pengajar Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesian melaihat kekuatan spiritual ya g dimiliki Pangeran Diponegoro sudah ada sejak masih bayi oleh eyang buyutnya, Sultan Mangkubumi I (1717-1792). dalam Babad Diponegoro, disebutkan saat masih bayi merah ia dibawa sang ibunda menghadap eyangnya itu. Mangkubumi kemudian mengatakan: ‘Ini anak sulung pertama dari cucu saya. Dia kemudian meramalkan bahwa sang cucu itu akan mengalami hidup yang luar biasa, yakni akan melakukan kerusakan lebih hebat kepada Belanda dibandingkan dirinya sewaktu Perang Giyanti.

Baca juga:  Perjanjian Bongaya: Latar Belakang, Tokoh, Isi, dan Dampaknya

Selain itu, wadah dari sisi spiritual Diponegoro juga didapat dari nenek buyutnya itu yang separuh darahnya keturunan dari seorang kiai besar di Sragen dan cicit dari Sultan Abdul Kahir I, Raja Kesultanan Bima. Sumber spiritualitas Diponegoro, menurut Peter Carey selain dari Pangeran Mangkubumi, juga bermuara dan berakar dari nenek buyutnya itu selaku orang tua angkatnya sekaligus gurunya. Seperti pepatah orang Yesuit: berilah kami seorang anak sampai usia tujuh tahun, maka ia menjadi manusia yang utuh, kata Peter Carey.

Eyang buyutnya yang telah membentuk, mengarahkan, dan mengasah sisi spiritual Diponegoro muda yang bernama Bendoro Raden Mas Mutahar. Pengaruh spiritual ini sangat kuat karena dari 1783 sampai 1803, Diponegoro memang ke luar dari keraton dan dibawa oleh yang nenek buyutnya tinggal di Tegalrejo, suatu daerah yang berada di pinggiran Kora Ngayogayakarta Hadiningrat. Memang setelah tumbuh di keraton antara 1783 sampai 1803, Diponegoro dibawa ke luar dari keraton. Nenek buyutnya Ratu Ageng (anak perempuan dari Kiai Ageng Derpoyodo, guru agama kondang dari Mejangjati, Sragen membotongnya ke Tegalrejo, suatu daerah yang terkenal saleh.

Para kerabat perempuannya justru lebih berperan dalam pembentukan watak spiritualnya. (Republika.Co.Id, Kamis 12 Feb 2015) Pandangan ini berakar dari pengamalan agama yang mendalam dan dalam hubungannya yang luas dengan komunitas-komunitas santri di Jawa Tengah bagian selatan. Raden Ayu Mangkorowati (1770-1852), selir dari Sultan Hamengku Buwono III, selaku ibundanya Pangeran Diponegoro, adalah keturunan tokoh besar Kiai Ageng Prampelan, Selain itu moyang lainnya adalah Sultan Ngampel Denta Gresik, wali pertama di Jawa yang mendirikan komunitas Islam di Jawa Timur.

Kekuatan spiritual yang dimiliki Pangeran Diponegoro jelas berasal dari tiga generasi perempuan. Pertama, dari eyang buyut putrinya yang berdarah bangsawan Kerajaan Bima. Juga dari generasi eyang putrinya yang berasal dari Pamekasan (Ratu Kedaton, istri Sultan Hamengku Buwono II) yang sangat splehah. Behgitu juga  dari ibunda yang berasal dari Tembayat, sebuah tempat yang cukup berbobot dari sisi spiritual, yaitu Jawa Tengah bagian selatan.

Jadi secara genetic dari “para ibunda” ini Diponegoro dikaitkan dengan dunia desa yang memang ikut memperkuat genetic bawaannya itu, wajar mempunyai kekuatan batin yang kuat dan secara lahiriah juga punya ketangguhan spiritual yang Mumpuni. Seperti saatnya hendak diasingkan ke Batavia, Pangeran Diponegoro tetap intensif melakukan surat menyurat. Bahkan intesivitas komnikasi melalui surat itu pun terus berlangsung hingga Pangeran Diponegoro diasingkan ke Makassar.

Baca juga:  Prediksi 3 Besar Bacalon Walikota Bandung adalah Erwin, Atalia dan Dhani

Pengaruh dari suasana pesantren dan wilayah Tegalrejo sangatlah kental keislamannya itu sangat berperan membentuk karakter Diponegoro kecil. Dia, kata Peter Carey yang intens melakukan penelitian tentang sosok Diponegoro melihat dirinya tumbuh dalam sebuah lingkungan yang sarat dengan diskusi keagamaan. Rumahnya yang luas di Tegalrejo, selain punya lumbung dan pendopo, di bagian sayap rumah itu pun menyediakan tempat tinggal untuk penghulu dari Yogjakarta.

Posisi strategis Tegalrejo itu juga merupakan simpang jalan antara Pesantren Melangi dan daerah-daerah lain, seperti Kasongan, Ploso Kuning, dan Dadapan yang merupakan wilayah ‘pathok nagari’ yang menjadi tempat tinggal para ulama dan ahli hukum fikih. Desa Tegarejo sendiri bisa dianggap seperti pesantren sebab terus-menerus—seperti diceritakan dalam Babad Diponegoro—menjadi tempat yang banyak didatangi orang untuk berdoa dan beribadah serta sekaligus juga sebagai tempat kaum santri mencari ilmu dan tempat petani mencari makan.

Begitulah Diponegoro tumbuh dan berkembang dalam dalam suasana yang selalu bersentuhan dengan rakyat dan secara terus-menerus bersentuhan pula dengan alim ulama. Eratnya hubungan dengan dunia spiritual terbukti dengan peristiwa pernikahan pertamanya dengan Mas Ayu Madu Bronto yang merupakan anak seorang kiai asal Dadapan. Sehingga hubungan Diponegoro dengan pesantren sangat erat dan kuat, yang kemudian menjadi inti sari dari perjuangan Diponegoro, karena sejak awal dia sudah mempunya jaringan yang kuat dan melaus, yakni dukungan sepenuhnya dari bilik pesantren.

Hingga akhirnya, kekaguman sekaligus kegamangan banyak orang pada masanya sempat memepertanyakan, apakah Diponegoro kini masih menjadi seorang satria atau seorang pangeran, ataukah sudah kehilangan sosoknya sebagai orang pangeran dengan menjadi seorang santri? Pertanyaan serupa ini – meski tak sama nyaris senada – seperti banyak orang yang mulai mempertanyakan sosok Eko Sriyanto Galgendu selaku penggagas sekaligus pelaku gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual bagi bangsa Indonesia yang juga menjabat Wakil Ketua Kadin Indonesia serta sebagai pengusaha kuliner.

Jakarta, 10 Februari 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *