Porosmedia – Perjanjian Salatiga menjadi bagian penting dari sejarah kejayaan Kerajaan Mataram di tanah Jawa, khususnya di Jawa Tengah.
Perjanjian Salatiga secara resmi ditandatangani pada 17 Maret 1957, secara garis besar berisi tentang pembagian wilayah kekuasaan kerajaan Mataram menjadi 3 wilayah.
Perjanjian ini juga disebut-sebut sebagai solusi terbaik sejak petinggi Kerajaan Mataram terus mengalami perselisihan akibat dibentuknya perjanjian Giyanti. Bagaimana sejarah lengkap terjadinya perjanjian di Salatiga ini? Simak secara detail penjelasan berikut ini.
Latar Belakang Perjanjian Salatiga
Sebelum Perjanjian Salatiga di terbitkan, Kerajaan Mataram lebih dulu telah menandatangani Perjanjian Giyanti. Dalam perjanjian ini, secara umum menegaskan bahwa pemerintahan Kerajaan Mataram telah selesai. Wilayah kekuasaannya diwariskan kepada 2 petinggi besar yaitu Sultan Hamengkubuwono I dan Sunan Pakubuwono III.
Sultan Hamengkubuwono I menguasai wilayah Yogyakarta, sedangkan Sunan Pakubuwono III mewarisi tahta di wilayah Surakarta atau disebut juga Kasunanan Surakarta.
Perjanjian Giyanti menimbulkan konflik baru karena pembagian warisan yang kurang adil. Sosok yang merasa dirugikan yaitu Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said.
Julukan “Sambernyawa” ternyata muncul karena dia sering membunuh musuhnya saat berperang. Pangeran Sambernyawa merasa tersingkirkan karena tidak mendapatkan warisan tahta.
Padahal secara silsilah, Pangeran Sambernyawa masih keturunan dari Amangkurat IV yang berkuasa dari tahun 1719 hingga 1726.
Amangkurat IV merupakan raja keempat dari Kasunanan Kartasura, yang notabene merupakan lanjutan dari tahta Kerajaan Islam Mataram.
Akibat perjanjian Giyanti yang tidak berpihak pada Pangeran Sambernyawa, akhirnya Pangeran Sambernyawa memberontak dengan terus melawan kepada kedua petinggi Mataram itu.
Pemberontakan atau perlawanan tersebut dilakukan agar bisa memperoleh “jatah” kekuasaan. Usaha perlawanan tersebut cukup sulit terwujud karena ada campur tangan VOC di dalamnya.
Dengan begitu, Pangeran Sambernyawa harus berhadapan dengan 3 pihak sekaligus, yaitu Sultan Hamengkubuwono I, Sunan Pakubuwono III, dan VOC.
VOC atau kongsi dagang dari Hindia Timur Belanda ini cukup kuat untuk dilawan, bahkan terus menekan Pangeran Sambernyawa agar menyerahkan diri.
Meski mengalami kesulitan, hal ini tidak membuat Pangeran Sambernyawa menyerah begitu saja. Hingga akhirnya, demi mengakhiri konflik yang tidak berujung, VOC mengusulkan agar dibuat perjanjian baru, yaitu Perjanjian Salatiga.
Penyebab Terjadinya Perjanjian
Selain konflik antara 3 petinggi Mataram, ada hal lain yang juga menjadi penyebab dibentuknya Perjanjian Salatiga.
Salah satunya yaitu terganggunya aktivitas dagang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Kongsi dagang terbesar besutan Belanda sebenarnya memiliki siasat yang negatif. Namun, mereka bisa mengemasnya dengan baik agar terlihat seolah-olah sebuah kepedulian.
Sekilas, VOC terlihat bijaksana karena telah mendamaikan 3 petinggi Mataram yaitu melalui pembagian wilayah secara adil. Padahal di balik itu, VOC juga tidak ingin misi perdagangannya terganggu hanya karena pertikaian raja-raja. Setelah 3 petinggi Mataram itu mendapatkan wilayah kekuasaan masing-masing, VOC masih gencar menguasai wilayah Jawa lainnya yang jauh lebih luas lagi.
VOC memiliki segudang intrik terselubung. Namun sayangnya, semua raja Mataram justru asik menikmati tahta warisan mereka masing-masing.
Padahal, masih banyak wilayah Jawa lainnya yang perlu diperjuangkan agar tidak berada dalam pengaruh Belanda. Hal ini jelas membuat VOC “tertawa” karena misi mereka tetap berjalan lancar, bahkan wilayah kekuasaannya semakin meluas.
Selain adanya pengaruh yang kuat dari VOC terhadap konflik perebutan wilayah kekuasaan ini, ada 2 alasan mendasar mengapa Salatiga menjadi wilayah yang dipilih.
Alasan paling kuat adalah karena Salatiga merupakan daerah paling netral dan belum dikuasai oleh pewaris tahta Mataram. Selain itu, lokasi Salatiga cukup strategis yaitu berada di tengah-tengah wilayah yang sudah dikuasai.
Isi Perjanjian Salatiga
Perjanjian Salatiga berisi perihal pembagian kekuasaan Kerajaan Mataram di wilayah Jawa Tengah. Meski hampir mirip dengan Perjanjian Giyanti, Perjanjian yang dibuat di Salatiga ini akhirnya bisa meredam konflik yang terjadi di antara Pangeran Sambernyawa, Sultan Hamengkubuwono I dan Sunan Pakubuwono III.
Isi dalam perjanjian salatiga tersebut adalah:
- Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said memperoleh warisan tahta di beberapa wilayah. Wilayah yang dimaksud adalah Wonogiri, Karanganyar, Ngawen-Yogjakarta, serta menjadi petinggi di Mangkunegaran. Gelar yang disematkan adalah Mangkunegara I.
- Petinggi atau penguasa dalam wilayah Mangkunegaran sama sekali tidak boleh bergelar Sunan atau Sultan, melainkan sebatas Pangeran Adipati.
Dampak Perjanjian Salatiga
Setelah resmi membagi 3 wilayah kekuasaan, rupanya Perjanjian Salatiga menimbulkan konflik baru yang mungkin tidak disadari sepenuhnya oleh petinggi-petinggi Mataram.
Sultan Hamengkubuwono I, Sunan Pakubuwono III, dan Pangeran Sambernyawa begitu berambisi untuk menguasai wilayahnya masing-masing, padahal hal ini tidak sesuai dengan harapan raja-raja terdahulunya.
Raja-raja terdahulu ingin seluruh wilayah Jawa bersatu, melawan para kompeni. Namun yang terjadi justru sebaliknya, sebagian besar wilayah Jawa masih berada dalam kekuasaan kompeni, mereka dijadikan “sahabat” oleh para petinggi Kerajaan Mataram. Setelah 56 tahun, Kerajaan Mataram kembali terpecah menjadi 4 wilayah utama. Wilayah yang paling baru adalah Kadipaten Pakualaman.
Keadaan semakin terpuruk saat Sunan Pakubuwono III meninggal. Tahtanya digantikan oleh Sunan Pakubuwono IV. Sunan Pakubuwono memiliki karakter yang begitu keras dengan ambisinya.
Banyak konflik politik yang timbul karena sikapnya yang “melenceng” dari aturan. Salah satunya adalah saat Sunan Pakubuwono IV berniat membagikan gelarnya kepada Arya Mataram.
Arya Mataram akan berubah nama menjadi Sultan Hamengkubuwono I. Hal ini tentu saja seolah menjadi “cambuk” bagi petinggi Mataram lainnya, karena gelar tersebut tidak boleh diberikan secara sembarangan. Polemik politik semakin memanas, dan lagi-lagi VOC diminta untuk menjadi penengah. Tapi usaha ini sama sekali tidak membuahkan hasil.
Sunan Pakubuwono IV masih terus gencar mengeluarkan strategi politiknya. Strategi selanjutnya yaitu penolakan hak suksesi oleh Putra Mahkota dari Kesultanan Yogyakarta.
Peristiwa ini kembali menjadi konflik yang membuat kedua kubu berselisih. Puncak konflik terjadi saat Mangkunegara I kembali menagih janji kepada kompeni (Pemerintah Hindia Belanda).
Janji tersebut berisi tentang pemberian kekuasaan Kasultanan Yogyakarta setelah Sultan Hamengkubuwono I atau Sultan Hamengkubuwono I wafat. Konflik yang terjadi tidak lagi hanya berupa perselisihan, tapi sudah berubah menjadi pertempuran di medan perang. Para petinggi Kerajaan Mataram saling beradu demi memuaskan ambisi kekuasannya.
Pertempuran berlangsung di wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta. Pertempuran itu benar-benar mengakibatkan Kerajaan Mataram runtuh dan tidak ada lagi harapan untuk berjaya seperti dulu lagi. Kerajaan Mataram benar-benar terpuruk akibat keserakahan internal, selain itu mereka sama sekali tidak sadar bahwa semua ini terjadi akibat pengaruh VOC, meskipun tidak terlihat secara terang-terangan.
Runtuhnya Kerajaan Mataram memang tidak serta merta terjadi. Ada konflik dan perselisihan panjang yang menyertainya sebelum dan sesudah Perjanjian Salatiga diresmikan.
Namun dari cerita sejarah ini, bisa diambil sebuah pelajaran penting yaitu tentang ambisi kekuasaan. Menjadi berkuasa bukanlah satu-satunya cara untuk bisa menyatukan bangsa yang tersebar di beberapa wilayah.