Poros Media – Mereka yang kelasnya di tingkat hadiah nobel, baik yang terpilih ataupun yang dicalonkan melalui prosedur resmi, pastilah memiliki karakter karya yang kuat, dengan gagasan besar yang mewarnainya.
Melalui kesimpulan ini, penulis masuk ke topik nobel sastra, Pramoedya Ananta Toer dan Denny JA.
Desember, akhir tahun 2021, jagad sastra dan budaya Indonesia kembali menghangat. Luas menjadi percakapan, The Swedish Academy, panitia Nobel Sastra, mengundang komunitas puisi esai mencalonkan sastrawan Indonesia untuk Nobel Sastra 2022.
Komunitas puisi esai memenuhi undangan itu dengan mencalonkan Denny JA. Maka sepanjang sejarah dunia sastra Indonesia, yang pernah dicalonkan hadiah nobel sastra dengan prosesur resmi, lewat undangan The Swedish Academy, hanya dua sastrawan: Pramoedya Ananta Toer dan Denny JA.
Tapi mengapa hanya mereka berdua yang pernah dicalonkan melalui prosedur resmi? Bukankah di tahun 2021, Indonesia sudah merdeka 76 tahun? Bukankah banyak sekali sastrawan berbakat di Indonesia?
Penulis ingin menjawab pertanyaan itu dengan menggali penerima nobel sastra terakhir, di tahun 2021. Ia adalah Abdulrazak Gurnah.
Dengan menggali kisah Abdulrazak, kini mudah memahami mengapa hanya Pramoedya dan Denny JA yang pernah dicalonkan di Indonesia, melalui prosedur undangan dari the Swedish Academy.
– –
Ketika Abdulrazak diumumkan menang nobel sastra 2021 banyak yang terpana. Siapakah Abdulrazak? Elit sastra saat itu bahkan tak banyak yang mengenal namanya.
Terdengar berita, Abdulrazak adalah novelis kelahiran Tanzania. Tapi bahkan elit politik, ekonomi dan budaya di Tanzania juga tak mengenalnya.
Kini kita sepenuhnya paham. Walau lahir di Tanzania, Abdulrazak sudah meninggalkan negeri itu sejak ia berusia 18 tahun. Ia berdiam di Inggris dan mengajar di University of Kent. Tak heran elit Tanzania tak mengenal namanya.
Abdulrazak seorang imigran, semacam pengungsi yang datang ke Inggris. Ia beruntung dapat menyelesaikan Ph.D di Inggris. Kerinduannya pada Tanzania, kampung halaman, itulah awal riwayatnya sebagai penulis.
Walau novelnya dianggap bernilai sastra tinggi, tapi novelnya tak bernilai komersial. Ia sangat jarang dibicarakan elit komunitas sastra di dunia barat. Ini yang membuat namanya tak dikenal.
Tapi dalam pertimbangan panitia nobel, Abdulrazak layak dimenangkan. Kritikus sastra mengidentifikasi tiga hal ini yang memenangkan Abdulrazak.
Pertama, walau ia dari Tanzania, tapi karya Abdulrazak tersedia dalam bahasa Inggris. Penerjemahan karya ke dalam bahasa Inggris menjadi syarat elementer jika seorang ingin dipertimbangkan oleh panitia nobel.
Kedua, ada gagasan besar yang konsisten, yang mewarnai hampir semua karya Abdulrazak. Ia tak hanya menulis novel. Tapi Ia menulis dan menyebarkan gagasan kuat dalam novelnya.
Gagasan yang dibawa Abdulrazak itu adalah gagasan yang tak hanya penting bagi negaranya Tanzania, tapi juga bergaung di dunia barat. Itu adalah gagasan soal kondisi pengungsi, imigran, kolonialisme, dan budaya di dunia yang terpinggirkan.
Ketiga, kelahirannya di Tanzania, dan asalnya yang kulit hitam, itu justru menambah kuat. Sejak lama panitia nobel dikritik karena terlalu western- centris. Lebih dari 50 persen pemenang nobel sastra hanya berasal dari lima negara saja: Perancis, Amerika Serikat, Inggris, Swedia dan Jerman.
Mereka yang berasal dari luar dunia barat kini justru menambah daya tarik untuk menghilangkan bias western centris itu.
Baca Juga : Dankodiklatad Terima Bintang Bhayangkara Pratama Di Mabes Polri
– –
Melalui tiga alasan itulah kita dapat menilai mengapa di Indonesia hingga tahun 2021, yang memenuhi prosedur resmi, undangan The Swedish Academy, baru mencalonkan dua sastrawan saja: Pramoedya Ananta Toer dan Denny JA.
Pram menulis karya-karyanya dengan perjuangan yang prima, baik secara intelektual maupun non intelektual. Dia mengalami layaknya para tokoh dunia melalui deraan dan pergulatan imaji di dalam ruangan yang tidak diinginkan.
Tokoh sekaliber Soekarno katika menulis Indonesia Menggugat berada di ruang tahanan. Pun seperti Gramsci, tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dalam The Prison Note Book ditulis dalam penjara.
Karya Pram yang terkenal disebut tetralogi Buru dilahirkan dalam tahanan puluhan tahun di Pulau Buru. Dia melakukan kerja penulisan dengan penuh keprihatinan dan lara lapa secara wadag dan batin sehingga tidak mengherankan karya karyanya yang lebih dari 50 an memiliki kualitas prima baik secara estetika bahasa, cerita, maupun nilai sastranya.
Novel tetralogi karya Pramoedya merupakan serial panjang kisah manusia dengan segala aspek kompleksitas kehidupannya. Dimulai dengan pengenalan tokoh Minke yang dikenalkan sebagai tokoh Jawa totok, anak seorang pejabat bupati yang baru diangkat.
Dia menjalin asmara dengan seorang gadis cantik, Annelise, keturunan Indo- Belanda dari keluarga Mellema dengan pasangan Nyai Ontosoroh. Novel tetralogi terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan terakhir Rumah Kaca .
Gagasan soal kolonialisme, perjuangan kesetaraan manusia, isu kemerdekaan, menjadi sangat kental dalam novel Pramoedya.
Karya Pram banyak pula sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
– –
Bagaimana dengan Denny JA? Denny sendiri muncul dalam khazanah sastra Indonesia mengalami polemik pro dan kotra yang berkepanjangan hingga kini. Lepas dari itu semua, karya Denny lebih dari 300 an yang sudah didigitalkan sangat pantas untuk memperoleh penghargaan tertinggi itu.
Pergulatan imaji dan kerja intelektual melahirkan ratusan karya dibutuhkan ketekunan intelektual yang prima.
Polemik tentang sastra memang penting terutama jika yang dibicarakan karya sastranya. Persoalan estetika ganre sastra sangat perlu dibincangkan di ranah manapun.
Bahkan, jika masalah estetika, definisi, dan kategorisasi sastra dipolemikan di kalangan sastrawan itu sendiri sangat bagus karena berdampak pada dialektika pemikiran dan teori.
Pada akhirnya sastra menjadi berkembang dengan sehat dan bermartabat. Oleh karena itu, saya tergerak meneliti struktur pembangun pisi esai penyair indonesia dan fungsinya bagi masyarakat di media sosial tahun 2018 yang dibiayai lembaga penelitian Unnes dengan skim dana hibah profesor.
Gagasan besar yang muncul di banyak karya sastra Denny JA adalah anti diskriminasi, kebebasan, hak asasi manusia. Gagasan ini kental terasa.
– –
Baca Juga : Ini Dia Urutan Pangkat TNI
Karya Pram (Pramoedya Anta Toer) terutama dalam tetralogi karyanya menandakan kritiknya terhadap pengagungan aliran romantik yang cenderung mekanik dan mengedepankan estetika bahasa.
Meskipun karya Pram ditulis dengan estetika bahasa yang bagus, jika dipandang dari segi ideologi teks, karya Pram memberi inspirasi membongkar kemapanan yang selama ini dibangun dan menjadi tembok pemisah serta mengkotak berbagai jenis karya sastra di Indonesia.
Sastra harus berbicara realita di zamannya. Sastra sebaiknya tidak terpisah dengan dunia yang ada di sekelilingnya, bukan cerita romantik yang meninabobokan pembaca.
Tokoh sastra tidak harus orang yang terpinggirkan baik secara politik maupun status sosialnya. Sastra harus memberi inspirasi secara sosial dan lebih jauh harus bermanfaat bagi masyarakatnya.
Inilah karya Pram bagi rezim penguasa waktu itu dipandang “membahayakan” kepapanan penguasa.
Meskipun Pram menciptakan tokoh Minke dari kaum priyayi (anak bupati zaman kolonial), Minke digambarkan sebagai pemuda yang keluar dan bersikap masa bodoh dengan adat tradisi keluarganya.
Dia berani menentang kemauan ayahnya, orang tuanya. Minke berjuang untuk memperjuangkan cintanya dengan gadis Indo Belanda yang bukan kelasnya. Minke juga menentang keinginan orang tuanya untuk memutuskan hubungan dengan anak seorang nyai yang dalam tradisi priiyayi Jawa direndahkan.
Minke menghargai kesetaraan manusia sebagai makhluk sosial yang karenanya menjebol tembok pemisah ideologi feodalistik.
Dalam pandangan romantik yang selama ini digunakan, sastra menjadi terdefinisi sesuai dengan kaidah estetis yang kaku dan cenderung absolut. Sastra menjadi dibedakan antara sastra serius dan karenanya diajarkan di sekolah-sekolah.
Dalam konteks ini cerita silat, cerita remaja yang dicetak secara besar-besaran seperti Cowok Komersil, Ali Topan, Puspa Indah Taman Hati, tidak masuk dalam definisi sastra ini. Mereka digolongkan pada jenis sastra populer yang memiliki tema hitam putih.
Perin menyebutnya dalam kelompok escape literature tidak masuk dalam definisi sastra. Sementara Layar Terkembang dan sebangsanya masuk dalam kelompok sastra serius (interpretive lietarure) sehingga layak diajarkan di sekolah-sekolah, meskipun sebenarnya pandangan ini lemah, apa batasan yang disebut novel serius dan populer.
Ariel Heryanto mencatat ada 3 jenis sastra di Indonesia, sastra resmi atau serius sehingga pantas diajarkan di sekolah, sastra yang dipinggirkan termasuk di dalamnya sastra populer, sastra daerah, dan sastra yang dilarang.
Karya Pram termasuk kelompok pembagian yang terakhir. Kurun munculnya aliran romantik sekitar abad 19 ini menerpa sastra dunia tak pelak pula di indonesia.
Karya penerbit balai pustaka menjadi saksi aliran romantik ini kuat masuk cukup deras. Laporan penelitian Faruk (2001) terangkum dalam belenggu pascakolonial yang meneliti novel Indonesia tradisi balai pustaka
Namun sebenarnya, jebolnya tembok romantik yang sebenarnya warisan kolonial muncul pula dipelopori para pengarang tahun 1970-81 an, seperti Gerson Poyk dalam karyanya Sang Guru, Korrie Layun Rampan dalam Upacara, Putu Wijaya dalam Tiba-tiba Malam, Ahmad Tohari dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Arswendo dalam Canting, Chairul Harun dalam Warisan dan masih banyak seperti Umar Kayam menulis dengan gaya warna lokalnya itu.
Pram melalui karyanya meruntuhkan mimpi mimpi romantik yang selalu dihembuskan wacana kolonial. Mengikuti teoretisi dari tokoh trinitas pascakolonial seperti Edward said, Gayatri spivak, dan Homi K Bhabha tetralogi Buru merupakan contoh aplikasi teori mimikri, ambiguitas, dan hibriditas wacana kolonial itu.
Melalui karyanya, Pram menyodorkan konsep realisme sosial sebagai tandingan romantisme yang selalu memuja kepahlawanan, cinta, cita- cita yang ideal. Sebaliknya, Pram menggambarkan realitas faktual dan sosial yang penuh dengan kenyataan sosial seperti rasisme, penindasan, kegetiran hidup, dan eksploitasi sosial.
– –
Sementara itu, Denny JA dalam ratusan karyanya seperti Atas Nama Cinta, membawa semangat kebebasan, kesetaraan, dan kreativitas. Dalam karyanya, Denny menampilkan tokoh dalam puisi esainya diambil dari orang-orang yang terbelakang, korban penggusuran, korban kesia-saan sebagai manusia yang berasal dari manapun.
Cerita yang dipahatkan dalam puisi esai karyanya diambil dari peristiwa nyata yang menyentuh empati penyairnya. Mereka berasal dari “orang orang” yang terbuang dari lingkungan sosialnya, atau tercerabut dari adat masyarakatnya.
Pendek kata, rasa empati dan simpati penyair ketika melihat tindak ketidakadilan, sewenang-wenang, dan ketimpangan sosial menjadi bahan mentah karyanya sekaligus digunakan untuk mnyampaikan gagasan dan pikirannya menyelesaikan berbagai masalah sosial.,
Aliran romantik ditandai dengan puja bahasa puitik. Sastra haruslah berbahasa puitik, indah, mempesona sehingga menjadi semacam ” pakem”. Yang disebut puisi haruslah sebagaimana bahasa pakem itu.
Denny (sebagaimana dalam laporan penelitian Supriyanto, 2019) menyodorkan konsep puisi esai yang didasarkan pada fakta sosial, kebebasan dan kreatif memilih topik cerita dan bahasa, bebas serta keluar dari tipografi pola puisi.
Menurut Denny, unsur pembangun puisi esai memiliki ciri sebagai berikut. (1) ditulis secara naratif, (2) panjang serta mengisahkan suatu kejadian, (3) ditulis berdasarkan fakta sebuah peristiwa dengan cara dramatis, berbeda sebagaimana lazimnya sebuah puisi konvensional dan, (4) diberi catatan kaki untuk referensi peristiwa,(5) berkisah dari kesedihan, kepiluan, dan tragis, (6) kejiannya di sebuah wilayah lokal tertentu.
Bagi Denny, puisi harus memiliki fungsi bagi masyarakatnya, yaitu (1) sebagai cermin masyarakatnya, (2) memori kolektif, (3) pengingat bagi pengambil kebijakan, (4) memberikan kesadaran akan keberbedaan dalam sebuah masyarakat.
– –
Baca Juga : Pengertian, Wewenang, dan Tugas Polisi
Sebagai penutup, dari kedua calon penerima hadiah nobel memiliki kesamaan pandangan bahwa keduanya menghargai dan menghormati kebebasan dan kesetaraan, serta ditambah Denny mengenai kreativitas.
Karya Denny menginspirasi dan berdampak secara teoretik terhadap paradigma teori sastra masa kini yaitu menguatkan kritik ideologis sastra Indonesia.
Tak heran mengapa hanya Pramoedya dan Denny JA, yang hingga tahun 2021 ini dicalonkan ke nobel sastra melalui prosedur resmi, melalui undangan The Swedish Academy, panitia nobel sastra.
Pada Pramoedya, juga pada Denny JA, ditemukan unsur sebagaimana dimiliki oleh Abdurazak Gurnah: kekuatan karakter dan gagasan besar yang konsisten dalam banyak karyanya.
Oleh: Prof. Dr. RM Teguh Supriyanto