Forum Alumni BEM Tegaskan Penolakan Tambang Nikel Di Raja Ampat 

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Forum Alumni Badan Eksekutif Mahasiswa (FABEM), di bawah kepemimpinan Ketua Umum Zainuddin Arsyad, menyatakan penolakan tegas terhadap rencana penambangan nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat. Penolakan ini didasarkan pada kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan tersebut.

Dampak Lingkungan Serius Akibat Tambang Nikel

FABEM menyoroti lima dampak utama dari pertambangan nikel yang sangat membahayakan ekosistem Raja Ampat:

1. Pencemaran Air
Aktivitas tambang berpotensi menciptakan air asam tambang dan sedimentasi yang mencemari sumber air bersih, merusak ekosistem laut, serta mengancam keanekaragaman hayati.

2. Pencemaran Tanah dan Longsor
Limbah tambang dapat mencemari tanah dan mempercepat erosi, sehingga meningkatkan risiko bencana longsor di kawasan yang sensitif.

3. Kerusakan Habitat
Penambangan dapat menghancurkan habitat alami flora dan fauna endemik, menyebabkan kepunahan lokal spesies yang hanya ada di Raja Ampat.

4. Deforestasi
Pembukaan lahan untuk tambang dapat menyebabkan penggundulan hutan, memperburuk perubahan iklim mikro dan menghilangkan penyangga ekosistem alami.

Baca juga:  Oligarki Kuat di Balik Tambang Raja Ampat: Saat Alam Dipertaruhkan, Siapa di Balik Kuasa?

5. Dampak Sosial
Warga lokal berpotensi kehilangan mata pencaharian, terutama yang menggantungkan hidup dari perikanan dan pariwisata, serta terpapar risiko kesehatan akibat pencemaran.

Raja Ampat: Surga Keanekaragaman Hayati Dunia

Sebagai salah satu kawasan laut terkaya di dunia, Raja Ampat memiliki lebih dari:

2.500 spesies ikan laut (Sumber: WWF)

75% spesies karang dunia (Sumber: Conservation International)

Ratusan jenis moluska dan invertebrata laut

Mamalia laut seperti paus, dugong, dan lumba-lumba

“Kehadiran tambang di Raja Ampat akan merusak surga biodiversitas yang tak ternilai. Ini bukan hanya masalah Papua Barat, tapi krisis ekologis berskala global,” tegas Zainuddin Arsyad, Ketua Umum FABEM.

Gerakan FABEM: Konsolidasi Nasional Menolak Tambang

FABEM mengajak seluruh elemen bangsa – mahasiswa, akademisi, aktivis lingkungan, dan masyarakat adat – untuk bersatu menolak eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat.

“Kami percaya lingkungan adalah warisan bangsa yang harus dijaga demi keberlanjutan generasi mendatang,” tambah Zainuddin.

Wakil Ketua Umum FABEM Bidang Kerja Sama Antar-Lembaga & Hukum, Tody Ardiyansah Prabu, S.H., menegaskan komitmen organisasi dalam mengawal gerakan ini.

Baca juga:  Ikatan Alumni Fakultas Hukum UNDIP Minta DPR Ikuti Putusan MK, Jangan Memperburuk Situasi Hukum dan Sosial Indonesia

“Kami siap mengkonsolidasikan seluruh kekuatan sipil untuk melawan praktik tambang yang merusak, serta membangun solidaritas lintas pulau agar insiden serupa tidak terulang,” ujar Tody.

Ia juga menekankan pentingnya penerapan Good Mining Practice (GMP), atau kaidah teknik pertambangan yang baik, sebagai syarat mutlak bagi setiap kegiatan pertambangan di Indonesia.

Landasan Hukum: Pulau Kecil Bukan untuk Tambang

Menurut UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007, penggunaan pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir harus diprioritaskan untuk kegiatan non-pertambangan, seperti konservasi, pendidikan, perikanan, dan pariwisata berkelanjutan.

Karena itu, kembali Tody mengingatkan bahwa:

“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 sudah memperkuat posisi hukum bahwa pertambangan bukan prioritas di pulau kecil. Kewajiban syarat kumulatif harus terpenuhi—pengelolaan lingkungan, kelestarian tata air, dan teknologi ramah lingkungan.”

Selain itu, Pasal 35 UU No. 27 Tahun 2007 secara tegas melarang aktivitas yang mengganggu ekosistem pesisir, termasuk penambangan terumbu karang dan pembangunan yang bertentangan dengan rencana tata ruang wilayah pesisir.

Baca juga:  IPW desak Pengadilan, Hukum Berat bagi Pelaku Kekerasan terhadap Perempuan secara Beruntun