Toleransi Beragama Dalam Islam

Avatar photo
Toleransi Beragama Dalam Islam
Ilustrasi via: Kompas.com

Porosmedia.com, Toleransi Beragama Dalam Islam – Toleransi atau as-samahah (arab) adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama diantara kelompok masyarakat yang berbeda-beda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Oleh karena itu toleransi merupakan konsep yang bagus dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama termasuk agama islam.

Toleransi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) terhadap pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Beberapa ahli juga memiliki pandangan tersendiri tentang toleransi ini. Menurut Tilman, toleransi merupakan sikap untuk saling menghargai dengan tujuan untuk menjaga perdamaian. Menurutnya, sebuah perdamaian tercipta dari sikap toleransi ini.

Tidak bisa dipungkiri jika toleransi memegang peranan penting dalam menjaga perdamaian. Tentu sikap toleransi ini sangat dibutuhkan di tengah masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang budaya bangsa yang sangat beragam seperti agama, suku, ras dan juga warna kulit.

Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, islam memiliki konsep yang jelas. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

لَـكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
lakum diinukum wa liya diin
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
(QS. Al-Kafirun 109: Ayat 6)

“Tidak ada paksaan dalam agama, bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami” adalah contoh populer dari toleransi dalam islam. Fakta-fakta itu menunjukan bahwa masalah toleransi dalam islam bukanlah konsep asing atau ghorib.

Toleransi adalah bagian integral dari islam itu sendiri yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karya-karya tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para ulama dengan pengayaan-pengayaan baru sehingga pada akhirnya menjadi praktik kesejahteraan dalam masyarakat islam.

Demikian sikap toleransi sangatlah penting sebagai alat pemersatu bangsa. Tanpa adanya toleransi kehidupan yang penuh dengan kemajemukan dan perbedaan ini tidak akan pernah bersatu. Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kemanjemukan yang cukup tinggi. Suku serta budaya yang cukup beragam dan bahasa daerah yang cukup banyak, maka sangat dibutuhkan sikap toleransi yang diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di dalamnya.

Baca juga:  Kerukunan Umat Beragama, Pelihara Persatuan Bangsa

Setiap orang harus saling mengerti dan memahami akan arti perbedaan. Namun fenomena yang terjadi akhir-akhir ini masih banyak terjadi gejolak sosial yang timbul dari akibat kurang bisa menegakkan sikap toleransi, khususnya sikap toleransi antar umat beragama.

Toleransi merupakan bagian dari visi teologi islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama karena ia adalah suatu keniscayaan sosial bagi seluruh umat beragama dan merupakan jalan bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama.

Salah satu isu yang terus berulang, khususnya setiap bulan Desember adalah isu toleransi dan ucapan Selamat Natal. Ucapan selamat natal termasuk membantu, memfasilitasi, terlibat langsung dan menghadiri perayaan natal dan perayaan agama lain sering dikaitkan dengan sikap dan bukti toleransi.

Islam memang mengajarkan sikap toleransi. Dalam Islam, toleransi bermakna membiarkan umat lain menjalankan ritual agamanya, termasuk perayaan agamanya. Toleransi juga bermakna tidak memaksa umat lain untuk memeluk Islam. Toleransi (tasamuh) artinya sikap membiarkan (menghargai), lapang dada (Kamus Al-Munawir, hlm. 702, Pustaka Progresif, cet. 14).

Toleransi tidak berarti seorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dia anut (Ajad Sudrajat dkk, Din Al-Islam. UNY Press. 2009). Toleransi dalam Islam itu bukan berarti menerima keyakinan yang bertentangan dengan Islam. Imam asy-Syaukani dalam Tafsir Fath al-Qadîr menyatakan: Abdu ibn Humaid, Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Mardawaih telah mengeluarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas bahwa orang Quraisy pernah berkata kepada Rasul Saw.

Namun perlu diketahui sebenarnya , toleransi bukan lantas memberikan ucapan selamat atas hari raya dan perayaan keagamaan agama lain. Masalah ucapan selamat hari raya agama lain tidak selayaknya dianggap remeh. Tidak selayaknya masalah itu disepelekan.

Baca juga:  Kemuliaan Serta Peran Seorang Ibu

Misalnya, dengan ungkapan, “Ucapan Selamat Natal tidak akan mengurangi imanmu.” Yang harus diingat, ucapan selamat itu mengandung doa dan harapan kebaikan untuk orang yang diberi selamat. Juga menjadi ungkapan kegembiraan dan kesenangan bahkan penghargaan atas apa yang dilakukan atau dicapai oleh orang yang diberi selamat.

Padahal Perayaan Natal adalah peringatan kelahiran anak Tuhan dan Tuhan anak. Dengan kata lain itu adalah perayaan atas kemusyrikan (menyekutukan Allah SWT). Lalu bagaimana mungkin umat Islam mengucapkan selamat dengan semua kandungan maknanya itu kepada orang yang menyekutukan Allah SWT? Padahal jelas Allah SWT telah menyatakan mereka adalah orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72-75)

الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (72) لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (73) أَفَلَا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (74) مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ انْظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الْآيَاتِ ثُمَّ انْظُرْ أَنَّى يُؤْفَكُونَ (75)

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesung­guhnya Allah ialah Al-Masih putra Maryam,” padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhan kalian.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepada­nya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, “Bahwa Allah salah seorang dari yang tiga “padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.

Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya telah berlalu se­belumnya beberapa rasul dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (Ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).

Baca juga:  Salam Pancasila, Mampukah Menjadi Pemersatu Bangsa?

Di akhirat kelak mereka akan dijatuhi siksaan yang amat pedih. Keyakinan Trinitas itu di sisi Allah SWT adalah dosa dan kejahatan yang sangat besar. Kejahatan ini nyaris membuat langit pecah, bumi belah dan gunung-gunung runtuh (lihat QS Maryam [19]: 90-92).

“Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik.” Imam Malik menyatakan,  “Kaum Muslim dilarang untuk merayakan hari raya kaum musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya.”  (Ibnu Taimiyyah, Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm, hlm. 201).

Dengan demikian kaum Muslim harus tetap memegang teguh Islam dan syariatnya. Jangan sampai terpengaruh dengan propaganda, seruan, bahkan tipu daya dari pihak mana pun yang sekilas terkesan baik, namun sejatinya menggiring kaum Muslim untuk menjauhi dan menanggalkan ajaran Islam sedikit demi sedikit.

Sebaliknya, kita mesti makin mengentalkan keislaman kita, makin kaffah menjalankan syariat, dan makin bersungguh-sungguh memperjuangkan penerapan syariat secara kaffah di tengah kehidupan. Itulah yang akan memberikan kebaikan, keadilan, toleransi, ketenteraman, dan kehidupan yang baik bagi semua manusia, Muslim dan non-Muslim.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *