Porosmedia.com – Kapolda Sumut Irjen RZ Panca Putra Simanjuntak mengatakan ada 656 orang yang menjadi penghuni kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin. Dia mengatakan jumlah itu merupakan total penghuni sejak 2010 (news.detik.com Sabtu, 29/01/2022).
Keberadaan kerangkeng manusia ini terungkap saat tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan (OTT) di rumah politikus Partai Golkar itu. Kapolda Sumatera Utara Irjen Panca Putra Simanjuntak mengklaim kerangkeng di rumah Terbit digunakan sebagai tempat rehabilitasi para pecandu narkoba yang sudah berlangsung selama 10 tahun. Namun belakangan, laporan baru menyebut orang-orang yang menghuni kerangkeng itu berasal dari berbagai latar belakang.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu mengaku pihaknya menemukan fakta berbeda saat melakukan penelusuran langsung. Kerangkeng manusia yang diklaim sebagai tempat rehabilitasi itu sangat jauh dari kenyataan.
“Opini yang terbangun, itu adalah tempat pembinaan pecandu narkotika. Namun fakta yang kami temukan di lapangan, ada informasi tidak semua pecandu narkotika. Mereka adalah orang-orang dari berbagai latar belakang. Ada yang penjudi, tidak setia sama istrinya, pencuri. Jadi macam-macam. Sehingga penggunaan diksi rehabilitasi itu sangat jauh dan tidak tepat,” tegasnya (CNNIndonesia.com, Ahad, 30/01/2022).
Ada Pembiaran Terstruktur
Edwin juga mengatakan, ada indikasi pembiaran terstruktur yang dilakukan beberapa pihak, termasuk dari elemen pejabat pemerintahan terhadap kerangkeng manusia di rumah Bupati. Berdasarkan temuan dari tim LPSK yang diterjunkan untuk menyelidiki langsung terhadap para saksi soal kerangkeng manusia itu, ada polisi yang menyarankan warga untuk merehabilitasi anggota keluarganya yang merupakan pecandu narkoba.
Tak hanya itu, Edwin menyinggung terdapat video yang diunggah istri Bupati Langkat ke sosial media pribadinya. Di video itu, kata dia, tampak Dinas Komunikasi dan Informatika setempat juga sempat mengunjungi dan melihat kerangkeng manusia tersebut.
“Jadi Kepala Dinas tahu. Setidaknya Bupati juga didampingi ajudan yang (berlatarbelakang) polisi pasti tahu. Tapi jadi pertanyaan Bupati ini bukan orang biasa, dan bukan sekedar pengusaha, dia tak sekadar anggota ormas, tapi juga pejabat pembuat produk hukum.” kata dia. “Tapi kenapa dia membuat tempat yang katanya itu pembinaan tapi ilegal? Dia pasti tahu hukum. Selama 10 tahun dia mempertahankan tempat ini.”
Tidak hanya itu, Edwin menduga ada pungutan uang di kerangkeng manusia tersebut. LPSK menemukan ada berkas bertuliskan keterangan pembayaran dengan nominal tertentu. Bahkan Edwin juga menemukan temuan surat yang bertuliskan adanya kereng atau kerangkeng ketiga. Artinya, ia menduga ada kerangkeng lain yang posisinya bukan terletak di rumah itu. Namun belum diketahui keberadaannya hingga saat ini.
Edwin juga membeberkan ada orang yang ditahan di tempat tersebut hingga empat tahun lamanya. Hal itu terungkap ketika LPSK bertemu dengan salah satu korban yang sudah bebas dari rumah tahanan tersebut. Bahkan, ia menemukan ada surat pernyataan dari pihak keluarga tidak akan menuntut bila sakit atau meninggal dalam menjalani masa rehabilitasi tersebut.
Diduga Praktik Perbudakan dan Kekerasan
Migrant Care menyebutkan ada 40 orang pekerja kelapa sawit di dua kerangkeng di rumah Bupati Langkat. Para pekerja itu diduga mengalami kekerasan berupa pemukulan.
“Para pekerja yang dipekerjakan di kebun kelapa sawitnya sering menerima penyiksaan, dipukuli sampai lebam-lebam dan sebagian mengalami luka-luka,” kata Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah. Ia juga mengatakan kerangkeng di rumah Terbit disebut sebagai tempat rehabilitasi narkoba hanyalah kedok untuk menghindari hukuman. Ia menilai kerangkeng tersebut digunakan untuk praktik perbudakan modern.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam mengungkapkan adanya praktik kekerasan di dalam kerangkeng rumah Bupati Langkat. Praktik kekerasan itu diduga menelan korban jiwa hingga lebih dari satu nyawa (CNNIndonesia.com Senin, 31/01/2022).
Warga Merasa Terbantu dengan Adanya Kerangkeng
Ratusan warga mendatangi kerangkeng di belakang rumah pribadi Bupati Langkat di Desa Raja Tengah, Kabupaten Langkat, Sumut.
“Warga berharap agar pemerintah dapat kembali membuka dan melegalkan kerangkeng tersebut. Karena selama ini, kerangkeng yang dianggap seram, namun merupakan tempat pembinaan bagi orang pecandu narkoba,” kata salah seorang warga Langkat, Dapat Br Tarigan, Rabu. “Selama kerangkeng itu ada (tempat pembinaan), kondisi di desa kami aman dan tidak ada lagi pencurian,” ujarnya pula.
Ia menyebutkan, tidak benar di lokasi kerangkeng itu tempat penyiksaan dan dianggap seram. Justru tempat kerangkeng tersebut sangat membantu warga Langkat. Tarigan mengatakan, sebelum adanya panti rehabilitasi itu sepuluh tahun yang lalu, pencurian meningkat dan sangat meresahkan warga (m.antaranews.com Kamis, 27/01/2022).
Kegagalan Penguasa dalam Memberantas Kasus Narkoba
Ketika sistem kapitalisme bertahta, maka penguasa tidak akan pernah mampu menyelesaikan masalah apa pun secara tuntas. Apapun solusi yang dilahirkan oleh sistem kapitalis sekuler ini akan selalu menimbulkan masalah baru. Narkoba bukanlah masalah yang terjadi hanya sekali atau dua kali. Ini adalah permasalahan berulang yang terjadi berkali-kali di tengah-tengah masyarakat.
Biasanya ketika berhasil dikuak, maka si pemakai narkoba akan langsung digiring ke pusat rehabilitasi. Namun para gembong narkoba atau bahkan mafia yang bertahta di pusat peredaran narkoba masih tetap mampu untuk terus melaksanakan bisnisnya. Sebab, bisnis narkoba adalah salah satu bentuk perdagangan yang amat menggiurkan bagi kaum pengusaha. Ketika gembong atau mafia narkoba tertangkap, biasanya sanksi yang dijatuhkan oleh pemerintah sangat lemah dan tidak menimbulkan efek jera bagi si pelaku. Apalagi jika si gembong itu adalah salah satu bagian dari kaum elit oligarki.
Telah menjadi rahasia umum bahwa hukum di dunia kapitalis sekuler saat ini adalah tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Pemerintah tidak mampu memberikan sanksi yang tepat dan cenderung mengabaikan kebutuhan masyarakat akan hukum yang adil. Ketika pelaku peredaran narkoba dibiarkan berkeliaran sementara masyarakat merasa terganggu dengan hal tersebut, maka muncullah niat untuk memberikan keadilan sendiri.
Kerangkeng : Bentuk Keadilan Main Hakim Sendiri
Adanya kerelaan dan pembiaran dari warga sekitar untuk mempertahankan keberadaan kerangkeng di rumah Bupati Langkat tidak lain karena pemerintah tidak mampu memberikan hukum yang layak bagi pelaku kejahatan. Tidak hanya pecandu narkoba, namun juga pencuri, penculik, penjudi dan pelaku perselingkuhan (zina) perlu mendapat hukuman yang tegas dari negara.
Sayangnya, negara berbasis kapitalisme sekuler tidak mampu menjamin kesejahteraan masyarakat untuk memperoleh keadilan hukum yang seharusnya. Bahkan pelaku judi dan perselingkuhan bisa dengan mudah berkeliaran bebas tanpa mendapat sanksi sedikit pun.
Hadirnya kerangkeng di rumah Bupati Terbit mungkin memang memberikan bentuk perlindungan dan keamanan bagi masyarakat setempat. Karena akhirnya ada tempat bagi para pelanggar hukum yang memberikan efek jera bagi mereka. Namun, masyarakat tidak menyadari bahwa keberadaan kerangkeng yang ilegal justru merupakan tindak pelanggaran hukum negara. Tidak patut pula jika kerangkeng tersebut dijadikan sasaran pelampiasan kemarahan warga hingga menjadi perbudakan terselubung.
Apalagi setelah terungkap adanya penganiayaan dan kekerasan yang sengaja ditutupi oleh warga dan pihak aparat setempat. Ini adalah bukti bahwa masyarakat amat membutuhkan tindak keadilan hukum negara. Karena hanya negaralah institusi yang berhak untuk melaksanakan hukum kepada pelaku kejahatan. Namun untuk itu, diperlukan sistem yang layak serta aturan kehidupan yang benar (shahih) agar tidak menzalimi masyarakat maupun pelaku kejahatan itu sendiri.
Dibutuhkan Sistem Islam
Narkoba pada dasarnya sudah termasuk ke dalam permasalahan sistemik. Permasalahan ini tidak akan selesai hanya dengan para pemakai obat terlarang ini ditangkap dan direhabilitasi, namun juga harus diberantas hingga ke akarnya. Gembong atau mafia pengedar dan penyuplai produksi narkoba harus ditangkap dan menjalani hukuman yang sesuai. Sehingga dibutuhkan peran negara yang bertanggung jawab untuk mengurus masalah ini hingga tuntas.
Untuk itu, sangat diperlukan sistem islam yang akan menerapkan syariat islam sebagai aturan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Negara Islam akan menerapkan sanksi yang pantas bagi pelaku dan pengedar narkoba agar menjadi zawajir (pemberi efek jera) sehingga tidak akan mengulangi kesalahan tersebut dan sebagai jawabir (penebus dosa) untuk melepaskan dan menghapuskan dosa mereka atas perbuatan tersebut.
Syekh Saud Al Utaibi dalam kitabnya Al Mausu’ah Al Jinayah Al Islamiyah dan Syekh Abdurrahman Maliki dalam kitabnya Nizhamul Uqubat mengatakan bahwa kasus narkoba bisa dikategorikan ke dalam sistem sanksi ta’zir yang jenis dan kadarnya ditentukan qadhi. Hukuman yang ditentukan qadhi bisa berbeda sesuai dengan kadar perbuatan kejahatannya. Misalnya dipenjara atau dicambuk. Tidak dipukul rata kepada setiap orang. Namun yang terpenting, hukuman bagi kejahatan ini akan dijalankan oleh negara tanpa pandang bulu.
Kemudian, masyarakat akan pun dibina kesadarannya dalam sistem islam agar menjadi masyarakat yang peduli. Setiap individu diwajibkan untuk mendapatkan sistem pendidikan islam agar memiliki pemikiran berbasis aqidah islam dan bertakwa kepada Allah Ta’ala. Sistem hukum islam yang dijalankan oleh penguasa negara Islam tanpa memandang status dan kedudukan pun akan mampu melindungi dan membuat masyarakat merasa aman. Sehingga secara otomatis masyarakat tidak akan melakukan penghakiman sendiri.
Negara islam pun akan melarang masyarakat untuk melakukan penyiksaan dan penganiayaan terhadap sesama manusia. Apalagi kepada pekerja dan pegawai yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Negara akan memastikan setiap hukum mampu melindungi keamanan dan kenyamanan pekerja dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya. Wallahu’alam bisshawwab.