Porosmedia.com, Kab. Bandung Barat – Dalam pemandangan yang jarang terjadi, Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Herman Suryatman, memimpin apel pagi di tengah tumpukan sampah Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat, Senin (16/6/2025). Apel yang diikuti seluruh aparatur sipil negara (ASN) dan non-ASN Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jabar itu bukan sekadar rutinitas birokrasi, tapi pernyataan keras: Jawa Barat sedang darurat sampah.
Dengan aroma menyengat menusuk udara pagi, apel tetap berlangsung khidmat. Namun lebih dari sekadar kesan simbolik, apel ini menjadi panggung bagi Sekda untuk mengingatkan: masalah persampahan tak lagi bisa ditutupi dengan retorika hijau dan jargon keberlanjutan.
“Apel pagi ini adalah konsolidasi di depan timbunan masalah. Semua ASN DLH Jabar harus mencium dan merasakan langsung krisis ini,” ujar Herman, tegas.
“Kita Tidak Sedang Baik-Baik Saja”
Kalimat ini bukan metafora. Herman dengan gamblang menyatakan bahwa sistem pengelolaan sampah di Jawa Barat berada di titik rawan.
“Biar kita sadar bahwa kita tidak sedang baik-baik saja, khususnya dalam pengelolaan sampah,” katanya.
Krisis persampahan bukan hal baru. Namun, ketegasan seperti ini jarang muncul dari mulut pejabat struktural. Apel di Sarimukti seolah menjadi wake-up call internal di tubuh DLH Jabar—sebuah pengakuan terbuka bahwa penanganan limbah telah terlalu lama berjalan lambat, bahkan stagnan.
Dalam amanatnya, Herman mendorong para pegawai DLH Jabar untuk bekerja dengan tiga nilai utama:
Welas asih: bekerja dengan hati dan empati,
Pok torolong: cepat dan tanggap,
Leber wawanen: berani mengambil keputusan.
Gagasan ini menarik, namun muncul pertanyaan: mampukah nilai-nilai ini hidup dalam sistem birokrasi yang kerap tersandera prosedur, tumpang tindih kewenangan, dan minim akuntabilitas?
Tanpa pembenahan struktural dan keberanian merombak pola pikir birokrasi yang terlalu prosedural, nilai-nilai tersebut rentan menjadi sekadar jargon baru.
Herman menegaskan dorongan untuk beralih dari praktik open dumping ke sistem sanitary landfill. Pernyataan itu sekaligus mengakui bahwa hingga saat ini, sebagian besar tempat pembuangan akhir di Jawa Barat masih mengandalkan sistem primitif yang merusak lingkungan.
“Kita dorong agar tidak lagi menggunakan open dumping, tapi sanitary landfill,” ujarnya.
Ironisnya, Sarimukti yang disebut sudah menerapkan teknologi pengolahan modern pun masih menyimpan banyak persoalan, terutama dalam pengelolaan limbah cair dan gas metana yang berisiko tinggi bagi lingkungan dan kesehatan warga sekitar.
“Masih ada kekurangan, terutama dalam pengelolaan limbah. Hari ini sedang kami perbaiki,” kata Herman.
Pernyataan ini kembali memperlihatkan bahwa sekalipun pemerintah mengklaim telah mengadopsi teknologi pengolahan sampah, realitas di lapangan masih jauh dari ideal.
Apel di gunungan sampah tentu punya daya simbolik yang kuat. Tapi di luar panggung media, publik akan menunggu langkah konkret. Apakah ini akan diikuti oleh reformasi manajemen DLH, percepatan pembangunan TPPAS Legoknangka yang mangkrak bertahun-tahun, atau pengetatan pengawasan limbah industri yang selama ini menjadi biang pencemaran di sungai-sungai utama Jabar?
Tanpa roadmap yang jelas dan penguatan pengawasan, khawatirnya momentum seperti ini akan menguap begitu saja—tertimbun kembali oleh tumpukan sampah birokrasi.