Jacob Ereste :
Porosmedia.com – Krisis minyak goreng itu mungkin memang disengaja, agar tak banyak orang menjadi sakit karena mengkonsumsi makanan berminyak. Lagian, mengapa harus membiarkan diri dijajah oleh minyak.
Toh, tempe goreng bisa dicoba untuk dinikmati dengan cara direbus. Apalagi pisang, bisa lebih terasa manis kalau direbus, seperti kentang.
Indonesia semestinya bisa lebih sakti ketika dilanda krisis minyak. Apa salahnya kita bisa lebih toleran pada para penimbun minyak. Apagi untuk pejabat, dari pada mereka ngentit lagi duit rakyat, toh mungkin lebih bagus ikut jadi penimbun minyak goreng.
Sebab, mungkin hanya dengan begitu drama nyata suatu bangsa yang dikepung kelapa sawit, justru mulai mampu menjadi anti minyak kelapa sawit. Sehingga warga tak lagi merasa terjajah oleh minyak goreng. Sebab warga sudah mampu membandingkan tragikanya kelangkaan tempe sebagai turunan dari dinasti kacang kedele itu.
Lagian, kitabisa buktikan bahwa singlong rebus itu tidak cuma makanan khas asli rakyat, tapi juga lebig sehat dari ancaman kolesterol dan ancaman yang tidak sehat lainnta.
Sejumlah warga masyarakat yang dikabarkan masih merasa kesulitan untuk mendapat minyak goreng, sebetulnya bisa gampang diatasi bila mau dilupakan sejenak saja, seperti memberi maaf atau kesempatan bagi para penimbun minyak goreng itu sampai terpuaskan nafsu dan keinginannya, biar pasar menjadi panik dan semua orang menoleh pada hasil kebun dari negeri kita itu yang kurang dihargai di negerinya sendiri, seperti warga masyarakat, sehingga merasa lebih nyaman jadi TKI dk negeri orang.
Krisis minyak goreng sudah terjadi berbulan-bulan itu, kara Inspektur Jenderal Kementerian Perdagangan (Kemendag) Didid Noordiatmoko, seharusnya memang tidak perlu mengalami kelangkaan karena, produk minyak goreng sudah mendekati cukup untuk kebutuhan konsumen. Jadi memang, minyak goreng kita yang sudah melimpah produksinya itu patut mendapat perhatian, setidaknya menandai bahwa hanya dengan minyak goreng saja — tak cuma warga yang bisadibuatnya kelimpungan — toh Kementerian Perdagangan pun, bisa terkesan bodoh hanya untuk urusan minyak goreng.
Artinta, kan tidak perlu membuat kita harus sibuk membayangkan kemampuannya untuk mengatasi masalah harga pangan yang lain. Sebab boleh jadi, dengan cara berlagak dungu seperti itu, alasan untuk mengekspor semua kebutuhan bahan pokok pangan dapat dimaklumi dan memperoleh pembenaran dan keikhlasan dari rakyat yang selama ini tidak yakin sebagai pemberi sumber penghidupan atau penghasilan agar dapat menjadi kaya raya dalam satu periode saja. Agar bagi mereka yang tidak setuju pada wacana perpanjangan masa jabatan tiga periode, misalnya bisa sedikit bertenggang rasa.
Bayangkan, sekelas Inspektur Jendral Kemendag harus ikut menjelaskan pada warga pun dirinya berharap kelangkaan minyak goreng bisa diatasi sebelum akhir Maret 2022. Artinya, soal minyak goreng yang selama ini dianggap sepela, tidak kalah seru goncangannya dibanding pandemi Covid-19 maupun Varian Omicron yang sudah mampu dijinakkan. Meski soal lain lagi kemudian ada yang tak kalah meresahkan, perpanjangan masa kedaluarsa dari cairan suntikan vaksin yang akan segera diberlakukan. Tentu akibatnya jadi membuat ketakutan sendiri untuk siapa saja yang hendak disuntik vaksin berikutnya.
Begutulah, tampaknya cara terbaik untuk menunjukkan kepedulian dan keseriusan aparat terkait yang wajib untuk mengatasi krisis minyak goreng, sehingga jasa dan keseriusan kerjanya untuk menyelesaikan kelangjaan minyak goreng itu patut mendapat setya lencana jasa, apa aaja sesuka dan serela-relanya dari rakyat.
Sebab, mungkin hanya dengan begitu cara terbaik agar nantinya
minyak goreng itu dapat dengan mudah diperoleh oleh warga bangsa Indonesia yang patut lebih pandai menghargai jasa para pahlawan gadungan sekalipun.
Karena itu, warga masyarakat tak perlu resah, sebab keresahan lain masih terlalu banyak yang harus mendapatkan perhatian ekstra. Bukan cuma kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng itu semata. Apalagi berikut harga yang murah dan yang juga terjangkau. Padahal, mungkin saja dari minyak goreng inilah jalan satu-satu untuk memperkaya diri dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, agar tak perlu ikut usil mengusulkan perpanjangan masa jabatan yang tidak seberapa bisa memanfaatkan kekuasaannya yang dirasa amat sangat singkat itu.
Toh, sebagai Inspektur Jendral Kemendag, Didid Noordiatmoko, justru meyakinkan bahwa wargalah yang menimbun minya goreng sehingga menyebabkan kelangkaan minyak goreng dipasaran. (Repelita Online, 2022-03-10). Begitulah hebat sinkroniknya drama minyak goreng. Karena dari narasi dari Kemendag sendiri, Muhamad Lutfi justru jadi lebih dramatik, karena minyak goreng itu karena dijual murah ke luar negeri.
Jadi maknanya, harga minyak goreng yang dijual murah ke luar negeri itu, jangan dibayangkan lebih murah dari harga di kampung kita. Karena seorang tengkulak yang paling bodoh pun didunia hingga akherat pun tidaklah terlalu tolol untuk berhitung tentang untung.
Jika pun harus sedikit agak mengorbankan tetangga atau bangsanya akibat dari keculasan menjual minyak goreng itu ke negeri orang, apa pekerjaan yang lebih kejk dari itu yang mau dicatat sejarah ?
Jaya Suprana saja yang mbelingnya sulit ditakar — bahkan punya museum rekor — seperti kehabisan nyali untuk mencatat di museum Muri, adanya menteri yang ikut kulakan minyak goreng yang justru sedang langka di negeri nenek moyangnya ini, tanpa takut kualat, apalagi cuma sekedar gertak sambel KPK yang mungkin pula sudah bisa diajak cingcai juga.
Jakarta, 10 Maret 2022