Kupas Tuntas Korupsi Pertamina: Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh

Antara Raksasa Energi dan Bayang-Bayang Korupsi

Avatar photo

Porosmedia.com — PT Pertamina (Persero), sebagai BUMN strategis di sektor energi, memiliki peran sentral dalam ketahanan energi nasional. Namun, perusahaan yang mestinya menjadi pilar kemajuan industri minyak dan gas (migas) Indonesia ini justru kerap tersandung skandal korupsi yang mencoreng kredibilitasnya. Dalam sorotan publik terbaru, dugaan korupsi pembelian LNG di era 2011–2021 yang menyeret eks-Direktur Utama Karen Agustiawan membuka kembali luka lama: kenapa Pertamina begitu rentan terhadap praktik korupsi sistemik?

Fakta Kasus: LNG dan Manuver di Balik Meja

Kasus LNG menjadi pintu masuk terbaru bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengungkap indikasi kerugian negara yang ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah. Investigasi awal mengungkapkan adanya kontrak pembelian LNG jangka panjang dari perusahaan luar negeri tanpa kajian risiko dan proyeksi pasar yang memadai. Akibatnya, negara tak hanya dirugikan secara finansial, tetapi juga dari sisi kedaulatan energi karena tergantung pada pasokan global.

Penetapan Karen Agustiawan sebagai tersangka mengindikasikan bahwa kebijakan strategis perusahaan dapat dimanipulasi oleh kepentingan individu atau kelompok tertentu. Poin krusial dalam perkara ini adalah minimnya akuntabilitas dalam pengambilan keputusan serta lemahnya sistem pengawasan internal di tubuh Pertamina.

Anatomi Korupsi di Tubuh Pertamina

Korupsi di Pertamina tidak bisa dilihat sebagai insiden tunggal. Sejak era Orde Baru, perusahaan ini telah menjadi ladang basah bagi para pemburu rente. Studi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan audit BPK menunjukkan pola berulang: manipulasi tender, mark-up proyek, penggelapan aset, dan penyalahgunaan kewenangan dalam ekspor-impor energi.

Baca juga:  Ketua Umum Petisi Ahli Pitra Romadoni Resmikan LBH Bona Indah Sejati

Beberapa kasus besar yang pernah mencuat:

Skandal pengadaan BBM fiktif di Pertamina Patra Niaga.

Penggelapan dana eksplorasi migas di Blok Mahakam.

Kasus suap dalam proyek kilang minyak Tuban.

Faktor Penyebab: Struktur BUMN yang Rawan dan Oligarki Energi

BUMN seperti Pertamina berada di persimpangan antara fungsi bisnis dan beban politik. Di satu sisi dituntut profit, di sisi lain dijadikan alat kepentingan kekuasaan. Dualitas ini menciptakan celah korupsi yang sulit ditutup.

Kultur oligarki energi—di mana elite bisnis dan politik bersimbiosis—memperparah keadaan. Pengangkatan direksi yang sarat nuansa politik dan dominasi vendor-vendor titipan dalam proyek strategis menciptakan ruang gelap dalam tata kelola perusahaan. Dalam laporan Global Financial Integrity, Indonesia disebut kehilangan miliaran dolar AS tiap tahun akibat praktik korupsi di sektor ekstraktif.

Analisa Hukum: Mengapa Penegakan Lemah?

Walau KPK sudah beberapa kali masuk ke dalam lingkaran kasus Pertamina, penuntasan kasus masih belum menyentuh akar sistemik. Banyak kasus berhenti pada individu, tanpa menyentuh jejaring korporasi atau aktor politik yang berada di balik layar. Sanksi yang dijatuhkan pun sering kali tidak sebanding dengan kerugian negara, sehingga tak memberikan efek jera.

Faktor lain adalah tumpang tindih regulasi antara Undang-Undang Migas, UU BUMN, dan peraturan internal Pertamina, yang kerap dimanfaatkan sebagai celah hukum. Ini memperkuat urgensi pembaruan tata kelola hukum sektor energi secara menyeluruh.

Rekomendasi: Jalan Panjang Reformasi Energi

Untuk memutus rantai korupsi di Pertamina, sejumlah langkah strategis perlu diambil:

Baca juga:  Jebakan Sekularisme Pada Trend Adopsi Spirit Doll

1. Transparansi Kontrak Energi: Seluruh kontrak migas harus dibuka ke publik secara berkala untuk menghindari kesepakatan gelap.

2. Audit Forensik Berkala: BPK dan lembaga independen harus melakukan audit menyeluruh atas proyek-proyek besar.

3. Pemilihan Direksi yang Independen: Direksi dan komisaris Pertamina seharusnya dipilih melalui mekanisme transparan, lepas dari intervensi politik.

4. Revitalisasi KPK dan PPATK: Keduanya harus diberi kewenangan lebih besar untuk memantau transaksi keuangan BUMN strategis.

5. Pemisahan Fungsi Bisnis dan Regulasi: Pemerintah harus berhenti menjadi operator sekaligus regulator di sektor energi.

Pertamina Harus Jadi Teladan, Bukan Ladang

Sudah waktunya Pertamina berhenti menjadi simbol korupsi kelas atas. Sebagai BUMN terbesar dan paling strategis, perusahaan ini harus menjalani reformasi struktural jika ingin kembali meraih kepercayaan publik. Skandal demi skandal telah menyisakan jejak kelam, tetapi juga membuka peluang bagi reformasi mendalam. Pilihannya jelas: menjadi pemimpin di sektor energi atau tetap terjerembap dalam kubangan korupsi.

Kutipan Ahli:

1. Dr. Fahmy Radhi, Ekonom Energi UGM

“Pertamina terlalu lama menjadi sapi perah kekuasaan. Reformasi di tubuh perusahaan ini hanya akan efektif jika dilakukan secara menyeluruh, termasuk mencabut intervensi politik dalam penentuan direksi.”
(Sumber: Webinar Reformasi Energi Nasional, 2023)

2. Emerson Yuntho, Peneliti ICW

“Masalah utama dalam tata kelola BUMN energi bukan hanya soal individu, melainkan sistem yang tertutup dan tidak akuntabel. Selama pengambilan keputusan berada di ruang gelap, korupsi akan terus berulang.”
(Sumber: Laporan Transparansi BUMN Energi, 2022)

Baca juga:  4 Maanfaat Bunga Lawang Sayang Sekali Jika Dilewatkan!

3. Prof. Paul Collier, Pakar Ekonomi Politik Oxford University

“Sektor ekstraktif seperti minyak dan gas adalah sumber daya tinggi yang menggoda elite kekuasaan. Negara berkembang seperti Indonesia sangat rentan terhadap ‘resource curse’ jika tidak memiliki sistem pengawasan yang kuat.”
(Sumber: Buku The Plundered Planet, 2010)

Studi Kasus Internasional:

1. Petrobras (Brasil)
Skandal besar yang menyeret perusahaan migas Brasil ini terjadi pada 2014, melibatkan pejabat tinggi negara dan partai politik. Modusnya mirip dengan kasus-kasus di Pertamina: kontrak proyek yang di-markup dan dana suap untuk kampanye politik.
Kerugian ditaksir lebih dari USD 2 miliar. Kasus ini memicu gelombang demonstrasi nasional dan menjatuhkan sejumlah politisi senior, termasuk mantan Presiden Lula da Silva (meskipun kemudian dibebaskan dari tuduhan).

2. PDVSA (Venezuela)
Perusahaan minyak milik negara Venezuela dilanda krisis korupsi yang akut. Laporan Transparency International menyebutkan bahwa antara 2004–2014, lebih dari USD 11 miliar dana perusahaan “menghilang”.
Penunjukan direktur berdasarkan loyalitas politik dan lemahnya pengawasan menjadi akar persoalan. Akibatnya, kapasitas produksi migas Venezuela anjlok drastis.

3. Nigerian National Petroleum Corporation (NNPC)
Di Nigeria, NNPC menjadi simbol korupsi institusional selama puluhan tahun. Laporan auditor negara pada 2012 menyebutkan bahwa lebih dari USD 20 miliar pendapatan migas tidak tercatat atau diselewengkan.
Presiden Muhammadu Buhari kemudian mengusulkan pemisahan fungsi bisnis dan pengawasan sebagai solusi jangka panjang.