Porosmedia.com — Pada kesempatan kali ini, saya akan mencoba untuk mengajukan pandangan alternatif terkait dengan penafsiran terhadap isi Prasasti Batutulis.
Pertama, bertolak belakang dengan pendapat yang bersifat umum yang menyatakan bahwa Prasasti Batutulis dibuat atas nama Prabu Surawisesa untuk mengenang ayahnya yang telah meninggal dunia yakni Prabu Sri Baduga Maharaja. Maka sebaliknya, saya mengajukan pendapat bahwa Prasasti Batu Tulis sebenarnya dibuat atas nama Prabu Sri Baduga Maharaja itu sendiri ketika dia masih hidup.
Kedua, bertolak dengan pendapat yang bersifat umum yang menyatakan bahwa Prasasti Batu Tulis dibuat oleh Prabu Surawisesa pada kisaran waktu tahun 1533 M. Maka sebaliknya, saya mengajukan pendapat bahwa Prasasti Batu Tulis sebenarnya dibuat oleh Prabu Sri Baduga Maharaja pada kisaran waktu tahun 1433 M.
***
Selanjutnya, sebelum saya memberikan penjelasan terkait dengan jalan berpikir yang ditempuh dalam menghasilkan kesimpulan di atas. Maka terlebih dahulu saya akan memberikan gambaran mengenai isi Prasasti Batu Tulis yang saya kutipkan dari hasil penelitian Prof. Dr. Hasan Djafar (almarhum Mang Hasan) sebagaimana berikut:
Alih Aksara (disederhanakan)
1. Wang na pun ini sakakala, prebu
ratu purane pun, diwastu
2. diya wingaran prebu guru dewata prana diwastu diya dingaran
3. sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu de
4. wata pun ya (siya) nu nyusukna pakwan diya anak rahiyang dewanis
5. kala sang sida mokta di guna tiga . I(ny) cu rahiyang niskala wastu
6. ka(ny)cana sang sida mokta ka nusal arang ya siya nu nyiyan sakaka
7. la, gugunungan ngabalay, nyiyan samida, nyiyan sang hiyang talaga (wa)
8. rna mahawijaya, ya siya, pun * i saka
panyca panda
9. wa nge(m)ban bumi *
Terjemahan
1. ** Wang na pun! Inilah tanda peringatan (untuk) Prebu Ratu yang telah mendiang (mangkat). Dinobatkan
2. beliau dengan nama Prebu Guru Dewata Prana. Beliau dinobatkan lagi dengan nama Sri
3. Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu De
4. wata. Beliau yang memariti Pakuan. Beliau anak Rahiyang Dewa Niska
5. la yang telah mangkat di Gunatiga. Cucu Rahiyang Niskala Wastu
6. Kancana yang mendiang di Nusalarang. Beliaulah yang membuat tanda peringatan
7. (berupa) gugunungan, memperkeras jalan, membuat samida, membuat Sanghiyang Talaga Wa
8. rna Mahawijaya. Beliaulah itu. ** Pada tahun Saka, Panca Panda
9. wa Ngemban Bumi **
Sekarang kita coba bahasakan melalui terjemahan lebih bebas dengan tetap mengikuti kerangka penalaran yang tepat.
Wang na pun. Inilah sakakala Prabu Ratu Purane. Dilantik dia dengan nama Prebu Guru Dewata Prana. Dilantik dia dengan diberikan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Dialah yang berkuasa di Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang meraih alam pembebasan di Gunatiga. Cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang meraih alam pembebasan di Nusalarang. Dialah yang membuat sakakala gugunungan, memperkeras jalan, membuat samida, membuat Sanghiyang Talaga Warna Mahawijaya. Dialah itu. ** Pada tahun Saka, Panca Pandawa Ngemban Bumi **
***
Di sini saya ingin menjelaskan:
Pertama, terkait dengan nama. Di sini dapat diketahui bahwa terdapat nama raja yang berkuasa di Pakuan. Nama awalnya adalah Prabu Ratu Purane ini merupakan sepaket sebagai identitas nama diri (proper name). Purane dan purana secara linguistik sebenarnya masih satu akar dan tidak ada perbedaan mendasar. Jika kata Purane akan dikeluarkan dari paketnya sebagai proper name, maka makna lugasnya yang terdahulu. Jika Purane diartikan sebagai kata keterangan bisa merujuk pada dua kemungkinan yakni pembuatan sakakala itu dilakukan pada masa silam dan bisa merujuk pada namanya pada masa silam adalah Prabu Ratu yang kemudian mendapatkan nama tambahan ketika dilantik yang pertama sebagai Prebu Guru Dewata Prana dan kemudian pada pelantikan kedua sebagai Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Sehingga namanya ada tiga Prabu Ratu/Prabu Ratu Purane, Prabu Guru Dewata Prana, dan Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Kedua terkait dengan sakakala. Sakakala adalah karya-karya monumental yang dibuat bisa pada masa silam bisa pada masa yang sedang berlangsung. Kontek sakakala yang diterapkan pada masa yang sedang berlangsung bisa dilihat dalam naskah Bujangga Manik abad ke-15 M. Semua akar katanya berarti tahun saka (saka dan kala). Melalui pembacaan komprehensif terhadap prasasti tersebut dapat diketahui bahwa yang membuat sakakala itu adalah Prabu Ratu/Prabu Ratu Purane, Prabu Guru Dewata Prana, atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Sakakala itu dapat dijelaskan di bagian akhir berupa sakakala gugunungan, yang kemungkinan jelas maksudnya adalah Prasasti Batu Tulis itu sendiri yang berbentuk seperti gunung. Adapun aspek kekaryaan lainnya disebutkan juga dalam prasasti tersebut adalah
jalanan yang diperkeras (balay), samida, dan Sanghiyang Talaga Warna Mahawijaya. Dari sini jelas meskipun prasasti menggunakan narasi dalam bentuk orang ketiga terhadap Prabu Ratu/Prabu Ratu Purane, Prabu Guru Dewata Prana, atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Namun demikian tidak menunjukan bahwa peristiwa itu pada masa silam sebelum raja tersebut meninggal dunia. Dengan kata lain, Prasasti Batu Tulis dibuat pada masa Prabu Ratu/Prabu Ratu Purane, Prabu Guru Dewata Prana, atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata masih hidup dan berkuasa di Pakuan Pajajaran. Bahkan sangat jelas ketika ayahnya Rahiyang Dewa Niskala dan kakeknya Rahiyang Niskala Wastu Kancana dijelaskan dalam bentuk majasi sida mokta yang maksudnya sudah meninggal bersama dengan tempat disemayamkannya. Maka tidak demkian statusnya dengan Prabu Ratu/Prabu Ratu Purane, Prabu Guru Dewata Prana, atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal karena faktanya Prabu Ratu/Prabu Ratu Purane, Prabu Guru Dewata Prana, atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata belum mengalami sida mokta atau belum meninggal dunia. Ini juga membawa konsekuensi bahwa Prasasti Batu Tulis dan Prasasti Kabantenan ditulis pada era yang sama ketika Prabu Ratu/Prabu Ratu Purane, Prabu Guru Dewata Prana, atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata masih berkuasa di Pakuan Pajajaran.
Ketiga soal titi mangsa. Sejauh ini tidak ada kesepakatan mengenai penafsiran terhadap angkat tahun yang pembacaan terakhir disempurnakan oleh Mang Hasan yakni Panca Pandawa Nyemban Bumi. Tapi seluruh penafsir sepakat bahwa Panca dan Pandawa bernilai angka 5 sementara Bumi bernilai angka 1. Sehingga deret angkanya 5-5-[? ]-1. Sementara itu tidak ada kesepakatan terkait dengan penafsiran terhadap simbologi linguistik Ngemban (sebelumnya dibaca Emban). Ada yang memberikannya nilai 2, 3, dan 4. Karena tidak ada patokan kita coba masukan alternatif dalam gradasi paling rendah ke gradasi paling tingga dengan angka 1, 2, 3, 4, dan 5. Jika seluruh angkanya bernilai 5511 dibalik menjadi 1155 Saka + 78 sebagai konversi ke Masehi maka angka akhirnya 1233 Masehi. Jika seluruh angkanya bernilai 5521 dibalik menjadi 1255 Saka + 78 sebagai konversi ke Masehi maka angka akhirnya 1333 Masehi. Jika seluruh angkanya bernilai 5531 dibalik menjadi 1355 Saka + 78 sebagai konversi ke Masehi maka angka akhirnya 1433 Masehi. Jika seluruh angkanya bernilai 5541 dibalik menjadi 1455 + 78 sebagai konversi ke Masehi maka angka akhirnya 1533 Masehi. Dan jika seluruh angkanya bernilai 5551 dibalik menjadi 1555 Saka + 78 sebagai konversi ke Masehi maka angka akhirnya 1633 M. Adapun angka yang diterima secara umum pada saat ini adalah 1533 M pada era kekuasaan Prabu Surawisesa putra Sri Baduga Maharaja.
Sekarang, karena tidak ada kepastian soal simbologi kata Ngemban atau Emban yang ditafsir secara spekulatif. Maka saya mengajukan alternatif pembanding kalibrasi melalui aspek kronologi meskipun sama-sama bersifat relatif. Yakni babad-babad yang diterima secara umum penalarannya. Dalam babad-babad Sri Baduga Maharaja yang dikenal dalam tradisi sastra dengan nama Siliwangi, Jayadewata, Rajasunu, dan Pamanahrasa merupakan menanti dari pamannya sendiri di Cirebon namanya Ki Gedeng Tapa. Adapun Ki Gedeng Tapa merupakan aktor yang menerima kunjungan muhibah armada Wangsa Ming Cina yang katakanlah di bawah Laksamana Cheng Ho. Riset yang berkaitan dengan ekspedisi Cheng Ho yang memakan waktu tujuh kali perjalanan berlangsung dari tahun 1405-1433 Masehi. Masa kelahiran Cheng Ho (Sayid Mahmud Syamsyuddin) diperkirakan pada tahun 1371 M. Generasi Cheng Ho ini secara logika akan setara dengan generasi Ki Gedeng Tapa. Meskipun masih muda, tapi Siliwangi sudah menikah dengan Nyi Mas Subang Larang putra Ki Gedeng Tapa dan termasuk dengan Nyi Mas Ambet Kasih putra Ki Gedeng Sindang Kasih yang juga masih sepupunya (anak pamannya). Sehingga jelas bahwa Siliwangi merupakan saksi muda ketika ekspedisi pelayaran Cheng Ho berlangsung. Termasuk ketika membawa mubalig-mubalig yang menumpang ke dalam kapal dari kawasan Champa dan Semenanjung Melayu seperti Syeh Quro (Karawang) yang bernama lain Sayid Hasanuddin. Syeh Quro inilah yang menjadi Guru Agama dari Nyi Mas Subang Larang yang merupakan kolega Ki Gedeng Tapa yang sudah menjadi muslim sejak sebelum bertemu Syeh Quro. Sehingga titi mangsa pembuatan Prasasti Batu Tulis pada angka 1433 Masehi yang berkaitan dengan akhir pelayaran Cheng Ho sangat realistis dan masuk akal. Inilah seharusnya titi mangsa terhadap Sri Baduga Maharaja ditempatkan dalam kronologi sejarah. Yakni abad ke-15 Masehi dan bukan pada abad ke-16 Masehi ketika sudah berlangsungnya era pelayaran Portugis.
Secara kronologi dapat dipaparkan bahwa Portugis mulai menguasai Malaka pada tahun 1511 Masehi. Pada tahun 1512 Masehi berdasarkan berita Portugis salah-satu pangeran dari Sunda melakukan lobi aliansi antara Sunda-Portugis. Lobi aliansi dilakukan kembali pada tahun 1521 Masehi dan diakhiri dengan dilakukannya traktat perjanjian Sunda-Portugis pada tahun 1522 M. Pada sisi lain Portugis yang berkuasa di Malaka mendapat tantangan dari Demak bersama koalisinya yang meliputi Malaka, Samudra/Pasai, Palembang, Cirebon, dan termasuk Ming (Cina) pada tahun 1513 Masehi, 1521 Masehi, 1550 Masehi, dan 1574 Masehi. Samudra/Pasai kemudian jatuh kepada Portugis pada tahun 1521 Masehi. Namun demikian Sunda Kalapa berhasil diambil alih dari tangan Portugis pada tahun 1527 Masehi.
Sekarang kita uji jarak antara pelayaran Cheng Ho dari Ming/China dan Portugis. Jika dihitung dari awal pelayaran Cheng Ho tahun 1405 Masehi terhadap penaklukan Malaka oleh Portugis tahun 1511 Masehi maka jaraknya 106 tahun. Bahkan jika dihitung dari masa akhir pelayaran Cheng Ho pada tahun 1433 M terhadap penaklukan Malaka tahun 1511 Masshi itu pun masih terpaut jarak 78 tahun. Dengan demikian dapat diasumsikan bawa peristiwa tersebut merentang pada generasi yang berbeda.
Jika masa hidup Sri Baduga Maharaja dapat dikalibrasi melalui Prasasti Batu Tulis tahun 1433 Masehi. Demikian juga melalui babad dan catatan ekspedisi Cheng Ho antara 1405-1433 Masehi. Sementara dalam naskah Carita Parahiyangan dikatakan masa berkuasanya berlangsung selama 39 tahun. Pada tahun 1433 Masehi ketika Prasasti Batu Tulis dibuat Sri Baduga Maharaja jelas sudah berkuasa sejak tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja karena tidak ada kepastian kita anggap saja pada tahun 1433 Masehi tersebut baru diangkat menjadi raja penuh dan berkuasa selama 39 tahun. Maka masa akhir kekuasaannya dan termasuk masa hidupnya maksimal pada tahun 1472 Masehi (seharusnya lebih awal dari angka tahun ini). Artinya masih membutuhkan waktu tempuh 40 tahun lagi hingga terjadinya lobi salah-satu pangeran Sunda pada tahun 1512 Masehi di Malaka.
Jika masa berkuasa Sri Baduga Maharaja paling terlambat pada tahun 1472 Masehi. Maka tahun itu pulalah tahun kenaikan Prabu Surawisesa sebagai raja baru Sunda di Pakuan. Menurut naskah Carita Parahiyangan masa berkuasanya berlangsung 14 tahun. Artinya akan berakhir pada tahun maksimal 1486 Masehi. Sehingga masih akan memakan waktu 26 tahun menuju lobi Sunda di Malaka-Portugis. Pada tahun 1486 Masehi dengan demikian giliran Prabu Ratu Dewata naik tahta dan berakhir setelah 8 tahun masih menurut Carita Parahiyangan. Maka masa akhir kekuasaanya jatuh pada tahun 1494 Masehi. Sehingga masa berlangsungnya lobi Sunda-Portugis di Malaka masih memakan waktu 18 tahun lagi.
Di bawah era Prabu Ratu Dewata sebenarnya masih terdapat Ratu Sakti, Tohaan di Majalaya, dan Nusiya Mulya. Namun demkian terlepas dari adanya selisih waktu kecil sebagai hasil dari penarikan angka pada naskah Carita Parahiyangan dalam pembuatan kronologi yang masih belum presisi. Pada masa Prabu Ratu Dewata itulah peristiwa yang paling realistis terjadi. Pemerintahannya berlangsung tidak stabil. Muncul bancana musuh ganal, huru-hara, peperangan, dan kematian pangeran Sunda dengan nama Tohaan Sarendet dan Tohaan Ratu Sanghiyang. Jika mencari Sanghiyang yang melakukan lobi ke Malaka-Portugis. Bukankan jauh lebih rasional jika merujuk pada Tohaan Ratu Sanghiyang dibandingkan dengan Prabu Surawisesa?
Artinya bukan pada era Sri Baduga Maharaja dan Prabu Surawisesa lobi Sunda-Portugis tahun 1512 Masehi terjadi. Apalagi lobi Sunda-Portugis tahun 1521 Masehi dan perjanjian Sunda-Portugis tahun 1522 M dilaksanakan. Demikian juga puncak pertempuran dan pengambilalihan Sunda Kalapa pada tahun 1527 M oleh aliansi Cirebon, Banten, Demak, dan sekutu lainnya. Bahkan dalam berita-berita Portugis jelas-jelas sudah mulai merujuk pada era Adipati Unus dalam penggempuran Demak ke Malaka.
Generasi Adipati Unus, Trenggono, Maulana Hasanuddin, Fadilah Khan bisa jadi masih berada dalam koordinasi generasi sebelumnya yakni Syarif Hidayatullah dan Raden Fatah. Generasi ini akan setata dengan generasi Prabu Ratu Dewata dan mungkin generasi lapis selanjutnya yakni Tohaan Sarendet dan Tohaan Ratu Sanghiyang. Dimulai dari era Prabu Ratu Dewata hingga memuncak pada era Prabu Nusiya Mulya yang berlangsung dalam tempo suksesi yang relatif pendek itulah skema sejarah kemungkinan berlangsung dalam tensi yang lebih panas.
Memicu kelahiran kesultanan yang sebelumnya tidak secara khusus membebaskan diri dari induk kerajaan Wilwatikta dan Sunda. Dan sekaligus memicu berakhirnya era Wilwatikta/Majapahit dan Sunda/Pajajaran itu sendiri. Jika peristiwa itu semua terjadi maka diperlukan kegiatan kalibrasi waktu secara lebih presisi. Adapun analisa yang diberikan di atas dalam rangka memberikan gambaran sejarah secara lebih proporsional dan mudah-mudahan lebih presisi. Semoga tawaran alternatif tersebut dapat diuji secara lebih cermat dan akademis. (Ciboleger, 13 Februari 2025 M/14 Syaban 1446)
Keterangan Gambar:
Het Gesigt van de Bamboeze Brugh Leggende over ‘t Revier d’Sappang van de Beneeden Thuijn na t Campon Baro op Buijten Zorg (titel op object), Johannes Rach.
NB: Perhatikan barisan teks sketsa Johannes Rach dan Batu Tulis sekarang terjadi kelebihan satu baris yang mengindikasikan penyalinan pada medium Batu baru yang lebih kecil. Hasil masukan dalam perbincangan dengan Karguna Purnama Harya/VARMAN INSTITUTE.

Penulis merupakan ketua Yayasan Buana Varman Semesta (BVS). Adapun Yayasan Buana Varman Semesta (BVS) itu sendiri, memiliki ruang lingkup perhatian yang diwujudkan dalam tiga bidang, yakni: (1) pendidikan (Department of Education) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama The Varman Institute – Pusat Kajian Sunda (2) Ekonomi (Department of Economy) dan (3) Geografi (Department of Geography) dengan unit kerja utamanya yang diberi nama PATARUMAN – Indigo Experimental Station.
Pada saat ini penulis tinggal di Perumahan Pangauban Silih Asih Blok R No. 37 Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat (merangkap sebagai kantor BVS).
“Menulis untuk ilmu dan kebahagiaan,
menerbangkan doa dan harapan,
atas hadirnya kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia”.