Oleh: Sony Fitrah Perizal
Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Provinsi Jawa Barat
Porosmedia.com – Di tengah langit suram ekosistem pers nasional, secercah harapan tampak mulai menyala. Pers, khususnya di level lokal, saat ini tengah berada dalam kondisi krisis yang nyaris sistemik—bukan hanya akibat tekanan ekonomi dan iklim usaha yang tak bersahabat, tetapi juga oleh derasnya arus informasi digital yang menggerus kredibilitas, keberlanjutan, dan eksistensi media profesional.
Namun, titik terang muncul saat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI), Dr. Tubagus Ace Hasan Syadzily, dalam Musyawarah Nasional ke-2 Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), menegaskan bahwa ketahanan siber adalah bagian tak terpisahkan dari ketahanan nasional. Ini bukan sekadar afirmasi simbolik, melainkan pengakuan substantif terhadap peran strategis media dalam menjaga integritas informasi bangsa.
Sebagai Ketua JMSI Jawa Barat, saya ingin menegaskan bahwa pers bukan sekadar pelengkap demokrasi. Ia adalah tulang punggung ketahanan informasi publik. Di era multipolar seperti saat ini—saat perang tak lagi didefinisikan oleh peluru dan rudal, tetapi oleh narasi dan opini—media siber memegang peran krusial: menjadi pagar budaya, penjaga kebenaran, dan filter utama dari tsunami hoaks dan disinformasi.
Pandangan ini bersambut dengan pernyataan Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Digital, Nezar Patria. Ia menegaskan bahwa meskipun semua orang kini dapat memproduksi dan menyebarkan informasi, hanya media profesional yang memiliki tanggung jawab etik untuk menjaga integritas data dan fakta. Nezar juga mengangkat ancaman nyata dari teknologi kecerdasan buatan (AI) yang mampu memproduksi konten deepfake menyerupai tokoh publik—yang jika tidak dikendalikan, dapat merusak ruang publik dan memperkeruh demokrasi.
Namun mari kita bersikap jujur dan reflektif. Di balik tuntutan agar media menjaga marwah publik dan mendidik masyarakat, kondisi media lokal sedang jauh dari sehat. Publisher rights yang digadang-gadang akan diperkuat melalui Komite Dewan Pers hingga kini masih menjadi mimpi panjang yang belum menyentuh realitas media lokal. Banyak pelaku pers daerah bekerja dalam situasi tanpa kepastian, tanpa keberpihakan regulasi, dan tanpa dukungan ekosistem yang layak.
Kami butuh lebih dari sekadar pengakuan simbolik. Kami butuh ekosistem yang memungkinkan media lokal bertahan, tumbuh, dan berkontribusi secara maksimal. Regulasi yang berpihak, insentif fiskal yang adil, perlindungan hukum yang konkret, dan kemitraan strategis antar pemangku kepentingan—itulah yang seharusnya menjadi komitmen negara jika sungguh menganggap pers sebagai mitra strategis dalam menjaga kedaulatan informasi nasional.
Media lokal tidak boleh terus-menerus menjadi penonton dalam panggung narasi global yang penuh manipulasi dan polusi data. Justru dari rahim media lokal-lah suara rakyat paling otentik dapat lahir dan tumbuh. Ketika media sehat—perusahaannya kuat, jurnalisnya berintegritas, dan produknya beretika—maka bangsa ini lebih siap menghadapi tantangan geopolitik, disrupsi teknologi, dan krisis kepercayaan publik yang kian nyata.
Kekuatan sebuah bangsa bukan hanya diukur dari kecanggihan militernya, tetapi dari kemampuannya menjaga nalar dan kewarasan kolektif warganya. Dan itu hanya mungkin terwujud jika media diberi ruang hidup yang adil, bukan dicekik dalam sunyi oleh sistem yang tidak berpihak.
Munas JMSI telah memberi kita cahaya. Gubernur Lemhannas RI telah menyulut suluh. Wamen Kominfo telah memberi sinyal jelas. Kini saatnya pejabat daerah di Jawa Barat dan sekitarnya bersikap jernih dan bertindak nyata—bukan sekadar hadir di forum ceremonial, tapi turut membangun infrastruktur keadilan informasi dari level paling dasar.
Karena sesungguhnya, menjaga media lokal berarti menjaga denyut nadi bangsa.