Kritik Tajam Terhadap Disbudpar Kota Bandung: Mendorong Transformasi Sektor Seni dan Budaya

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Pemerhati seni dan budaya Kota Bandung, Rahmat Jabaril, mengemukakan kritik mendalam terhadap kinerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandung. Ia menilai bahwa lembaga ini belum menunjukkan performa yang sejalan dengan predikat Bandung sebagai Kota Kreatif.

Dalam pernyataan yang disampaikannya kepada awak media pada Jumat (20/6/2025), Rahmat menyatakan bahwa alokasi anggaran yang signifikan untuk Disbudpar setiap tahun tidak menunjukkan dampak nyata terhadap penguatan ekosistem seni dan budaya di Bandung.

“Setiap tahun, Disbudpar menerima anggaran besar, namun sebagian besar terserap untuk belanja pegawai, kunjungan kerja, dan studi banding.

Hanya sejumlah kecil yang benar-benar menyentuh kebutuhan seniman,” ungkap Rahmat saat ditemui di kawasan Jalan RE Martadinata, Kota Bandung.

Rahmat juga menegaskan pentingnya mempertanyakan efektivitas berbagai program yang diusung oleh Disbudpar.

Ia menganggap bahwa kegiatan seperti studi banding ke luar kota atau luar negeri belum menghasilkan hasil konkret yang dapat dirasakan oleh para pelaku seni di daerah.

“Kegiatan seni dan budaya banyak yang stagnan. Beberapa agenda rutin bahkan tidak berlanjut. Komunitas sering berjalan sendiri tanpa dukungan yang memadai,” tuturnya, menambahkan bahwa hal ini mencerminkan kekurangan dalam pengelolaan program-program yang ada.

Baca juga:  Wakil Wali Kota Janji Benahi Masalah Sampah: “Mohon Beri Waktu, Kami Sedang Bekerja”

Kritik Rahmat tidak hanya tertuju pada Disbudpar, tetapi juga menyasar kepemimpinan Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan. Sebagai figur publik yang memiliki latar belakang dalam dunia kreatif, Farhan diharapkan dapat menghadirkan semangat baru untuk pengembangan sektor seni dan budaya.

Namun, Rahmat menekankan bahwa harapan tersebut belum terwujud.“Kami pernah mengundang beliau untuk hadir dalam kegiatan seni, namun yang hadir justru pejabat Disbudpar yang berlatar belakang kepegawaian.

Ini menunjukkan bahwa seni dan budaya belum menjadi prioritas pemerintahan saat ini,” ujarnya.

Rahmat mengusulkan untuk mempertimbangkan perubahan pola pengelolaan dana kebudayaan. Ia menyarankan alokasi anggaran sebaiknya langsung diberikan kepada komunitas dan pelaku seni yang telah terbukti konsisten dalam menjalankan kegiatan budaya secara mandiri.

“Banyak komunitas yang telah menjaga wajah budaya Bandung tanpa dukungan berarti dari pemerintah. Mungkin sudah saatnya pendekatan top-down digantikan dengan pola kolaboratif yang memberikan ruang lebih besar bagi partisipasi masyarakat,” sarannya.

Sebagai bagian dari jaringan Kota Kreatif UNESCO sejak 2015 dalam kategori desain, Bandung dituntut untuk memberikan dukungan nyata bagi pelaku seni dan budaya agar gelar tersebut tidak sekadar menjadi pencitraan semata.

Baca juga:  Krisis Jurnalisme di Gaza: Lebih dari 200 Jurnalis Tewas, Dunia Bungkam

Kritik yang disampaikan oleh Rahmat Jabaril membuka ruang untuk diskusi lebih lanjut mengenai peran dan strategi pemerintah kota dalam membangun kebijakan budaya yang berkelanjutan dan inklusif.

Diharapkan, pemerintah kota dapat menanggapi kritik ini dengan langkah konstruktif demi memperkuat peran pelaku budaya di tingkat lokal.