Oleh: R. Haidar Alwi
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) & Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB
Porosmedia.com, Jakarta – Desakan sejumlah purnawirawan TNI, termasuk mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, agar Presiden Prabowo Subianto segera merealisasikan Reformasi Polri dengan menjadikan kasus Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa sebagai dasar argumentasi, memunculkan pertanyaan mendasar: apakah ini benar-benar dorongan moral untuk memperbaiki institusi kepolisian, atau ada dimensi politik dan perebutan pengaruh di baliknya?
Sebab, jika yang dimaksud adalah reformasi sejati, maka fokusnya semestinya terarah pada substansi pembenahan sistemik—bukan pada tuntutan personal seperti pergantian Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Reformasi kelembagaan tidak dapat disederhanakan menjadi sekadar perubahan figur.
Dalam kerangka yang lebih luas, publik berhak mempertanyakan: apakah yang sedang diusung adalah reformasi institusional, atau reproduksi rivalitas lama antara dua korps bersenjata yang memiliki sejarah kompetisi panjang di balik layar?
Dua kasus yang dijadikan landasan kritik memang mengguncang kepercayaan publik. Namun, menjadikannya alasan utama untuk menuntut “reformasi total” Polri tampak sebagai penyederhanaan yang berlebihan. Faktanya, Polri telah menunjukkan kemampuan adaptif dan transparansi kelembagaan dalam menangani kasus tersebut melalui proses hukum terbuka yang menjangkau level perwira tinggi.
Dalam tata kelola institusi mana pun, esensi reformasi terletak pada mekanisme koreksi internal. Yang penting bukan ada atau tidaknya pelanggaran, melainkan sejauh mana lembaga mampu menegakkan akuntabilitas terhadap pelanggaran itu. Dan dalam konteks ini, Polri terbukti menegakkan hukum tanpa kompromi, bahkan terhadap pejabat tinggi di internalnya sendiri.
Reformasi Bukan Pergantian Figur, Melainkan Penataan Sistem
Seruan reformasi Polri seharusnya dipahami sebagai upaya membangun sistem dan kultur baru yang lebih profesional, transparan, dan berorientasi pelayanan publik. Bukan sekadar mengganti pimpinan atau membentuk komite baru.
Presiden Prabowo Subianto, sebagai mantan perwira militer, memahami bahwa perubahan di tubuh aparat penegak hukum tidak boleh dilakukan melalui tekanan politik eksternal. Apalagi jika dorongan itu datang dari kelompok yang memiliki sejarah rivalitas institusional.
Reformasi yang lahir dari tekanan semacam itu justru berisiko mengganggu keseimbangan antara dua pilar utama keamanan nasional—TNI dan Polri—yang sejak Reformasi 1998 telah dipisahkan secara konstitusional agar berfungsi secara mandiri.
Dinamika Politik dan Aroma Rivalitas Lama
Munculnya sederet nama purnawirawan seperti Gatot Nurmantyo, Soenarko, Soleman Ponto, Sri Radjasa, dan Saurip Kadi dalam barisan pendesak reformasi memperkuat dugaan bahwa wacana ini tidak sepenuhnya steril dari nuansa politik.
Dari luar, seruan tersebut tampak sebagai bentuk kepedulian terhadap penegakan hukum. Namun dari dalam, sulit menafikan bahwa Polri kini telah menjadi institusi sipil dengan pengaruh signifikan—baik secara politik, sosial, maupun ekonomi—sehingga menjadi sasaran tarik-menarik kepentingan.
Polri saat ini bukan lagi subordinat militer seperti pada masa sebelum reformasi. Ia berdiri sejajar, dengan mandat konstitusional sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Di titik inilah, sebagian kalangan tampak belum sepenuhnya menerima perubahan struktur kekuasaan tersebut.
Presiden Prabowo dan Jalan Evolusi Institusional
Presiden Prabowo tampaknya memilih pendekatan evolutif, bukan revolusioner. Ia membiarkan Polri menjalankan pembenahan secara internal dengan pengawasan negara, bukan tekanan eksternal. Pendekatan ini menandakan sikap negara yang berdaulat atas institusinya sendiri.
Mengguncang keseimbangan antar-institusi tanpa kalkulasi matang hanya akan menimbulkan gesekan horizontal yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional. Oleh karena itu, kehati-hatian yang ditunjukkan Prabowo justru merupakan bentuk kepemimpinan strategis, bukan kelemahan politik.
Reformasi sejati harus lahir dari kesadaran internal lembaga, bukan dari tekanan yang berpotensi menimbulkan konflik atau memperlemah kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
Menjaga Keseimbangan, Bukan Menebar Ketegangan
Reformasi Polri bukan proyek balas dendam, apalagi ajang kontestasi pengaruh antar-purnawirawan. Ia merupakan proses rasional dan gradual untuk memastikan Polri tetap profesional, modern, dan berintegritas.
Jika para purnawirawan TNI benar-benar ingin berkontribusi bagi bangsa, mereka seharusnya menjadi penyejuk, bukan sumber ketegangan. Mengawal reformasi lembaga penegak hukum tidak dapat dilakukan dengan narasi emosional, tetapi dengan dialog, keilmuan, dan kerja sama lintas institusi.
Dalam kerangka pemerintahan Prabowo, ketegasan bukan berarti tergesa-gesa, dan perubahan sejati dimulai dari kedaulatan negara atas arah reformasinya sendiri.
Jakarta, 18 Oktober 2025
R. Haidar Alwi
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI)
Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB