Jurus Rp200 T Menkeu Purbaya: Sinergi Elitis, Kredit Merakyat Tertunda

Avatar photo

Porosmedia.com – Langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyuntikkan dana Sisa Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp200 triliun ke lima bank BUMN pada September 2025 lalu patut diacungi jempol—sebagai respons cepat fiskal yang bersinergi dengan kelonggaran moneter Bank Indonesia (BI).

Tujuan kebijakan ini mulia: membanjiri likuiditas perbankan agar biaya pinjaman turun, dan akhirnya, kredit mengalir deras ke sektor riil.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, sudah mengakui, jurus Purbaya ini berdampak langsung menekan suku bunga kredit.

Ini kabar baik. Namun, pengakuan yang sama juga menyiratkan masalah kronis dalam sistem perbankan nasional: transmisi kebijakan yang tersendat di tengah jalan.

Kesenjangan 150 Bps vs 29 Bps
Fakta berbicara tegas. BI Rate telah dipangkas sebesar 150 basis poin (bps), sebuah sinyal pelonggaran moneter yang signifikan. Namun, dampaknya ke pasar dana sangat minimal. Suku bunga deposito 1 bulan hanya menciut 29 bps.

Ada jurang menganga 121 bps antara niat regulator dan realitas bank komersial.

Mengapa bank begitu pelit meneruskan penurunan bunga? Perry Warjiyo mengungkap kuncinya: “spesial rate” yang diberikan bank kepada deposan-deposan kakap, yang menguasai 26% dari total Dana Pihak Ketiga (DPK).

Baca juga:  Gelar Panen Raya Padi, Pemkab Bandung Apresiasi Petani di Ciparay

Di sinilah letak ironi kebijakan ekonomi kita. Dana Rp200 triliun disuntikkan dari kantong negara, yang sejatinya adalah uang rakyat, untuk tujuan merangsang ekonomi rakyat. Namun, bank-bank BUMN penerima suntikan itu—yang seharusnya menjadi agen pembangunan—justru masih harus membayar mahal kepada segelintir deposan besar demi mempertahankan likuiditas.

Ini menunjukkan bahwa bank di Indonesia masih terjebak dalam deposit war elite. Likuiditas yang melimpah dari pemerintah digunakan sebagian untuk “membayar” kesetiaan para pemodal besar, bukan langsung diterjemahkan menjadi kredit yang murah dan mudah bagi petani, pedagang kecil, dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung perekonomian.

Wacana ke BPD: Jangan Sekadar Lip Service

Rencana Menkeu Purbaya menarik kembali SAL Rp70 triliun dari BI dan menempatkan sebagian (Rp10-20 triliun) ke Bank Pembangunan Daerah (BPD) seperti Bank Jatim, Bank Jakarta, dan BJB adalah langkah progresif. BPD memiliki kedekatan geografis dan emosional dengan sektor riil di daerah.

Jika likuiditas segar masuk ke BPD, potensi percepatan pertumbuhan kredit daerah jauh lebih besar ketimbang hanya berkutat di bank BUMN pusat yang kerap birokratis.

Baca juga:  Taman Air Senilai RP10,5 Miliar Akan Dibangun di Padang Pariaman

Namun, pemerintah harus memastikan bahwa penempatan dana di BPD ini memiliki indikator kinerja yang ketat. Tidak boleh sekadar penambahan angka di neraca. Pemerintah wajib menuntut BPD menggunakan dana tersebut untuk:

* Menurunkan suku bunga kredit UMKM secara agresif.
* Memperluas jangkauan pembiayaan ke sektor-sektor produktif yang selama ini sulit diakses perbankan besar.
* Memutus ketergantungan BPD pada dana-dana elite dan lebih fokus menghimpun DPK dari masyarakat kecil.

Jurus Rp200 triliun Purbaya adalah awal yang baik, namun hanya akan menjadi pemanis bibir jika transmisi bunganya tetap macet. Sinergi fiskal dan moneter harus benar-benar berorientasi pada rakyat, bukan melanggengkan kenyamanan deposan besar dan praktik special rate yang menghambat kredit merakyat.

Porosmedia.com mendesak BI dan Kemenkeu: Awasi ketat penggunaan dana SAL ini. Rakyat menunggu bukan hanya janji likuiditas, melainkan realisasi suku bunga yang rendah untuk menggerakkan roda perekonomian mereka. Jangan biarkan deposit war elite meredam harapan pemulihan ekonomi sejati.