Porosmedia.com – Data mutakhir dari We Are Social dan Ookla pada Agustus 2025 melukiskan realitas pahit: Indonesia terjebak dalam paradoks digital yang memalukan. Kita membayar layanan internet dengan harga paling mahal di ASEAN, namun terpaksa puas dengan kecepatan unduh yang menduduki dua urutan terbawah.
Ini bukan sekadar statistik teknis, melainkan cerminan dari kegagalan struktural dan regulasi yang melukai daya saing bangsa.
Harga Mahal, Kualitas Rendah: Siapa yang Diuntungkan?
Ketika Singapura menikmati kecepatan hampir 400 Mbps dengan biaya per megabit yang jauh lebih murah, masyarakat Indonesia harus merogoh kocek Rp 6.800 per Mbps untuk kecepatan rata-rata tak sampai 40 Mbps.
Angka ini memicu pertanyaan berani: Apakah ini harga premium untuk infrastruktur yang sulit, atau margin keuntungan yang terlalu tebal di tengah kompetisi yang kurang sehat?
Secara ekonomi, biaya per unit bandwidth harusnya turun drastis seiring dengan peningkatan investasi kapasitas jaringan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Tingginya biaya per Mbps mengindikasikan bahwa efisiensi modal (CAPEX) para operator di Indonesia tertinggal jauh dari standar regional.
Hal ini bisa disebabkan oleh:
- Inefisiensi Monopoli Infrastruktur: Apakah ada dominasi segelintir pemain dalam penyediaan jaringan tulang punggung (fiber optik nasional) yang tidak terdistribusi secara terbuka dan adil (open access), sehingga menahan harga sewa antar-operator tetap tinggi?
- Beban Regulasi yang Terlampau Berat: Jika biaya lisensi dan pajak yang dibebankan Pemerintah terlalu tinggi, beban ini mutlak akan ditransfer ke konsumen, menghasilkan harga jual yang mahal. Regulator harus jujur membedah struktur biaya ini.
Kecepatan Lambat, Masa Depan Tersendat
Kecepatan internet yang lambat—sepuluh kali lipat di bawah Singapura—bukan hanya mengganggu streaming film. Ini adalah rem tangan yang mencekik potensi ekonomi digital.
- Pendidikan Jarak Jauh (PJJ): Akses yang lambat menghambat siswa di daerah terpencil untuk mengakses materi pendidikan berkualitas tinggi, memperlebar jurang kesenjangan digital.
- UMKM dan Startup: Biaya operasional dan produktivitas digital UMKM Indonesia menjadi lebih tinggi dan rendah, membuat mereka kalah bersaing dengan UMKM Vietnam atau Thailand yang beroperasi dengan infrastruktur lebih unggul dan murah.
- Investasi Asing: Investor asing akan berpikir dua kali menanam modal pada industri data center atau cloud computing di negara yang biaya bandwith-nya mahal dan latency-nya buruk.
Reformasi Regulasi atau Stagnasi Nasional
Sudah saatnya Pemerintah dan Regulator tidak lagi bermain aman dengan alasan geografis kepulauan. Tantangan geografis harus diatasi dengan solusi regulasi yang berani dan inovatif.
Kita butuh:
- Regulasi Open Access Infrastruktur: Wajibkan operator infrastruktur untuk berbagi kapasitas jaringan utama (tiang, ducting, backbone) dengan biaya sewa yang wajar dan transparan. Ini akan mendorong kompetisi di level layanan dan menekan cost-per-megabit.
- Insentif Pajak dan Regulasi: Pangkas beban regulasi pada operator yang berkomitmen penuh untuk migrasi massal dari jaringan tembaga atau 4G ke Fiber-to-the-Home (FTTH) dan 5G yang berkapasitas tinggi.
Jika Indonesia tidak segera mereformasi tata kelola dan infrastruktur digitalnya, kita akan terus menjadi pasar empuk yang mahal bagi operator, sambil membiarkan generasi muda dan pelaku usaha kita tertinggal dalam arena persaingan global.
Indonesia harus memilih: menjadi pemimpin digital Asia Tenggara, atau terus menjadi ironi digital yang mahal dan lambat. Pilihan ini ada di tangan regulator saat ini.







