Gugatan Ijazah SMA Fufufafa 125 Triliun: Antara Fakta Hukum dan Ujian Integritas

Avatar photo

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes

Porosmedia.com – Masyarakat kembali dikejutkan dengan munculnya perkara hukum baru. Setelah peristiwa duka nasional minggu lalu, kini perhatian publik tersedot ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang, melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), telah mendaftarkan gugatan perdata terkait ijazah SMA milik Fufufafa dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst. Gugatan tersebut resmi masuk sejak 29 Agustus 2025 dan dijadwalkan untuk disidangkan mulai Senin, 8 September 2025.

Gugatan ini diajukan oleh HM Subhan, SH, MH, advokat dari Kantor Hukum Subhan Palal & Rekan yang beralamat di Jakarta Barat. Meski sosok penggugat mungkin belum banyak dikenal publik, langkahnya berani: mengajukan gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan nilai fantastis Rp125 triliun. Klaim Subhan, apabila gugatan dimenangkan, dana tersebut akan disumbangkan untuk kepentingan masyarakat.

Dasar Hukum Gugatan

Inti gugatan berkaitan dengan dugaan ketidaksesuaian dokumen pendidikan dengan syarat pencalonan Presiden/Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam:

Pasal 169 huruf r UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu

Pasal 13 huruf r Peraturan KPU No. 19 Tahun 2023

Kedua regulasi tersebut secara eksplisit mensyaratkan calon Presiden/Wapres minimal harus tamat SMA/MA/SMK/MAK atau sekolah lain yang sederajat. Bagi lulusan non-formal atau pendidikan luar negeri, dokumen wajib disertai Surat Keterangan Penyetaraan yang sah dari Kemendikbudristek atau Kemenag. KPU sendiri berwenang melakukan verifikasi legalitas dokumen, termasuk klarifikasi ke institusi penerbit ijazah.

Baca juga:  Sampah Anorganik Sampai Menjadi Sebuah Karya Bernilai Ekonomi

Kronologi dan Perdebatan Publik

Riwayat pendidikan Fufufafa sejak SD hingga SMP relatif jelas. Namun, saat memasuki jenjang SMA, muncul sejumlah versi data:

Ada catatan yang menyebut bersekolah di Orchid Park Secondary School (OPSS), Singapura (2002–2005).

Sumber lain menyebut sempat menempuh pendidikan di SMA Santo Yosef Solo, lalu pindah ke SMK Kristen Solo.

Situasi semakin rumit ketika Fufufafa kemudian dikaitkan dengan studi di luar negeri:

Disebut pernah mengikuti program di UTS Insearch, Sydney, yang kemudian oleh Kemendikbudristek pada 2019 baru disetarakan setingkat SMK Akuntansi dan Keuangan di Indonesia.

Ada pula klaim lulusan MDIS Singapore dengan ijazah yang dikeluarkan oleh University of Bradford, UK. Namun kualitas akademiknya tercatat dengan klasifikasi rendah (Second Class Honours – Second Division).

Fakta administratif ini memunculkan sejumlah pertanyaan: mengapa dokumen penyetaraan baru keluar lebih dari satu dekade kemudian, dan bagaimana konsistensi klaim pendidikan yang berbeda versi dapat diverifikasi secara objektif?

Dimensi Hukum dan Politik

Jika merujuk kasus serupa, gugatan mengenai keabsahan ijazah pejabat publik kerap berakhir dengan putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO)—dinyatakan tidak dapat diterima—seperti pernah terjadi pada perkara ijazah Presiden sebelumnya.

Baca juga:  Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo Mewujudkan sikap Politik Negara dalam Asta Cita ke-7 pemerintahan Presiden Prabowo

Karena itu, publik kini menunggu apakah PN Jakpus berani mengambil langkah berbeda dalam perkara ini, ataukah pola lama kembali terulang. Apa pun hasilnya, kasus ini sudah menyentuh aspek fundamental: prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law).

Refleksi Publik

Gugatan ini bukan hanya soal dokumen pendidikan seseorang. Lebih jauh, perkara ini menyangkut transparansi pejabat publik, kredibilitas penyelenggaraan pemilu, dan integritas institusi negara.

Bagi pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto, kasus ini bisa menjadi ujian awal dalam menegakkan janji reformasi hukum sebagaimana tertuang dalam program Asta Cita. Apakah hukum benar-benar dapat ditegakkan tanpa pandang bulu, atau kembali terjebak pada praktik “untouchable”?

Kasus ijazah Fufufafa ini bisa menjadi “Kotak Pandora” yang membuka banyak aspek, dari administrasi pendidikan hingga moralitas politik. Apakah gugatan senilai Rp125 triliun ini akan menjadi sekadar sensasi, atau benar-benar menjadi momentum penegakan hukum, hanya waktu dan putusan pengadilan yang dapat menjawabnya.

Yang jelas, publik berhak mengetahui kebenaran dan mendapatkan kepastian hukum. Dan pada titik inilah, suara masyarakat tentang transparansi, integritas, dan kesetaraan hukum harus terus disuarakan.

Baca juga:  KPI ; Minta Polri Usut Tuntas Kasus JRX ID dan AD

 

Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes – Pemerhati Telematika, Multimedia, AI, dan OCB Independen – Jakarta, Jumat, 5 September 2025.