Oleh : Riannisa Riu
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Desember 2021 mengalami inflasi sebesar 0,57 persen. Angka ini ditopang kelompok pengeluaran Makanan, Minuman, dan Tembakau. Pada kelompok itu, dominasi paling tinggi adalah Cabai Rawit, diikuti Minyak Goreng dan Telur Ayam Ras. Angka ini meningkat dari angka inflasi pada November 2021, sehingga tercatat paling tinggi sejak dua tahun. Angka ini sekaligus merupakan inflasi tertinggi sepanjang tahun 2021.
“Perkembangan harga dari berbagai komoditas secara umum adanya kenaikan, berdasarkan data yang dikumpulkan BPS di 90 kota, di bulan Desember 2021 terjadi inflasi sebesar 0,57 persen,” kata Kepala BPS, Margo Yuwono dalam konferensi Pers Rilis BPS, Senin (3/1/2022).
Sementara itu, dilihat dari sisi kenaikan indeksnya dari November 2021 tercatat dari 107,05 persen menjadi 107,66 di Desember 2021. Sedangkan, untuk angka inflasi tahun kalender 2021 Januari – Desember 2021 tercatat mengalami inflasi sebesar 1,87 persen.
Baca juga : Bahaya Konten Rusak dari Serial Layangan Putus
“Karena ini di Desember, berarti angkanya sama dengan tingkat inflasi tahun ke tahun 2021, di mana tercatat inflasi sebesar 1,67 persen,” katanya.
“Kalau dilihat secara month to month, ini tercatat sebagai inflasi tertinggi selama 2 tahun terakhir, secara year on year juga tercatat tertinggi sepanjang 2021.” terangnya. (m.liputan6.com Senin, 03/01/2022)
Pakar Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat menganggap, kelompok pekerja keras menengah jadi yang paling dirugikan akibat lonjakan harga sembako ini. Sebab, di sisi lain, masyarakat kelas bawah masih terbantu dengan adanya penyaluran bansos, meski belum merata.
“Meski demikian, masyarakat bawah tetap beruntung memiliki bansos. Bagaimana masyarakat menengah? Ini dia kelompok yang paling menderita dari kenaikan harga akhir tahun ini,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada liputan6.com, Selasa (28/12/2021).
Minimnya Antisipasi Penguasa
Inflasi kembali terjadi di akhir tahun 2021. Hal ini sudah bukan sesuatu yang mengherankan lagi, sebab setiap tahun selalu seperti ini. Setiap kali mendekati Bulan Ramadhan, Hari Raya Iedul Fitri atau Nataru, harga komoditas selalu naik dan menyebabkan inflasi terjadi. Namun mengapa tidak terasa antisipasi nyata dari penguasa terkait masalah kenaikan harga yang berulang ini?
Sebagai contoh, 11 juta liter minyak goreng seharga empat belas ribu rupiah per liter telah diguyurkan oleh Pemerintah sebagai bentuk upaya operasi pasar sebelum nataru. Namun setelah tahun baru berlalu pun, harga minyak tetap mahal, bahkan diperkirakan tidak akan turun hingga akhir Januari 2022. Masyarakat diminta untuk tidak khawatir dan menerima keadaan ini, sebab pemerintah memprediksi bahwa harga akan turun kembali pada kuartal pertama 2022.
Rubrik Lainnya : Artikel Ragam Kesehatan
Faktanya, saat ini hanya ada waktu sekitar tiga bulan saja sebelum Bulan Ramadhan tiba. Saat itu, tentu kenaikan harga akan kembali terjadi dan kemungkinan besar akan lebih parah dibandingkan sebelumnya. Sehingga terbukti bahwa pemerintah sendiri mengalami defisiensi rencana antisipasi nyata dan solusi untuk menghadapi kenaikan harga komoditas serta inflasi yang semakin meningkat.
Ketika terjadi kelangkaan barang sedangkan harga meroket tinggi, maka pemerintah pasti akan menghadirkan kembali solusi instan yang selalu diandalkan setiap tahunnya, yaitu impor. Otomatis hutang negara akan semakin membengkak seiring meningkatnya jumlah komoditas impor. Situasi ini membuktikan tidak adanya pelajaran yang diambil penguasa dari kasus inflasi dan kenaikan harga yang berulang setiap tahunnya.
Korporasi Pangan Biangnya
Sistem ekonomi yang digunakan saat ini adalah perekonomian kapitalisme, yang artinya peran negara dimandulkan dan harus tunduk di bawah kekuasaan korporasi. Maka wajar jika pemerintah tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi kenaikan harga pangan yang semakin melonjak sebab seluruh rantai perekonomian telah dikuasai oleh korporasi pangan yakni mafia pangan dan kartel.
Korporasi pangan memonopoli segala sesuatunya mulai dari kepemilikan lahan, rantai produksi distribusi, distribusi barang, hingga kendali harga pangan. Sehingga pemerintah tidak mampu menstabilkan harga yang beredar di pasaran.
Padahal jika pemerintah memiliki wewenang mutlak terhadap penguasaan komoditas pangan dan seluruh tahapan pengurusannya tanpa dibayangi korporasi, maka semua kendala kenaikan harga pangan akan menjadi mudah untuk diatasi. Inilah permasalahan sistem ekonomi kapitalisme yang utama, yakni penguasa tidak berperan sebagai raa’in (pemelihara urusan publik) melainkan hanya sebagai regulator belaka.
Rakyat diminta untuk mengurusi urusan mereka sendiri dan menghidupi diri sendiri di dalam sistem ini tanpa tergantung kepada penguasa. Penguasa pun tidak merasa bertanggung jawab apabila ada kematian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat akibat kesulitan yang mereka alami.
Islam Menjamin Ketersediaan Pangan
Itulah perbedaan yang amat besar dengan sistem Islam. Sistem Islam mensyaratkan penerapan syariat Islam ke seluruh negeri, sehingga otomatis melarang serta memberantas adanya korporasi pangan seperti mafia atau kartel. Penimbunan komoditas dan riba pun akan dihentikan oleh negara.
Penguasa dalam sistem Islam adalah raa’in atau pengurus urusan umat, sehingga setiap permasalahan masyarakat wajib diselesaikan oleh negara. Termasuk dalam urusan jual beli di pasar. Untuk memastikan tidak adanya kecurangan yang berlaku dalam urusan muamalah, Negara Islam akan menetapkan seorang Qadhi Hisbah yang bertugas untuk mengawasi tata niaga di pasar serta memastikan makanan yang beredar di pasar adalah makanan yang halal dan thayyib. Qadhi Hisbah akan menghukum siapa pun yang melanggar ketentuan syariat dalam bermuamalah tanpa pandang bulu.
Sementara untuk memastikan ketersediaan pangan, Negara Islam akan menjamin produksi pertanian agar berjalan semaksimal mungkin, termasuk memperluas riset-riset mengenai pertanian dan mengaplikasikan teknik pertanian terbaik agar memperoleh kualitas pangan sebaik mungkin. Penguasa juga akan memastikan tidak adanya pelanggaran dalam hukum tanah sesuai syariat.
Selanjutnya, dengan stok pangan yang berada dalam kekuasaan negara, penguasa akan memastikan distribusi komoditas pangan berjalan lancar hingga ke daerah pelosok. Transportasi dan infrastruktur yang juga menjadi kekuasaan negara akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memastikan komoditas pangan sampai ke tangan seluruh rakyat. Jika terjadi permintaan barang dalam jumlah besar seperti di bulan Ramadhan dan stok pangan tidak mencukupi, maka penguasa bisa melakukan impor secara temporer namun tidak sampai menjadi ketergantungan, sehingga inflasi bisa dihindari.
Jika suatu saat penguasa harus melakukan operasi pasar untuk menstabilkan harga, maka operasi tersebut dilaksanakan agar para pedagang bisa membeli komoditas dengan harga murah dan menjualnya kembali dengan harga yang layak kepada konsumen. Tidak dengan mencoba menetapkan harga di pasar masyarakat, sebab hal ini adalah sebuah pelanggaran syariat.
“Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (HR. Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi)
Wallahu’alam bisshawwab.