Porosmedia.com – Melansir dari pikiran-rakyat.com (Rabu, 19/01/2022), Pembelajaran Tatap Muka (PTM) 100 persen di beberapa wilayah Indonesia telah dilakukan. Namun, menurut Ketua Umum PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Prof. Unifah Rosyidi, pelaksanaannya terlalu tergesa-gesa. Kata dia, sedari awal PGRI keberatan dengan pelaksanaan PTM 100 persen lantaran diselenggarakan kala Covid-19 varian Omicron masuk ke Indonesia.
Lebih lanjut menurutnya, dalam kondisi pagebluk Covid-19 yang melanda negeri ini, langkah yang paling tepat adalah mempertahankan kebijakan PTM terbatas.
“Disiapkan pembelajaran daring dan luring dengan baik. Ini jauh lebih aman, dibandingkan anak dari pagi hingga siang berada di sekolah dan hanya istirahat 15 menit,” tutur Unifah Rosyidi, Selasa 18 Januari 2022, seperti dilaporkan Antara.
Berdasarkan data, dari pertama Omicron terdeteksi di negeri ini hingga 17 Januari 2022, tercatat telah ada sebanyak 840 kasus Omicron. Sejumlah kasus Covid-19 pun mulai ditemukan di sekolah-sekolah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencatat ada 90 sekolah yang sudah ditutup akibat ditemukannya kasus Covid-19 hingga 22 Januari 2022. Pemerintah melaporkan penambahan 9.905 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir per Jum’at (28/1/2022).
Mencermati situasi pandemi yang berkembang, Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) meyakini, saat ini kasus Covid-19 di provinsi DKI Jakarta tak hanya terjadi di 90 sekolah. Koordinator Nasional P2G Satriawan Salim pun meminta agar pemerintah tak lagi menerapkan PTM secara penuh 100 persen.
Satriawan mengatakan, di tengah lonjakan kasus harian Covid-19 saat ini, penerapan PTM baiknya ditekan menjadi 50 persen. Dia juga mengatakan, seharusnya negara bertanggung jawab dan bisa menjamin kondisi kesehatan anak-anak saat mereka bersekolah.
Di sisi lain, Satriawan mengatakan, model kebijakan menutup sekolah apabila ditemukan kasus positif saat PTM berlangsung sebenarnya tak efektif. Pasalnya, P2G meyakini pada 2 bulan ke depan, angka siswa dan guru yang positif Covid-19 bakal terus meningkat.
“Sebab sekolah yang sudah dua kali siswa atau gurunya positif Covid-19, mereka sudah lakukan PTM dan PJJ (pembelajaran jarak jauh) dua kali juga : buka, tutup, buka lagi, tutup lagi. Nah, apakah mau seperti ini terus?” tandas Satriawan.
Sementara itu, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, sudah saatnya Pemerintah menarik rem darurat untuk menekan penyebaran kasus Covid-19. Piprim menyarankan agar pemerintah menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara serentak selama dua pekan sebagai upaya menekan penularan virus.
“Ini kan kenaikannya di atas 8 persen positivity rate, jadi kita perlu menekan rem darurat, 2 minggu ke depan bagusnya PJJ serentak.” kata Piprim saat dihubungi Kompas.com, Jum’at. “Jangan ada buka tutup buka tutup, itu juga enggak efektif secara umum.” sambungnya. (Kompas.com Sabtu, 29/01/2022)
PTM 100 Persen, Bagai Makan Buah Simalakama
Sesungguhnya ada dua kondisi yang bertentangan terkait kasus PTM 100 persen ini. Para pakar kesehatan dan sebagian pihak berpandangan bahwa PTM 100 persen perlu dihentikan atau diubah kembali menjadi PJJ selama beberapa waktu tertentu. Sebab, PTM 100 persen memang amat beresiko tatkala dijalankan bersamaan dengan merebaknya virus varian baru Omicron, yang telah terbukti berhasil menumbangkan 90 sekolah di Jakarta.
Namun, sebagian pihak lain juga memiliki pandangan penting mengenai buruknya kualitas pendidikan saat ini akibat pembelajaran jarak jauh (PJJ) online yang tidak mampu mengoptimalkan mutu pendidikan. Sehingga kemampuan literasi dan numerasi anak negeri menjadi tertinggal, terutama pada anak-anak usia 5 hingga 10 tahun, yang memang mengalami banyak kesulitan dalam pembelajaran daring alias PJJ. Oleh karena itu, pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen memang layak menjadi urgensi utama pada saat ini.
Kondisi masyarakat saat ini sungguh bagai makan buah simalakama. Jika PTM 100 persen diteruskan, belum tentu mampu menjamin keselamatan siswa dan staf pengajar dari terinfeksi virus Covid-19. Namun sebaliknya jika PTM dihentikan, maka kualitas pendidikan anak negeri menjadi terancam. Solusi apa yang mampu menyelesaikan kedua pilihan sulit ini?
Situasi sulit ini berasal dari kebijakan penguasa negeri ini yang berbasis sistem kapitalisme yang mementingkan keuntungan ekonomi semata tanpa mempedulikan nasib masyarakat. Pemerintah sejak awal terus mengeluarkan berbagai kebijakan silih berganti yang membingungkan publik, seperti PSBB, New Normal, PPKM, New Normal lagi, PPKM level 2 dan seterusnya.
Tidak adanya kebijakan tegas untuk melaksanakan lockdown secara total telah menyebabkan masalah Covid-19 ini menjadi berkembang semakin besar, dan merembet ke berbagai bidang termasuk sektor pendidikan. Ketika permasalahan telah menjadi seperti ini maka tidak ada pilihan lain kecuali membenahi masalah satu per satu.
Butuh Evaluasi PTM
Para pakar pendidikan telah menyatakan bahwa kebutuhan akan PTM 100 persen amat mendominasi. Sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap kebijakan PTM 100 persen saat ini. Namun, program evaluasi ini diharapkan tidak hanya menjadi program semata. Sebab, masyarakat membutuhkan implementasi nyata terutama dalam pengawasan terhadap progress dan sarana pendidikan yang memadai.
Pemerintah wajib berperan sepenuhnya untuk menjalankan tanggung jawab dalam evaluasi PTM 100 persen ini. Tidak boleh lepas tangan apalagi sampai menyerahkan urusan PTM ini kepada sekolah dan orang tua siswa. Namun untuk menjalankan tanggung jawab ini, wajib bagi pemerintah untuk memiliki rencana yang jelas dan matang serta langkah-langkah pelaksanaannya.
Pertama, masyarakat dan sekolah perlu mengetahui apa dan bagaimana detail PTM 100 persen serta cara pelaksanaannya secara teknis yang paling sesuai dengan kondisi pandemi Covid-19 saat ini. Karena itu pemerintah perlu melakukan sosialisasi antara orang tua siswa, sekolah serta seluruh pihak lain yang terlibat dalam urusan pendidikan.
Kedua, pemerintah harus memperjelas informasi kepada seluruh masyarakat mengenai daerah mana saja yang termasuk dalam kategori zona Covid-19 hitam, merah, kuning dan hijau. Sehingga bisa ditentukan dengan pasti wilayah mana saja yang boleh dilakukan PTM dan langkah-langkah teknis terbaik untuk disesuaikan dengan kondisi pandemi di wilayah tersebut. Akurasi data untuk penentuan zona ini haruslah tepat. Sebab jika penentuan zona tidak jelas, akan sulit untuk menentukan wilayah yang akan menjadi target PTM 100 persen.
Ketiga, pelaksanaan 3T di sekolah-sekolah untuk seluruh pihak yang terlibat. Baik staf pengajar maupun siswa dan orang tua siswa. Termasuk kepada warga sekolah seperti penjaga kantin dan petugas kebersihan dan keamanan. Agar memastikan bahwa seluruh sekolah terjaga dengan baik untuk kondisi PTM.
Keempat, memfasilitasi seluruh sarana dan prasarana yang dibutuhkan sekolah untuk pelaksanaan PTM bebas Covid-19 beserta protokol kesehatannya. Pemerintah harus memastikan dan mengawasi sepenuhnya agar pelaksanaan protokol kesehatan di sekolah tidak hanya menjadi teori saja namun minim realisasi.
Kelima, mengalokasikan anggaran untuk pendidikan dalam pelaksanaan program PTM termasuk untuk kebutuhan sarana dan prasarana yang memadai agar PTM dapat benar-benar terealisasi dengan baik. Jika pemerintah serius ingin meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak dalam kondisi pandemi seperti saat ini, maka inilah urgensi nyata penggunaan anggaran APBN. Bukan malah memakai anggaran negara untuk membangun Ibu Kota Negara baru yang tidak jelas urgensinya.
Keenam, melaksanakan pengawasan dan pengontrolan ketat di sekolah-sekolah, sehingga jika ada permasalahan atau kendala dalam pelaksanaan PTM di sekolah, pemerintah bisa segera menindaklanjuti dengan cepat dan tanggap. Inilah kewajiban pemerintah hingga akhir untuk kebijakan PTM.
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan maka seharusnya berani pula untuk bertanggung jawab terhadap pengurusan kebijakan tersebut hingga akhir. Jika pemerintah hanya melemparkan tanggung jawab dalam pelaksanaan PTM kepada masyarakat dan sekolah, maka itu adalah bukti pengabaian yang nyata terhadap masyarakat.
Negara yang mengabaikan kepentingan masyarakat adalah bukti dari sistem kapitalisme demokrasi yang mengutamakan kepentingan ekonomi di atas segala bidang kehidupan yang lain. Sangat terlihat bahwa negara enggan mengeluarkan anggaran bagi pemulihan kondisi masyarakat akibat Covid-19, apalagi untuk pelaksanaan PTM.
Masyarakat Butuh Sistem Islam
Kepengurusan negara kapitalisme demokrasi seperti saat ini sangat berbeda dengan negara di bawah kepengurusan sistem Islam. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah menyebutkan bahwa Khalifah adalah pengurus (raain) bagi umat. Sehingga dalam sistem Islam, keselamatan masyarakat adalah salah satu permasalahan penting yang utama.
Negara Islam akan mengalokasikan dana terbesar demi urusan kesehatan masyarakat. Pengontrolan serta mengatasi pandemi Covid-19 dengan lockdown akan menjadi prioritas utama. Bersamaan dengan itu, negara Islam juga akan menjamin tercukupinya kebutuhan sandang, pangan dan papan masyarakat baik yang terdampak Covid-19 ataupun tidak.
Prioritas berikutnya adalah permasalahan pendidikan dan keamanan masyarakat. Sistem Islam akan menjamin keselamatan siswa dan staf sekolah saat melaksanakan seluruh kegiatan belajar mengajar. Baik jika KBM dilaksanakan secara daring maupun tatap muka. Juga menjamin tersedianya fasilitas, sarana serta sumber daya manusia yang diperlukan dalam proses pembelajaran.
Karena sesungguhnya dalam Islam, setiap manusia wajib mendapatkan pendidikan agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah dan mampu bermanfaat dalam setiap sendi kehidupannya. Wallahu’alam bisshawwab.