Hari Lahir Pancasila: Bamsoet Serukan Reaktualisasi Nilai-Nilai Persatuan di Era Digital

Avatar photo

Porosmedia.com, Jakarta – Momentum Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni tak boleh terjebak dalam seremoni kosong. Lebih dari sekadar peringatan historis, hari ini adalah pengingat keras bagi bangsa Indonesia untuk meneguhkan kembali nilai-nilai dasar yang menjadi fondasi kebangsaan. Demikian pesan kuat yang disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Anggota DPR RI, Bambang Soesatyo, dalam refleksi peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini.

Menurut pria yang akrab disapa Bamsoet itu, era digital telah mengubah lanskap interaksi sosial dan budaya secara fundamental. Di tengah derasnya arus informasi dan opini yang terus bersirkulasi melalui media sosial, nilai-nilai Pancasila harus menjadi kompas moral dan etika dalam bersikap, berkomentar, dan berbagi informasi.

“Perayaan Hari Lahir Pancasila tidak boleh hanya menjadi agenda seremonial tahunan. Ia harus menjadi panggilan batin untuk merefleksikan peran setiap warga negara dalam merawat persatuan bangsa, terlebih di ruang digital yang kini menjadi medan baru pertarungan ide dan identitas,” tegas Bamsoet di Jakarta, Minggu (1/6/2025).

Baca juga:  DOB sebagai Komitmen Relawan Ganjar - Mahfud, Ayoo Kita Perjuangkan Suaranya di Jabar

Sebagai mantan Ketua DPR RI dan Ketua MPR RI, Bamsoet memaparkan bahwa lebih dari 215 juta penduduk Indonesia kini terhubung dengan internet, berdasarkan data terbaru dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Artinya, hampir 80% rakyat hidup dan membentuk realitasnya di dunia maya. Dalam konteks ini, algoritma digital memiliki kekuatan membentuk cara pandang publik terhadap kebangsaan, persatuan, dan kemajemukan.

Namun, kemajuan teknologi juga menghadirkan paradoks. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang ekspresi terbuka, justru sering kali berubah menjadi arena perpecahan. Polarisasi politik, hoaks, ujaran kebencian, dan intoleransi berbasis agama maupun identitas etnis berkembang subur melalui mekanisme “echo chamber”—di mana pengguna hanya terpapar informasi yang menguatkan pandangan pribadi dan menyingkirkan dialog sehat.

“Dalam konteks inilah sila ketiga, ‘Persatuan Indonesia’, menemukan urgensinya. Ia bukan lagi sekadar semboyan, melainkan prinsip hidup yang harus ditegakkan secara aktif di jagat digital,” kata Bamsoet.

Ia menambahkan, tantangan era digital tidak hanya bersifat domestik. Disinformasi yang diproduksi secara sistemik dari luar negeri bisa dengan mudah menyusup dan menggoyahkan stabilitas sosial-politik nasional. Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia bukan hanya menarik secara ekonomi, tetapi juga rentan terhadap infiltrasi opini melalui strategi perang informasi.

Baca juga:  Ketua KPU Tampak seperti 'Kebal Hukum' Akhirnya Terhenti

Sebagai Wakil Ketua Umum FKPPI dan Pemuda Pancasila, Bamsoet menekankan pentingnya membangun ketahanan nasional berbasis kesadaran digital. Menurutnya, menjaga persatuan bangsa di era sekarang bukan lagi soal mengangkat senjata, melainkan menjaga ruang digital dari ujaran kebencian, hoaks, dan perpecahan sosiokultural.

“Generasi muda yang menguasai 70% demografi digital kita, adalah garda depan penjaga nilai-nilai Pancasila. Dalam setiap postingan, komentar, dan unggahan mereka, terdapat peluang untuk memperkuat atau menghancurkan persatuan nasional.”

Bamsoet juga mendorong pendekatan kreatif dalam pengajaran Pancasila, tidak lagi kaku dan normatif seperti di masa lalu. Ia mencontohkan model pembelajaran yang berbasis narasi digital seperti vlog, film pendek, meme edukatif, hingga konten lokal berbahasa daerah yang menyuarakan nilai-nilai kebangsaan.

“Beberapa komunitas sudah memulai produksi konten edukatif berbasis lokalitas untuk mengangkat identitas daerah sekaligus memperkuat semangat kebangsaan. Inilah wujud nyata dari semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang tumbuh dan hidup dalam ekosistem digital,” pungkasnya.

Pancasila tidak hanya hidup di podium-podium upacara, tapi seharusnya berdenyut dalam algoritma setiap warga digital Indonesia. Saatnya memaknai nasionalisme bukan dengan jargon, melainkan dengan aksi nyata di dunia maya—karena masa depan bangsa juga ditentukan dari kualitas etika kita saat online.

Baca juga:  Meneguhkan Pancasila di Tengah Krisis Tata Kelola: Refleksi atas Seminar Nasional Majelis Musyawarah Sunda