Porosmedia.com – Di usia yang baru dua puluh tahun, Kapten I Wayan Dipta, Komandan Pemuda Republik Indonesia (PRI) Cabang Gianyar, Bali, menghadapi nasib yang jauh lebih kejam dari sekadar kematian cepat di medan perang.
Selama 27 hari, dari 15 Maret hingga 12 April 1946, ia menjalani siksaan fisik dan mental di tangan pasukan NICA (Belanda) — sebuah pertempuran tanpa senjata, di mana yang dipertaruhkan bukan lagi nyawa, tetapi kesetiaan dan kehormatan.
Kisah Kapten Dipta bukan sekadar catatan sejarah, melainkan potret keteguhan jiwa seorang pemuda Bali yang memilih disiksa hingga hancur daripada membuka satu kata rahasia perjuangan.
1. Penangkapan dan Pengkhianatan (15 Maret 1946)
Peristiwa bermula ketika Kapten I Wayan Dipta bersama beberapa rekannya, termasuk I Wayan Tedja, diundang menuju Denpasar dengan dalih akan bertemu Kolonel I Gusti Ngurah Rai, sang pemimpin besar pasukan Republik di Bali.
Namun perjalanan itu ternyata jebakan. Di tengah perjalanan, mereka justru digiring ke markas NICA di Denpasar. Di sana, Dipta segera ditangkap dan ditetapkan sebagai tawanan paling berharga — seorang pemimpin muda yang dianggap mampu membuka peta perlawanan rakyat Gianyar.
Dalam buku LVRI Gianyar (1979) dan penelitian Jurnal NIRWASITA (Mahadewa University) disebutkan, pengkhianatan dari pihak internal menjadi awal dari tragedi 27 hari penyiksaan yang menimpa Dipta.
2. 27 Hari di Ruang Interogasi NICA (15 Maret – Awal April 1946)
Tujuan utama interogasi NICA jelas: menghancurkan jaringan perlawanan di Gianyar dan memaksa Dipta mengungkap nama-nama pejuang, lokasi senjata, serta rencana operasi.
Yang terjadi berikutnya adalah deretan penyiksaan yang dicatat sebagai salah satu episode paling kelam dalam sejarah perjuangan Bali.
Sejumlah sumber sejarah menyebut istilah “penyiksaan berat” — istilah yang mencakup penderitaan fisik dan tekanan mental ekstrem. Ia dipukul, dipaksa tidak tidur, bahkan diancam dengan keselamatan keluarganya.
Namun dari ruang interogasi itu, tak satu pun kata pengkhianatan keluar dari mulutnya.
Darah dan luka tidak mampu mengalahkan tekadnya. Ia memilih diam. Ia memilih setia.
Kesetiaan yang membuatnya nyaris kehilangan wujud manusia, namun tetap utuh sebagai patriot.
“Ia adalah contoh pemuda yang tidak pernah menyerah pada penderitaan,” tulis catatan LVRI Gianyar 1979.
3. Duka di Gianyar dan Eksekusi (12 April 1946)
Tragedi itu tidak berhenti di ruang interogasi.
Kabar penyiksaan Kapten Dipta sampai ke Gianyar, dan kakeknya meninggal dunia karena tidak sanggup menahan kesedihan mendengar cucu kesayangannya disiksa dan diburu penjajah.
Setelah gagal mendapatkan informasi, NICA akhirnya memutuskan untuk mengeksekusi Dipta.
Namun sebelum peluru pertama ditembakkan, ia diberikan kesempatan terakhir. Dengan tubuh penuh luka, Dipta memohon izin untuk “mepamit” — sembahyang terakhir di merajan (tempat suci keluarga).
Ia bahkan meminta baju putih dari rekannya, sebagai simbol kesucian dan kesiapan menghadapi kematian.
Setelah itu, ia dibawa menuju Setra Gede Sukawati, tempat eksekusi.
Di hadapan pasukan dan masyarakat yang menyaksikan, Dipta menolak ketika matanya hendak ditutup.
Dengan sisa tenaga dan keyakinan yang utuh, ia berteriak lantang:
“Merdeka!”
Peluru pertama menembus tubuhnya, namun belum mematikan. Dengan tenang, ia meminta tembakan diulang.
Peluru kedua menuntaskan penderitaannya — sehari setelah ulang tahunnya yang ke-20.
4. Kemenangan yang Tak Terlihat
Kapten I Wayan Dipta gugur bukan sebagai tawanan, melainkan sebagai pemenang di medan kesetiaan.
Ia tidak menyerahkan rahasia perjuangan, tidak memohon ampunan, tidak menggadaikan kehormatan bangsanya.
Kisahnya adalah refleksi dari keteguhan moral generasi muda Indonesia yang berjuang tanpa pamrih, bahkan ketika berhadapan dengan kematian paling mengerikan.
Ia menjadi saksi bahwa kemerdekaan Indonesia dibangun bukan hanya dengan senjata, tetapi juga dengan kesetiaan tanpa syarat.
5. Catatan dan Sumber Sejarah
Narasi ini disusun berdasarkan sejumlah sumber kredibel:
Wikipedia Bahasa Indonesia, entri I Wayan Dipta (menyebut penangkapan 15 Maret 1946, penyiksaan berat, dan penolakannya memberikan informasi).
Jurnal Ilmiah NIRWASITA (OJS Mahadewa University), artikel Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada Perjuangan Kapten I Wayan Dipta (mengutip LVRI Gianyar 1979).
Radar Bali (Jawa Pos Group, 2019), Putra Ingat Cerita Almarhum saat Disiksa Penjajah Bareng Kapten Dipta.
Detikcom (Agustus 2025), Sosok Kapten I Wayan Dipta…, yang menguatkan fakta tentang eksekusi di Jaba Pura Dalem Sukawati.
Epilog: Jiwa yang Tidak Pernah Menyerah
Kapten I Wayan Dipta bukan sekadar nama dalam buku sejarah.
Ia adalah cermin dari generasi yang menjadikan kesetiaan sebagai senjata terakhir.
Darahnya mungkin kering di halaman waktu, tetapi pesan moralnya abadi:
“Lebih baik tubuh hancur, daripada kehormatan bangsa tercabik.”








