Porosmedia.com – Toleransi berasal dari kata tolerance dalam Bahasa Inggris yang artinya membiarkan. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toleransi berarti sikap toleran, membiarkan, dan mendiamkan. Dalam Bahasa Arab, sikap toleran merupakan suatu pendirian untuk menerima berbagai pandangan yang beraneka ragam meskipun tak sependapat. Jadi, toleransi dapat disimpulkan sebagai sikap saling menerima di tengah perbedaan. Perilaku toleransi merupakan sikap positif yang akan mengajarkan kita untuk menghormati perbedaan, dari mulai agama, bahasa, ras, budaya, suku, dsb. Bahkan, dengan adanya toleransi, seseorang berhak memiliki pendapat yang berbeda dan kita berkewajiban untuk menghargainya.
Manfaat Toleransi
Manfaat toleransi bukan hanya untuk sebuah negara dan orang lain. tapi juga bagi diri kita sendiri. Ada banyak manfaat toleransi. Pertama, membuat kita mendapatkan pengetahuan baru dari pengalaman langsung. Kedua, Memperluas cara pandang bahwa perbedaan tidak selalu berbahaya. Perbedaan bukanlah halangan untuk hidup berdampingan. Ketiga, Menumbuhkan rasa nasionalisme yang membuat kita merasa memiliki, juga menjaganya agar Indonesia tetap utuh. Keempat, Memperkuat keimanan. Toleransi akan menguji rasa keimanan dalam diri kita. Semakin kuat iman kita, maka pengetahuan kita tentang agama lain jelas tidak akan ada pengaruhnya sama sekali. Kelima, Menumbuhkan perasaan aman dan menghargai perbedaan yang ada. Baik itu perbedaan agama, kebiasaan hidup, pandangan politik, maupun budaya. Sikap menghargai akan membuat semua orang merasa aman.
Jenis Toleransi
Ada tiga jenis toleransi, yaitu toleransi berbudaya, toleransi beragama dan toleransi berpolitik. Toleransi berbudaya adalah sikap dan perilaku saling menghargai dan menghormati perbedaan budaya yang ada. Toleransi berbudaya di Indonesia lebih kompleks dari toleransi beragama, karena budaya di Indonesia sangat beragam. Negara kita punya lebih dari seribu suku bangsa. Setiap suku punya budaya yang berbeda satu sama lain, begitu juga dengan adat istiadat, hingga kebiasaan hidup. Sementara, toleransi berpolitik sebenarnya sama dengan jenis toleransi sebelumnya. Hanya saja subjeknya berbeda.
Toleransi berpolitik adalah sikap saling menghormati dan menghargai. Namun pandangan politik berbeda setiap orang. Karena setiap orang memiliki pola pikir yang berbeda, termasuk dalam memandang suatu keadaan maupun orang. Tokoh politik yang terbaik belum tentu dianggap baik oleh orang lain, Pemilihan umum presiden tahun 2019 lalu contohnya, banyak orang saling menghujat, merendahkan. Bahkan tidak sedikit pertengkaran akibat perbedaan pandangan berpolitik. Padahal perbedaan politik sah-sah saja. Tapi mendukung seseorang, tidak berarti kita punya hak menjelekkan orang lain. Sejauh ini, bangsa Indonesia masih terus merawat toleransi dalam soal budaya dan agama. Hanya saja, toleransi dalam perbedaan politik masih terus mencari bentuknya sendiri. Kompleksitas nilai dan budaya ternyata belum sepenuhnya mampu menerima setiap perbedaan politik, walaupun politik telah mengikat setiap perbedaan budaya kedalam satu sistem hukum yang disepakati bersama.
Kendala Toleransi di Tahun Politik
Tensi politik menjelang Pemilu 2024 mulai meningkat. Diwarnai dengan hujan pemberitaan yang sarat dengan isu-isu intoleransi. Rasa saling menghargai dan menghormati perbedaan antar sesama warga masyarakat mulai meluntur tergerus zaman. NKRI yang terdiri dari berbagai keberagaman dan perbedaan menjadi sasaran empuk alat politik. Politisasi kondisi telah menelan korban berupa potensi perpecahan antar suku, ras, agama, dan golongan yang semakin menjadi-jadi dan tak terelakkan. Ditengah pertikaian warga yang justru diwarnai intoleransi politik, kita butuh figur yang dapat melihat realitas politik dengan jernih hati dan kedalaman pikir. Serta intens berusaha meredam krisis toleransi saat ini. Dalam kaitan ini Gus Dur pernah melontarkan pernyataan “Generasi muda perlu ikut menebarkan toleransi, bukan malah memprovokasi untuk memecah belah bangsa ini. Sebenarnya “Agama melarang perpecahan bukan perbedaan”
Dinamika politik mutakhir di negeri ini, justru ditandai oleh kenyataan bahwa toleransi politik yang semestinya mudah dijalankan malah terbentur oleh tembok kokoh bernama budaya dan agama. Politik tidak lagi menjadi ikatan-ikatan yang merekatkan perbedaan yang ada, tetapi memecah belah struktur masyarakat. Sehingga, nilai-nilai, budaya, dan keyakinan yang dahulunya senantiasa hidup berdampingan dalam kontruksi budaya toleransi justru memisahkan diri, memudar, menjadi serpihan-serpihan arogansi dan kebencian. Maka, seakan-akan yang timbul adalah sikap intoleran yang selalu dituduhkan masing-masing pihak ke pihak lainnya.
Hadirnya politik identitas misalnya. Saat ini harus dipahami sebagai konstruksi kepentingan kelompok tertentu yang terus diperjuangkan untuk menjadi sarana mencapai politik kekuasaan. Para tokoh yang seharusnya mampu menjadi rujukan masyarakat soal toleransi politik, justru tak berdaya malah tanpa disadari ikut menjadi pihak yang intoleran soal politik. Akhirnya, tensi politik yang terus meninggi akhir-akhir ini tidak cukup hanya diselesaikan dengan beragam adagium soal kebangsaan, kebhinekaan atau keberagaman yang hanya didengungkan dan kuat pada level kata-kata, imbauan atau aksi ‘sepihak’ dari mereka yang memiliki kepentingan.
Toleransi Pilihan Politik
Perbedaan cara pandang terhadap pilihan politik seringkali memicu ‘gesekan’ karena faktor kepentingan atau keyakinan yang selalu dikedepankan oleh masing-masing pihak. Padahal, toleransi politik diperlukan sebagai bentuk penghormatan untuk mempersatukan setiap elemen perbedaan, baik budaya, nilai, norma, maupun agama ke dalam satu ikatan politik yang terangkum dalam diktum hukum dan perundang-undangan. Memang dikui jika pilihan politik seseorang sangat berkait erat dengan keyakinan dan ideologi yang dianut. Upaya-upaya seperti apapun termasuk pemaksaan, intimidasi, atau iming-iming yang mengarahkan pilihan politik seseorang tidak akan mengubah keyakinan pilihan politik nya. “Jika kita tidak dapat mengakhiri perbedaan kita sekarang, setidaknya kita dapat membantu membuat dunia aman untuk keragaman.” ungkap John F. Kennedy. Setidaknya, momen Pemilu 2024 nanti bisa kita jadikan sebagai bentuk ekspresi toleransi, terutama toleransi politik.
Beberapa hal yang perlu disimak
- Perbedaan cara pandang terhadap politik merupakan hal biasa. Merespons situasi politik aktual saat ini, dibutuhkan sikap moderat dalam menyikapi setiap perbedaan preferensi dan pilihan politik. Perbedaan itu suatu niscaya. Tidak mungkin kita tidak berbeda. Tapi bagaimana menyikapi perbedaan. Karena isu perbedaan paham agama kerap menjadi penyulut perpecahan.
- Koalisi menjadi wujud toleransi politik untuk mendukung keberlanjutan kebangkitan ekonomi emas, sehingga siapapun pemenang pemilu asal memiliki kapasitas dan niatan untuk meneruskannya, dukungan masyarakat akan mengalir padanya. Itulah sebabnya Jokowi sering turun ke lapangan untuk cawe-cawe sekaligus menyiapkan tongkat estafet untuk mengurangi gesekan yang makin nyata.
- Toleransi politik kini menyuguhkan rivalitas antara politik identitas dan politik kontinuitas. Yang terakhir terkesan sebagai keberlanjutan kekuasaan incumbent. Namun semua calon pemilih nantinya pasti sudah punya pilihan politiknya. Pada siapa dan partai politik mana suara akan diberikan. Calon pemilih sudah mulai dewasa dan kritis dengan melihat dan menimbang pada realitas apa yang telah diperbuat calon untuk masyarakat sebagai legacynya sekaligus bukti nyata performance kinerjanya.
- Toleransi tidak lagi menyangkut budaya dan agama, tetapi pada hasil pembangunan dan keberlanjutannya. Toleransi ini tentang apa yang telah dimulai, sehingga siapapun calon pemimpin negeri maupun partai pengusungnya sebagai pemenang pemilu akan bekerja sama dan saling bahu membahu membantu menyelesaikan apa yang disepakati menjadi PR Pembangunan yang berkesinambungan.
- Saling membantu dalam upaya penyelesaian proyek mercu suar dan menganggapnya sebagai proyek besama kini menjadi toleransi politik gaya baru. Semangat kebersamaan yang akan dirasakan seluruh rakyat dapat mengikis perasaan ego sektoral masing masing. Yang menganggap itu adalah proyek incumbent sehingga belum tentu sesuai dengan nilai dan cita rasanya. Perasaan inilah yang justru membelenggu dan akan mengekalkan rasa persaingan yang kurang sehat sekaligus mengerdilkan makna toleransi politik yang sudah berkembang menerobos keterbatasan yang tidak lagi berkutat tentang politik identitas yang masih dimaknai secara terbatas.
- Toleransi politik gaya baru bukan berarti bersikap akomodatif terhadap penyelewengan hukum maupun politik. Jika toleransi budaya selalu mengedepankan sikap menerima banyak perbedaan dan keragaman dengan tujuan mempererat sosialitas dan solidaritas, maka toleransi politik gaya baru ini harus mampu menerima setiap perbedaan pilihan politik yang ada, tanpa harus dibenturkan dengan nilai atau budaya masyarakat.
- Nilai dan budaya itu akan melebur dalam sebuah ikatan toleransi politik gaya baru yang saling menghargai dan menghormati terhadap pilihan politik masing-masing. Dan diatur serta dijamin oleh hukum dan perundang-undangan. Karena satu-satunya cara untuk toleran terhadap orang lain adalah dengan melihat dunia melalui mata mereka (Tohon).
- Menegakkan hukum yang seadil-adilnya merupakan prasyarat terbangunnya toleransi politik gaya baru sekaligus toleransi budaya. Toleransi politik gaya baru harus mampu menjaga dan menghormati setiap dinamika sosial-politik yang ada tanpa harus mempertegas “perbedaan” antara “kita” dan “mereka”. Menghargai dan menghormati setiap pilihan politik atau orientasi politik masing-masing justru semakin mempertegas makna dari sifat toleransi.
Akhir kata, membahas soal toleransi politik itu mudah, namun mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sangat sulit. Untuk bisa memiliki sikap toleransi politik ini, kita harus lebih dulu terbiasa dengan perbedaan. Dari kebiasaan inilah, kita bisa mulai belajar menghargai dan menghormati perbedaan yang ada. Karena toleransi politik tidak lebih dari kesabaran dengan batasan, kata Shannon L. Alder.