Porosmedia.com, Opini – Tidak terasa Ramadhan sudah tinggal 10 hari lagi. Namun anehnya, sejak awal Ramadhan hingga kini, di mana-mana banyak sekali warung makan yang buka. Banyak pula orang yang berani menampakkan diri tak berpuasa, merokok di tempat-tempat umum, seolah Ramadhan atau bukan, sama saja. Sama sekali tak tampak keistimewaan bulan agung Ramadhan pada kondisi publik saat ini.
Warung Makan Tak Perlu Ditutup
Melansir Kompas.com (Rabu, 30/03/2022), Ketua Bidang Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis menilai warung makan tak perlu ditutup saat Ramadhan 2022. Cholil beralasan bahwa warung tersebut membutuhkan penghasilan untuk sehari-harinya. Namun Cholil juga tetap meminta warung makan untuk menjaga kesucian bulan Ramadhan dengan tidak memamerkan dagangannya.
“Jadi yang buka warung makan silakan buka, cuman barangkali tetap ya menjaga kehormatan bulan Ramadhan, mungkin seperti halnya jangan terlalu mencolok, memakai kerai,” kata dia.
Cholil juga berpesan agar orang-orang yang menjalankan puasa Ramadhan tidak memamerkan makanan ketika waktu buka puasa tiba, untuk menghormati yang tidak berpuasa. Ia juga mengimbau, puasa jangan sampai menutup hajat orang lain. Menurutnya, orang yang berpuasa perlu memberikan tenggang rasa kepada orang yang sedang mencari kehidupan. Begitu pula warung makan pun perlu menghormati orang yang sedang berpuasa.
Berdagang itu Mubah, Namun Memberi Peluang Bermaksiat itu Haram
Buya Yahya melalui kanal YouTube-nya menyatakan bahwa berjualan makanan yang ditujukan untuk orang yang tidak berpuasa adalah mubah (boleh). Orang tidak berpuasa yang dimaksud adalah perempuan haid/nifas atau musafir. Namun jika berjualan makanan bagi orang yang seharusnya berpuasa, maka hukumnya menjadi haram. Sebab, itu artinya pemilik warung makan telah membantu orang yang bermaksiat kepada Allah Taala. Na’udzubillahi min dzalik.
Rezeki manusia ada di tangan Allah Azza wa Jalla. Jika Allah menghendaki, seorang penjual warung makan bisa saja tidak mendapatkan satu pelanggan pun dalam satu hari berdagang. Bisa pula dalam satu hari berdagang itu, mendapatkan ratusan pelanggan sekaligus. Tentu saja ini dapat terjadi karena Allah telah mengatur rezeki manusia. Apalagi manusia yang bersedia melakukan kebaikan di jalan Allah.
Jadi, apa salahnya menutup warung makan selama beberapa jam di bulan Ramadhan? Di sore hari menjelang buka pun, pemilik warung makan bisa berdagang kembali. InsyaAllah rezeki yang Allah berikan tak akan berkurang. Terlebih akan banyak kaum muslimin yang terjaga puasanya dengan suasana yang kondusif. Dengan demikian akan mampu meningkatkan pula suasana keimanan di Bulan Ramadhan.
Moderasi Agama Merusak Kesucian Ramadhan
Masyarakat pemilik warung makan sebetulnya pasti telah terbiasa dengan kedatangan Bulan Suci Ramadhan setiap tahunnya. Sehingga mereka pun tidak kaget lagi ketika harus menutup warung makannya. Justru malah banyak pemilik warung yang telah mempersiapkan diri demi menghadapi bulan Ramadan. Mereka telah bersiap mengganti barang dagangan menjadi takjil buka puasa. Bahkan mengubah waktu dagangnya menjadi sore hari. Tidak sedikit pemilik warung yang malah mendapatkan rezeki berlipat di Bulan Ramadhan yang penuh berkah.
Oleh karena itu, masalah buka tutup warung makan ini sebenarnya bukan masalah menghalangi rezeki pemilik warung. Namun masalah sebenarnya adalah pemaksaan toleransi dari pemerintah dan segelintir oknum yang ingin melanggengkan arus moderasi beragama. Moderasi beragama dan pemaksaan toleransi inilah yang sebenarnya merusak kesucian Ramadhan yang agung.
Contohnya seperti toleransi kebablasan bahwa orang yang berpuasa harus juga bertoleransi pada yang tidak berpuasa. Logikanya, kepada siapa kita harus bertoleransi? Orang yang bekerja normal plus makan, minum serta merokok atau kepada orang yang harus bekerja dengan menahan lapar, haus, lelah, pusing serta nafsu amarah. Seharusnya jawabannya sudah jelas bukan?
Dengan demikian, arus moderasi beragama dan toleransi kebablasan ini adalah biang keladi sebenarnya dari perusakan moral masyarakat. Masyarakat semakin apatis dengan sekitarnya. Cenderung mengabaikan ketika melihat orang berbuat maksiat, seperti pacaran di siang bolong atau orang yang tidak berpuasa. Antara tidak mau cari masalah dan malas menegur atau bisa jadi pula memang tak peduli. Inilah bukti bahwa suasana keimanan telah rusak di masyarakat, bahkan di bulan Ramadhan yang mulia.
Indahnya Toleransi Hakiki di dalam Sistem Islam
Sungguh amat berbeda dengan suasana Ramadhan di era kekhalifahan Islam. Keberkahan Ramadhan sangat terasa, malam hari di bulan suci penuh dengan ibadah. Masjid-masjid tak pernah sepi di malam hari, sebab kaum muslimin berbondong-bondong melaksanakan shalat tarawih berjamaah. Juga i’tikaf bersama, tadarus Al-Qur’an serta banyak pelaksanaan pengajian serta halaqah mewarnai hari-hari Ramadhan.
Ibnu Umar menuturkan bahwa kaum muslimin tidak tidur lagi setelah makan sahur secukupnya, namun memperbanyak dzikir, membaca Al-Qur’an dan melaksanakan shalat malam. Pada siang hari pun suasana puasa begitu nampak. Sama sekali tidak ada orang yang makan, minum, apalagi merokok di tempat umum. Begitu juga tak ada aktivitas maksiat seperti pacaran atau kumpulan ikhtilath antara laki-laki dan perempuan. Sungguh amat indah toleransi hakiki di sistem Islam. Wallahu’alam bisshawwab.