Porosmedia.com, Bandung – Hingar-bingar media sosial dan populisme digital, Lembaga Swadaya Masyarakat PEMUDA (Pemantau Kinerja Pemerintah Pusat dan Daerah) melayangkan kritik tajam dan terbuka kepada Gubernur Jawa Barat, H. Dedi Mulyadi, S.H., M.M. Kritik ini bukan sekadar gugatan terhadap kebijakan, melainkan sebuah pengingat bahwa kekuasaan publik adalah mandat konstitusional, bukan panggung pencitraan.
Dalam surat terbukanya yang diterima redaksi Porosmedia.com, LSM PEMUDA menyoroti gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi yang dinilai lebih menonjolkan pendekatan personalistik, feodalistik, dan karitatif ketimbang pendekatan sistemik, partisipatif, dan berbasis hukum.
“Jabatan Gubernur adalah mandat rakyat dan konstitusi, bukan mahkota kekuasaan. Kepemimpinan harus berpijak pada prinsip demokrasi, bukan pada gelombang tepuk tangan di dunia maya,” tulis mereka dalam surat terbuka yang ditandatangani di Bandung, 10 Juni 2025.
Salah satu kritik paling menonjol adalah terhadap narasi personal yang selama ini dibangun oleh Dedi Mulyadi. Julukan “Bapak Aing” dan penyebutan dirinya sebagai “Raja” mungkin dianggap sebagai simbol budaya Sunda. Namun menurut LSM PEMUDA, penyimbolan ini mengandung potensi bahaya politis: membangun relasi kuasa yang vertikal dan eksklusif antara pemimpin dan rakyat.
“Dalam demokrasi, pemimpin adalah pelayan. Rakyat bukan objek kasih sayang, tetapi subjek pembangunan yang berhak menyuarakan kepentingannya,” tegas Koswara dari LSM PEMUDA.
Kebijakan kontroversial lainnya yang disorot adalah program “Barak Militer untuk Anak Nakal”. Program ini, yang diklaim sebagai bentuk intervensi moral terhadap remaja bermasalah, dinilai justru bertentangan dengan prinsip perlindungan anak dan Hak Asasi Manusia (HAM).
LSM PEMUDA mengingatkan bahwa niat baik tidak cukup untuk membenarkan kebijakan publik yang menabrak undang-undang dan mengabaikan partisipasi warga. Apalagi, hingga kini, belum ada kejelasan dan transparansi mengenai mekanisme dan legalitas dari program tersebut.
Masalah berikutnya yang menjadi sorotan adalah ketiadaan transparansi anggaran untuk program barak militer tersebut. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, seluruh program yang menggunakan dana negara wajib dapat diakses publik.
“Pemerintah provinsi tidak bisa berjalan seperti kerajaan yang bebas dari akuntabilitas. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus bisa dipertanggungjawabkan,” ungkap Koswara Ketua LSM PEMUDA.
LSM PEMUDA juga menyentil praktik membagikan uang secara langsung kepada masyarakat miskin di depan kamera, yang kerap dilakukan Gubernur Dedi Mulyadi dalam berbagai kesempatan. Meskipun terlihat empatik, tindakan itu dianggap mengaburkan esensi kepemimpinan yang bertanggung jawab secara struktural.
“Kebijakan publik bukan soal empati sesaat di depan kamera. Rakyat membutuhkan perubahan sistem, bukan hanya sedekah personal yang viral,” kata mereka.
Menurut LSM PEMUDA, tindakan karitatif semacam ini justru berisiko memupuk ketergantungan, bukan kemandirian. Masyarakat Jawa Barat membutuhkan solusi nyata: sistem pendidikan yang mencerahkan, layanan kesehatan yang merata, lapangan kerja yang layak, dan ruang demokrasi yang hidup.
Sebagai penutup, LSM PEMUDA menyerukan kepada Dedi Mulyadi untuk meninggalkan pendekatan kekuasaan simbolik dan kembali pada esensi demokrasi yang substansial:
Meninggalkan gaya kepemimpinan feodal dan simbolik
Mengedepankan prinsip demokrasi dan supremasi hukum
Melibatkan masyarakat sipil dalam pengambilan kebijakan
Menggunakan kekuasaan untuk memperkuat sistem, bukan membangun kultus individu
Mereka menegaskan bahwa sejarah tidak pernah diam. Ia mencatat dengan teliti siapa pemimpin yang benar-benar bekerja untuk rakyat dan siapa yang sekadar tampil untuk disanjung.
“Kami berharap Bapak Gubernur Dedi Mulyadi memilih berada di sisi sejarah yang benar—sebagai pemimpin yang berpihak pada keadilan, kesetaraan, dan kecerdasan bangsa,” tutup surat tersebut.