Satu Luka, Sejarah Paling Kelam Dalam Perjalanan Bangsa Indonesia: Luruskan! demi Masa Depan Bangsa

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Dalam suasana reflektif dan penuh semangat keberpihakan terhadap korban, sejumlah aktivis Reformasi 1998, akademisi, dan generasi muda berkumpul dalam sebuah forum bertajuk “Saksi Sejarah ’98 dari Bandung”. Forum ini bukan sekadar temu kangen, melainkan ruang konsolidasi, pernyataan sikap, dan pembacaan ulang atas tragedi Mei 1998—salah satu luka sejarah paling kelam dalam perjalanan bangsa Indonesia.

Diskusi dibuka dengan penegasan sejarah kerusuhan Mei 1998 yang melanda Jakarta dan sejumlah kota besar dalam hitungan hari. Gedung-gedung dibakar, toko-toko dijarah, dan—yang paling memilukan—terjadi pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa secara brutal dan sistematis. Temuan ini bukan opini atau propaganda, melainkan kesimpulan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie.

TGPF menyatakan bahwa kerusuhan tersebut tidak bersifat spontan. Ia dirancang, dimobilisasi, dan dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik dan militer yang terorganisir. Lebih dari 1.100 orang tewas, sebagian besar terbakar hidup-hidup di gedung-gedung yang disulut api. Sebanyak 52 perempuan menjadi korban pemerkosaan, termasuk 14 yang mengalami penganiayaan berat, 10 diserang secara seksual, dan 4 lainnya dilecehkan. Mayoritas korban adalah perempuan Tionghoa.

Baca juga:  Pemkot Bandung Berduka, Kabag Tapem Tutup Usia

Target utama kekerasan adalah pusat-pusat ekonomi milik etnis Tionghoa—seperti Mangga Dua, Roxy, Glodok, dan Grogol. Hingga kini, tidak satu pun pelaku kejahatan tersebut yang diadili. Negara tetap diam, seolah menormalisasi kekejian sebagai harga politik transisi.

Dalam forum ini, suara-suara yang selama ini dibungkam kembali menggema. Seorang peserta menceritakan betapa mencekamnya situasi di kawasan Grogol—rumah dibakar, perempuan diseret keluar dan disiksa. “Kami bersembunyi di loteng, berharap tidak ikut dibakar hidup-hidup,” kisahnya, menggambarkan horor yang tak bisa dihapus oleh waktu.

Anto Ramadhan, Aktivis 98, mengungkapkan kekecewaannya terhadap upaya sistematis rezim hari ini yang mencoba menghapus jejak kekerasan dari sejarah. “Ada proyek besar pelupaan kolektif yang diproduksi negara,” ujarnya. Menurutnya, masyarakat sipil harus mengambil peran sebagai penjaga ingatan kolektif.

Prof. Muradi menegaskan bahwa sejarah tidak boleh ditulis semata oleh para pemenang. “Jika ada pemerkosaan massal, itu adalah kejahatan kemanusiaan. Tidak boleh didiamkan. Sejarah harus berpihak pada kebenaran, bukan kekuasaan,” tegasnya.

Teh Ema, aktivis perempuan, menyuarakan kekhawatiran serupa. Ia menyoroti bahwa pemutihan sejarah 1998 tengah berlangsung. Ia mengusulkan aksi simbolik: menggelar upacara 17 Agustus bersamaan dengan peluncuran buku politik, sebagai bentuk perlawanan naratif.

Baca juga:  Candi Prambanan Jadi Tempat Ibadah Umat Hindu Dunia

Priston, aktivis 98 lainnya, menyampaikan bahwa nilai-nilai Reformasi 1998 tidak berhasil diwariskan secara utuh. “Generasi kami terlalu nyaman. Tongkat estafet tidak serta-merta berpindah. Jika kalian ingin berkuasa, jangan lupakan DNA 98. Itu warisan keberanian,” tegasnya.

Forum ini menyampaikan pesan moral yang kuat: melupakan kekerasan adalah bentuk kekerasan baru. Negara yang diam terhadap pelanggaran HAM adalah negara yang gagal memahami akar keadilan. Melawan lupa bukan berarti menghidupkan dendam, melainkan menolak rekonsiliasi palsu tanpa pengakuan dan keadilan.

Tragedi Mei 1998 bukan hanya luka etnis Tionghoa, tapi luka bangsa. Terutama bagi para perempuan korban pemerkosaan yang hingga kini tak pernah mendapat pengakuan, apalagi keadilan. Tubuh mereka dihancurkan, suara mereka dibungkam, dan narasi mereka dihapus.

Forum “Saksi Sejarah ’98 dari Bandung” menegaskan: Sejarah bukan milik penguasa. Sejarah adalah milik bangsa. Dan bangsa yang besar bukanlah bangsa yang melupakan masa lalunya, melainkan yang berani mengakuinya dan memperbaikinya.

Tuntutan Forum:

1. Menolak segala bentuk pengaburan sejarah tragedi Mei 1998, khususnya yang dilakukan oleh Menteri Kebudayaan.

Baca juga:  Percepat Penerangan di Kampung Banda, Satgas Yonif 122/TS Bersama Masyarakat Bantu Pemasangan Instalasi listrik

2. Mendesak Fadli Zon untuk meminta maaf secara terbuka dan mengundurkan diri dari jabatannya karena telah melukai memori kolektif bangsa.

3. Menuntut penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui mekanisme Pengadilan HAM yang independen dan transparan.

4. Mendorong pembentukan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk mengungkap fakta, memberi ruang kesaksian korban, dan membangun rekonsiliasi sejati.

Presidium Perkumpulan Aktivis 98
Ketua: Muhamad Suryawijaya