Reformasi 1998: Menakar Ulang Arah Demokrasi Indonesia di Tengah Ancaman Revisi Sejarah

Avatar photo

Porosmedia.com — Dua puluh tujuh tahun setelah Reformasi 1998, Indonesia menghadapi tantangan baru dalam menjaga semangat demokrasi yang diperjuangkan saat itu. Rencana pemerintah untuk menerbitkan sepuluh volume buku sejarah nasional menimbulkan kekhawatiran akan potensi penulisan ulang sejarah, khususnya terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu.

Reformasi 1998 lahir dari akumulasi krisis ekonomi, politik, dan sosial yang melanda Indonesia. Krisis moneter 1997 menyebabkan nilai tukar rupiah anjlok, inflasi tinggi, dan meningkatnya pengangguran. Kondisi ini diperparah oleh praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dalam pemerintahan Orde Baru. Mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya turun ke jalan menuntut perubahan, yang berpuncak pada lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.

Setelah Reformasi, Indonesia mengalami perubahan signifikan dalam sistem politik dan sosial. Pemilihan umum yang lebih demokratis diselenggarakan, dengan partisipasi masyarakat yang meningkat pesat. Pemilu 1999 mencatat partisipasi pemilih sebesar 95%, dengan lebih dari 40 partai politik berkompetisi.

Selain itu, reformasi juga membawa perubahan struktural, seperti pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, penguatan fungsi DPR sebagai pengawas kebijakan eksekutif, dan pengenalan desentralisasi melalui UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, yang memberikan otonomi lebih besar kepada pemerintah daerah.

Baca juga:  Aktivis 98: Jaga Tindakan Berbahaya Mengkhianati Cita-cita Reformasi

Reformasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia berhasil memperbaiki kondisi makro ekonomi dan memulihkan pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik  Bruto Indonesia tumbuh rata-rata sebesar 5 persen per tahun selama periode 1999-2014. Tingkat kemiskinan juga turun menjadi 11 persen pada 2014. Selain itu, Indonesia juga berhasil mencapai status sebagai negara berpendapatan menengah atas pada 2010, serta menjadi anggota G-20 sebagai kelompok negara-negara ekonomi terbesar di dunia.

Namun, reformasi ekonomi juga menimbulkan beberapa masalah seperti ketimpangan pendapatan, korupsi, birokrasi, dan ketergantungan pada komoditas ekspor. Indeks Indonesia meningkat dari 0,31 pada 1999 menjadi 0,41 pada 2014, menunjukkan adanya kesenjangan antara orang kaya dan miskin. Korupsi juga masih merajalela di berbagai sektor publik dan swasta, sehingga menghambat efisiensi dan transparansi. Birokrasi juga masih menjadi kendala dalam melakukan investasi dan usaha di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga rentan terhadap fluktuasi harga komoditas seperti minyak bumi, batu bara, dan kelapa sawit di pasar internasional.

Rencana pemerintah untuk merilis seri buku sejarah nasional sebanyak 10 volume menimbulkan kekhawatiran akan potensi penulisan ulang sejarah. Beberapa sejarawan dan pengamat politik khawatir bahwa proyek ini dapat mengaburkan atau menghilangkan catatan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama era Orde Baru, termasuk penculikan aktivis mahasiswa pada 1998.

Baca juga:  5 Hal Penyebab Batuk Yang Tak Kunjung Sembuh

Asvi Warman Adam, seorang sejarawan terkemuka, menyatakan bahwa ada indikasi niat untuk melegitimasi rezim yang berkuasa dengan mengecualikan pelanggaran HAM berat dalam narasi sejarah resmi.

Reformasi 1998 adalah tonggak penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Namun, semangat perubahan yang digelorakan kala itu harus terus dijaga dan diperkuat. Masyarakat, akademisi, dan media memiliki peran penting dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal penulisan sejarah nasional.

Sebagai bangsa, kita harus memastikan bahwa sejarah ditulis dengan jujur dan objektif, tanpa mengaburkan fakta atau menghilangkan suara-suara yang pernah berjuang demi perubahan. Hanya dengan demikian, kita dapat menghormati perjuangan masa lalu dan membangun masa depan yang lebih adil dan demokratis.