Menuju Kota Bandung Zero Bullying: Antara Komitmen dan Tantangan Nyata di Lapangan

Avatar photo

 

Porosmedia.com, Bandung – Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung mendeklarasikan komitmen baru: Bandung Menuju Zero Bullying.
Langkah ini bukan sekadar seremoni, tetapi menjadi pengingat bahwa Kota Bandung harus bebas dari segala bentuk kekerasan dan perundungan—baik fisik, verbal, maupun digital.

Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menegaskan bahwa pencapaian zero bullying bukan hal mudah, namun menjadi bagian penting dalam upaya mewujudkan Bandung sebagai Kota Layak Anak tingkat Utama.
“Sekarang ini Bandung baru berada di tingkat Nindya. Masih ada satu level lagi, yaitu Utama, dan kita sedang menuju ke sana,” ujar Farhan saat menghadiri deklarasi di SDN 113 Banjarsari, Rabu (29/10/2025).

Menurutnya, perundungan di era digital kini menjadi tantangan serius. “Literasi digital kita masih di bawah 70 persen, sementara akses internet sudah di atas 80 persen, dan kepemilikan ponsel bahkan lebih dari 100 persen. Artinya, teknologi harus diimbangi dengan literasi yang baik agar tidak disalahgunakan untuk bullying,” jelasnya.

Farhan menekankan bahwa Pemkot Bandung tengah mengkurasi berbagai kebijakan dan program perlindungan anak agar benar-benar efektif di lapangan, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. “Deklarasi ini momentum untuk mengingatkan semua pihak bahwa Bandung harus jadi kota yang ramah anak,” tegasnya.

Baca juga:  Pemkot Bandung Akui Tantangan Berat Wujudkan Akses Air Bersih Merata

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung, Uum Sumiati, menyebut deklarasi Zero Bullying merupakan bagian penting dari upaya strategis mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman dan bebas kekerasan.

“Upaya strategis ini kami wujudkan lewat deklarasi di level sekolah dasar. Ini bentuk nyata komitmen untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk perundungan,” ujarnya.

DP3A mencatat bahwa perundungan di sekolah berdampak langsung terhadap tumbuh kembang anak, menurunkan rasa percaya diri, dan berpotensi menimbulkan trauma jangka panjang. Karena itu, DP3A menjalankan sejumlah program konkret, antara lain:

1. Program Senandung Perdana (Sekolah Perlindungan Perempuan dan Anak) di 30 SMP dan 15 SD Negeri di Kota Bandung.

2. Pelatihan pencegahan dan penanganan bullying bagi kepala sekolah dan guru di 60 sekolah negeri dan swasta.

3. Konvensi Hak Anak, diikuti 180 tenaga pendidik (30 September – 2 Oktober 2025), untuk memperkuat nilai-nilai sekolah ramah anak.

4. Forum Anak tingkat kecamatan dan kelurahan pada 21 Oktober 2025, untuk memperluas partisipasi pelajar dalam advokasi anti-kekerasan.

Baca juga:  Bappeda Kota Bandung Dinilai Lemah dalam Realisasi Perencanaan Pembangunan

5. Deklarasi dan edukasi sekolah ramah anak di Taruna Bakti (10 Oktober 2025).

Puncak rangkaian kegiatan ini adalah penandatanganan komitmen bersama antara kepala sekolah, guru, dan peserta didik untuk mendukung Bandung Menuju Zero Bullying.

“Kami ingin sekolah menjadi tempat yang benar-benar aman, nyaman, bersih, indah, dan bebas dari bullying,” tambah Uum.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung, Asep S. Gufron, mengakui bahwa tantangan terbesar bukan pada konsep, melainkan implementasi.
“Tidak mudah mendistribusikan program ini ke seluruh sekolah, tapi kami punya komitmen kuat memastikan pengelolaan sekolah dan perlindungan anak berjalan baik,” katanya.

Dinas Pendidikan juga menyiapkan tenaga psikolog dan mekanisme pemantauan di tiap jenjang pendidikan, dari TK hingga SMP.
“Kami terus mencermati perkembangan di tiap sekolah dan melakukan pendampingan bagi anak-anak yang membutuhkan,” tambah Asep.

Deklarasi Zero Bullying jelas merupakan langkah positif, namun sejumlah pengamat menilai, upaya ini tidak boleh berhenti di tataran simbolik.
Persoalan bullying di Bandung sudah berakar dari ketimpangan literasi digital, lemahnya komunikasi antar siswa, dan kurangnya kapasitas guru dalam deteksi dini kekerasan psikologis.

Baca juga:  Fakta-Fakta di Balik Liputan Desa KKN dan Figur Pak Kasmudjo: Koreksi Terlambat yang Perlu Dicermati

Jika tidak diikuti pengawasan yang terukur, sistem pelaporan yang cepat, serta penegakan disiplin yang konsisten, maka deklarasi hanya akan menjadi slogan moral tanpa daya tekan sosial.

Selain itu, perlu penguatan sinergi antara Dinas Pendidikan, DP3A, Disdik, hingga RT/RW dan komunitas warga, agar pelaporan dan intervensi kasus bullying tidak berhenti di meja administrasi.

Dengan kolaborasi lintas sektor, Pemkot Bandung berharap Zero Bullying tidak hanya menjadi jargon, tetapi gerakan sosial yang hidup di tengah masyarakat.
“Dari sekolah yang aman dan bebas bullying inilah akan lahir generasi Bandung yang unggul menuju Indonesia Emas 2045,” tutur Uum Sumiati menutup pernyataannya.

Bandung kini berada di persimpangan penting: antara niat baik dan realisasi nyata.
Komitmen harus berlanjut dengan pengawasan, program harus disertai keberanian eksekusi, dan setiap anak harus benar-benar merasakan bahwa mereka tumbuh di kota yang ramah, aman, dan manusiawi.