Extrajudicial Killing, Hanya Terjadi di Sistem Selain Islam

Extrajudicial Killing, Hanya Terjadi di Sistem Selain Islam
Ilustrasi via: Dhakatribune.com

Porosmedia.com, Opini – Kasus Penembakan dr. Sunardi yang menjadi tersangka terorisme di Sukoharjo, menuai polemik. Melansir detik.com, Ahad (13/03/2022), Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengungkap status dr. Sunardi telah ditetapkan sebagai tersangka sebelum penangkapannya. Polisi, kata Ramadhan, melakukan tindakan terukur berupa penembakan terhadap Sunardi lantaran melawan pada saat penangkapan.

Dia menjelaskan pihak Densus 88 telah memperkenalkan diri kepada Sunardi sebelum hendak melakukan penangkapan. Kemudian, petugas berusaha menghentikan kendaraan Sunardi, namun Sunardi melawan. Ramadhan mengatakan Sunardi menabrakan mobilnya ke arah petugas yang berusaha menghentikannya.

Polisi sempat mencoba membujuk Sunardi dengan cara naik ke bak belakang mobilnya. Namun Sunardi kemudian tetap melajukan kendaraannya dengan kencang secara zigzag untuk menjatuhkan petugas yang berada di bagian belakang mobilnya. Ramadhan mengatakan dua polisi yang hendak menangkap Sunardi terluka. Tak hanya itu, Sunardi juga menabrak kendaraan roda 4 dan roda 2 milik warga yang sedang melintas.

Ramadhan membeberkan keterlibatan Sunardi dalam jaringan terorisme di Indonesia. Dia mengungkap, Sunardi adalah anggota Jamaah Islamiyah (JI). Dia mengatakan, Sunardi pernah menjabat sebagai Amir Khidmat JI, Deputi Dakwah dan Informasi, Penasihat Amir JI, dan penanggung jawab Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI).

Sementara Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Gatot Repli Handoko mengungkapkan, “(Alasan tembak mati) adalah karena dapat menimbulkan korban banyak. Yang kita hadapi adalah tersangka tindak pidana teroris yang mempunyai karakter berani mengorbankan orang lain bahkan diri sendiri, ini menjadi ancaman tindakan agresif tersebut bagi masyarakat, pengendara yang ada di sekitar lokasi, rumah dan anggota.” ujar Gatot (tribunnews.com, Sabtu, 12/03/2022).

Kesaksian Tetangga dan Keluarga

Berdasarkan laporan tribunnews.com, Sekretaris The Islamic Study and Action Center (ISAC) Endro Sudarsono yang mewakili keluarga menyampaikan bahwa sang dokter tewas dengan dua luka tembak. Pihak keluarga yakin bahwa dokter Sunardi tak terlibat kasus terorisme.

Yang jelas kita menyayangkan sikap penegakan hukum yang kemudian ada sebuah kekerasan apalagi tembak mati. Mestinya ada upaya paksa, atau upaya hukum yang sifatnya melumpuhkan, bukan mematikan.” kata Endro kepada wartawan di rumah duka, Kamis (10/03/2022). “Kemudian mobil oleng, apakah kemudian olengnya itu dalam keadaan tidak sadar atau sebuah perlawanan kita tidak tahu.” kata dia.

Lebih lanjut Endro menyampaikan pihak keluarga meminta maaf jika selama hidupnya Sunardi melakukan kesalahan. Terkait kekecewaannya, keluarga siap menempuh jalur hukum terkait penembakan terhadap dokter Sunardi oleh Densus 88.

Baca juga:  Pentingnya Kepedulian Remaja Terhadap Persoalan Umat

Sementara menurut Ketua RT.03/RW.07 Bangunsari, Kelurahan Gayam, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, Bambang Pujiana Eka Warsana, Sunardi tidak pernah mengikuti kegiatan di kampung. Dia mengatakan dokter Sunardi tak pernah bersosialisasi atau sekedar iuran RT. Eka mengaku hanya bertemu dokter Sunardi di mesjid saat salat maghrib dan isya, meskipun tak pernah berbincang dengannya.

Eka juga mengetahui bahwa Sunardi membuka praktik dokter di rumahnya. Namun menurutnya, tidak banyak pasien yang datang ke rumah dokter Sunardi. Selama ini Eka mengetahui Sunardi tinggal di rumah bersama istri dan empat anaknya. Eka menyebut Sunardi pernah mengalami kecelakaan hingga sampai sekarang harus menggunakan tongkat untuk beraktivitas (detik.com, Kamis, 10/03/2022).

Penilaian Tokoh Masyarakat sebagai Extrajudicial Killing

Direktur Eksekutif Community Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menilai kasus penembakan dokter Sunardi oleh Tim Densus 88 Antiteror Polri sebagai pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing. Menurutnya, penembakan Sunardi menambah daftar panjang terduga teroris yang tewas saat penangkapan.

Ini juga masuk kategori extrajudicial killing. Dalam 10 tahun terakhir, lebih dari 150-an orang tewas di tangan Densus 88 dengan kategori ini,” ujar Harits seperti dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (12/3/2022).

Dalam amanat UU, kata Harits, Densus 88 perlu mengetahui proses penangkapan dan melumpuhkan para pelaku terduga terorisme dengan membawanya ke meja hijau peradilan, bukan melakukan tindakan represif yang melanggar HAM (islamtoday.id, Sabtu, 12/03/2022).

Front Persaudaraan Islam (FPI), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-U), dan Persaudaraan Alumni (PA) 212 mengecam pembunuhan di luar proses peradilan (extrajudicial killings) oleh Densus 88 Antiteror terhadap almarhum dr. Sunardi. Mereka berpendapat, dr. Sunardi selama ini adalah seorang dokter yang memiliki kepedulian sosial tinggi. Beliau aktif dalam berbagai kegiatan kemanusiaan. Beliau juga sering menggratiskan pasien yang berobat padanya serta produktif sebagai penulis mengenai kesehatan dan keislaman.

“Terdapat informasi yang menjelaskan bahwa dr. Sunardi memiliki fisik lemah, kesulitan berjalan, karena itu perlu bantuan tongkat dan berjalan perlahan, kemudian sulit untuk rukuk dan sujud. Karenanya dr. Sunardi shalat dengan menggunakan bantuan tempat duduk, sehingga tidak masuk akal sehat bila beliau memiliki kemampuan untuk melawan personil Densus 88 Antiteror yang dilatih dan dipersenjatai sebagai penegak hukum dengan biaya dari negara,” terang mereka seperti dilaporkan oleh mediaumat.id, (Ahad, 13/03/2022).

Baca juga:  Maraknya Sextortion, di mana Peran Negara?

Dugaan Extrajudicial Killing

Masih banyak pakar dan tokoh lain yang menyatakan bahwa proses penangkapan yang menyebabkan tewasnya dr. Sunardi merupakan bentuk extrajudicial killing. Extrajudicial killing adalah tindakan-tindakan yang menyebabkan kematian seseorang yang dilakukan aparat negara tanpa melalui proses hukum dan pengadilan. Prof. Suteki, seorang pakar sosiologi hukum dan filsafat Pancasila, menyampaikan penjelasan ini.

Beliau juga menjelaskan bahwa ciri-ciri extrajudicial killing adalah 1) melakukan tindakan yang menimbulkan kematian; 2) tanpa adanya proses hukum yang sah yang seharusnya memiliki Surat Penangkapan atau terdapat bukti tangkap tangan; 3) pelakunya adalah aparat negara; 4) tindakan yang menyebabkan kematian tadi tidak dalam rangka membela diri atau melaksanakan perintah UU.

Pada kasus dr. Sunardi jelas terjadi ciri pertama dan ketiga. Sementara untuk ciri kedua tidak terdapat keterangan mengenai Surat Penangkapan tersebut. Memang benar bahwa penetapan status tersangka akhirnya diumumkan pada konferensi pers, namun itu terjadi setelah penembakan dan dr. Sunardi pun telah dinyatakan tewas.

Padahal status tersangka tidak memberikan pembenaran untuk menembak mati beliau. Para pakar menyatakan bahwa seharusnya kasus ini memperoleh praduga tak bersalah dan memberikan kesempatan bagi tersangka untuk melakukan pembelaan secara adil.

Untuk ciri keempat juga terjadi pada kasus ini. Sebab, aparat Densus 88 berdalih melakukan pembelaan diri dari perlawanan yang dilakukan dr. Sunardi dengan menabrakkan mobilnya kepada petugas, serta menyetir zigzag untuk menjatuhkan petugas. Jika memang dr. Sunardi benar-benar mampu melakukan perlawanan dengan mobilnya, mengapa tidak memperkirakan hal ini sejak awal dan melakukan penangkapan yang aman di rumah atau lokasi praktik beliau?

Bukankah justru lebih berbahaya ketika melakukan penyergapan atau penangkapan di perjalanan? Selain memungkinkan tersangka melakukan perlawanan, penangkapan di tengah jalan tentunya akan mengganggu lalu lintas dan masyarakat sekitar. Tidak mungkin aparat Densus 88 yang terlatih tidak memikirkan hal ini sebelumnya. Bukankah logika berpikir aparat biasanya terlatih untuk memperkirakan cara berpikir tersangka atau target penangkapan?

Kejanggalan demi kejanggalan terus ditemukan dalam peristiwa ini. Sehingga tidak aneh jika terdapat dugaan pelanggaran HAM dalam kasus penangkapan dr. Sunardi yang berujung kematian.

Baca juga:  Islam dan Propaganda Radikalisme

Hanya Syariat Islam yang Menegakkan Keadilan Hakiki

Islam mengatur seluruh aturan kehidupan manusia. Termasuk sistem peradilan dalam sistem hukum Islam. Penerapannya dilaksanakan secara adil sesuai aturan syariat Islam tanpa pandang bulu. Tidak memandang apakah dia seorang muslim, kafir, orang miskin atau putra sultan, semuanya sama di hadapan hukum Islam.

Banyak sekali contoh kisah keadilan hukum Islam dalam peradilan. Salah satunya kisah sengketa baju besi Khalifah Ali bin Abi Thalib bersama seorang Yahudi. Orang Yahudi tersebut memenangkan peradilan sebab Khalifah Ali tidak dapat menghadirkan seorang saksi lagi.

Ada juga kisah seorang nenek Yahudi yang melaporkan perbuatan Amr bin Ash yang menggusur rumahnya untuk mendirikan masjid, padahal nenek tersebut berkeras tidak ingin menjual rumah dan tanahnya. Amr bin Ash mendapatkan teguran keras dari Khalifah Umar bin Khathab bahwa semua orang sama di hadapan hukum Islam, sehingga ia akhirnya membangun kembali rumah dan tanah nenek tersebut.

Jika dibandingkan dengan penerapan hukum saat ini, sungguh amat berbeda jauh dengan peradilan di masa penerapan Islam. Peristiwa penembakan dr. Sunardi seolah membuktikan bahwa asal sudah mendapat cap “tersangka teroris”, seolah sudah halal untuk membunuh tersangka meski tanpa adanya bukti yang jelas.

Aparat negara begitu mudah membunuh nyawa yang belum tentu bersalah. Padahal dalam Islam, membunuh muslim secara sengaja tanpa adanya alasan yang syar’i merupakan sebuah dosa yang amat besar.

Allah Subhanahu Wa Taala berfirman dalam QS. An-Nisaa ayat 93 :

Siapa saja yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, balasannya ialah Neraka Jahannam. Dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, mengutuknya, dan menyediakan baginya azab yang besar.

Perbedaan keadilan dalam sistem Islam dan kapitalisme begitu nyata. Hanya islam sajalah yang mampu melindungi umat muslim dari ketidakadilan saat ini. Islam pulalah yang mampu menyuguhkan kesejahteraan yang jelas dan nyata. Sehingga sudah saatnya beralih ke sistem Islam yang menerapkan seluruh aturan Islam secara kaffah. Wallahu’alam bisshawwab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *