Oleh : Riannisa Riu
Porosmedia.com – Serial drama Layangan Putus menjadi pembahasan di berbagai media sosial dalam beberapa pekan terakhir. Serial web yang dibintangi Reza Rahadian, Putri Marino, dan Anya Geraldine itu sukses menyedot emosi penonton hingga mengangkat pembahasan soal pernikahan hingga perselingkuhan di media sosial. Layangan Putus bermula dari tulisan curhat di media sosial pada 2019. Tulisan yang diunggah pemilik akun Facebook bernama Mommy ASF itu lalu viral dan menyedot perhatian banyak netizen.
Tulisan itu mengisahkan seorang istri yang memiliki suami yang dikenal sangat religius. Mereka telah menikah selama delapan tahun dan dikaruniai lima anak. Namun, anak bungsu mereka meninggal saat berusia 4 bulan. Rumah tangga yang dibangun sejak 2011 itu mengalami masalah sejak Februari 2018. Suaminya tiba-tiba menghilang. Setelah 12 hari, suaminya akhirnya pulang. Namun, ia tidak memberikan penjelasan maupun permintaan maaf kepada istrinya. Setahun kemudian, Mommy ASF menemukan bukti bahwa suaminya telah menikah lagi dan berbulan madu di Turki, tepatnya di Cappadocia yang merupakan tempat impiannya. Mommy ASF yang tak terima dikhianati lalu menggugat cerai suaminya. Rumah tangga mereka resmi berakhir pada 19 September 2019.
Setelah viral, Mommy ASF menghapus unggahannya tersebut dari Facebook. Namun ia tidak mengungkapkan alasan menghapus unggahan tersebut. Pada akhir 2020, Mommy ASF alias Eca Prasetya menerbitkan novel Layangan Putus. Novel ini menceritakan kehidupan rumah tangga Aris dan Kinan yang diterpa permasalahan orang ketiga. Kesuksesan novel Layangan Putus membuat rumah produksi MD Entertainment tertarik untuk mengangkatnya menjadi serial. (cnnindonesia.com, Rabu 29/12/2021).
Efek Layangan Putus
Salah satu aktris pemain Layangan Putus, Anya Geraldine mengaku bahwa dirinya semakin takut untuk menikah karena takut memiliki suami seperti Aris di serial tersebut. Selain Anya, tak sedikit netizen yang berkomentar serupa. Mereka mendadak mengalami gamophobia atau fobia pada pernikahan setelah menonton atau membaca kisah Layangan Putus. Sungguh suatu fenomena yang amat miris. Padahal, pernikahan sesungguhnya adalah suatu perjanjian yang paling mulia, yakni akad mitsaqon gholizon, yakni perjanjian secara langsung kepada Allah Taala. Sehingga jika ada keburukan dalam suatu pernikahan, maka hal itu bukan berasal dari pernikahan itu sendiri, melainkan diakibatkan oleh keburukan atau dosa manusia yang menjalani pernikahan tersebut.
Pentingnya Pemilihan Informasi
Berdasarkan kitab Mafahim yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an Nabhani, manusia pada dasarnya membutuhkan empat jenis faktor agar ia bisa melakukan proses berpikir dan menghasilkan suatu keputusan. Pertama adalah adanya fakta yang terindera oleh manusia tersebut. Kedua, adanya alat indera (yakni mata, telinga, dsb) yang mampu menerima fakta tadi dan meneruskannya ke dalam otak. Ketiga, adanya otak sebagai alat yang menyimpan memori, termasuk fakta tadi. Terakhir, diperlukan adanya informasi terdahulu (maklumat sabiqoh) yang mampu menjadi landasan bagi penentuan keputusan manusia terhadap fakta tadi. Jika ada salah satu saja yang tidak ada dari keempat faktor tersebut, maka proses berpikir dan pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan.
Dengan demikian, amat penting bagi seorang manusia untuk memilah dan memilih informasi terdahulu (maklumat sabiqoh) apa saja yang boleh masuk ke dalam otak dan memorinya. Sebab, informasi tersebut akan membentuk pemikirannya dan menjadi pemicu pilihan perilaku dan tindakan manusia tersebut. Dengan kata lain, informasi yang kita terima setiap harinya akan diolah dan menjadi landasan bagi kita untuk menentukan suatu keputusan.
Baca Juga : Jadwal Tayang dan Sinopsis Film Cinta Pertama, Kedua dan Ketiga
Contohnya, seorang manusia yang gemar menonton drama setiap hari sejak kecil, secara otomatis akan beranggapan bahwa nilai-nilai yang ditunjukkan di dalam drama adalah sesuatu yang baik, bagus dan benar. Sehingga ia akan memandang asing, aneh dan salah terhadap nilai-nilai lain yang bertentangan dengan yang diajarkan dalam drama. Sebaliknya, manusia yang dikenalkan kepada Allah sejak dini dan tidak pernah mengindera (melihat atau mendengar atau merasakan) kemaksiatan seumur hidupnya, maka akan berpendapat bahwa aturan Allah adalah yang terbaik, bagus serta benar. Tatkala menyaksikan suatu kemaksiatan, maka otomatis ia akan menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang salah dan ganjil. Sebab, di dalam tumpukan maklumat sabiqoh yang telah tersimpan di memori otaknya, kemaksiatan adalah sesuatu yang buruk. Inilah pentingnya untuk memilah dan memilih informasi terdahulu (maklumat sabiqoh).
Sayangnya, di zaman modern yang didominasi oleh sekularisme seperti saat ini, tontonan penuh kemaksiatan justru menjadi santapan sehari-hari. Inilah kerugiannya jika kita hidup di dalam sistem kapitalisme sekuler, media dibebaskan untuk menayangkan konten apapun asalkan mampu mendapatkan cuan berlipat ganda. Penguasa kapitalis tidak akan mempedulikan efek tayangan atau konten yang diserap oleh masyarakat, selama hal tersebut mampu menghasilkan keuntungan ekonomi. Sungguh amat berbeda dengan sistem Islam.
Berita Lainnya : Kim Mi Soo, Pemeran Drakor Snowdrop Meninggal Dunia
Peran Negara
Negara yang menerapkan sistem Islam dan menjadikan syariat Islam sebagai aturan kehidupan tidak akan pernah membiarkan rakyatnya berkubang dalam kemaksiatan. Sebab, pemimpin adalah orang yang paling bertanggung jawab di akhirat kelak jika ada satu saja masyarakatnya yang menyimpang dari aturan Allah. Karena itu, dalam sistem Islam, media akan dikontrol oleh penguasa sehingga tidak akan menayangkan konten – konten berbau penyimpangan terhadap aturan Allah seperti wanita yang membuka aurat, apalagi konten yang jelas-jelas merusak seperti perselingkuhan dan zina.
Penguasa pun akan menjamin kebutuhan setiap rakyat agar masyarakat mampu memfokuskan diri untuk beribadah kepada Rabb-Nya tanpa ada kekhawatiran terhadap sandang, pangan, papan ataupun pendidikan dan kesehatan. Semuanya akan dijamin secara gratis sehingga masyarakat mampu menunaikan kewajiban untuk beribadah dan menuntut ilmu. Maka dengan demikian akan menghasilkan individu-individu yang naqi (bersih/murni) dalam menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Allah Taala. Serta menghasilkan pula masyarakat yang peduli dan taat kepada aturan Allah, saling mengingatkan kepada kebenaran dan kesabaran.
Pasangan yang ingin menikah namun terkendala biaya akan dibiayai oleh negara. Setiap perbuatan kemaksiatan di masyarakat akan ditangani langsung dengan hukum Islam yang mampu menjadi zawajir (memberi efek jera) dan jawabir (penghapus dosa) bagi setiap manusia. Oleh karena itu, tidak akan terjadi kasus gamophobia di mana masyarakat sampai takut menikah hanya karena terpengaruh sebuah drama yang mengandung konten rusak di dalamnya. Wallahu’alam bisshawwab.