Porosmedia.com, Bandung – Keputusan OJK yang menggugurkan dua nama besar—Helmy Yahya dan Mardigu Wowiek Prasantyo—dari proses fit and proper test Bank BJB menandai satu hal penting: kursi komisaris bukan panggung selebritas, melainkan ruang strategis untuk menjaga integritas perbankan daerah.
Dalam wawancara dengan Porosmedia.com, R. Yadi Suryadi menegaskan bahwa publik sering salah memahami peran Dewan Komisaris dan Direktur Kepatuhan, padahal dua fungsi inilah yang menjadi “rem darurat” terhadap potensi penyimpangan dan risiko sistemik di dunia perbankan.
Bank Tak Akan Sehat Jika Komisaris Hanya Simbol Politik
Menurut Yadi, perbankan di Indonesia wajib memiliki Direktur Kepatuhan dan Komisaris Independen berdasarkan aturan OJK dan Bank Indonesia. Kewajiban ini bukan formalitas, tetapi bagian fundamental dari tata kelola yang baik.
“Komisaris bukan jabatan tambahan buat orang yang sedang populer. Ini posisi strategis yang menentukan arah kesehatan bank. Bank itu sensitif, sekali salah kelola bisa melibatkan uang publik,” tegas Yadi.
Yadi menilai bahwa Bank BJB—sebagai bank pembangunan daerah—sering mendapat sorotan karena struktur komisarisnya kerap diwarnai dinamika politik pemegang saham pemerintah daerah.
Inilah masalah hulunya: ketika posisi komisaris lebih diperlakukan sebagai “kursi penempatan”, bukan sebagai penjaga integritas.
Direktur Kepatuhan: Garda Terakhir Sebelum Bank Terjerumus
Yadi mengingatkan bahwa Direktur Kepatuhan adalah posisi vital yang sering disepelekan oleh publik.
Tugas utamanya: mencegah penyimpangan keputusan manajemen, memastikan kepatuhan terhadap regulasi OJK, BI, dan UU, menjadi “alarm sistem” terhadap risiko fraud, kredit bermasalah, dan pelanggaran prinsip kehati-hatian.
“Jika direktur kepatuhannya hanya formalitas, maka itu bom waktu. Bank bisa tampak baik di luar, tapi rapuh di dalam,” kata Yadi.
Ia juga menekankan bahwa peran Direktur Kepatuhan berhubungan langsung dengan risiko reputasi bank, yang pada akhirnya menyangkut potensi kerugian uang daerah dan masyarakat.
Bank BJB Harus Diselamatkan Melalui Penguatan Tata Kelola, Bukan Pengisian Kursi
Terkait dinamika terakhir di BJB, Yadi bersikap tegas: “Gagalnya beberapa kandidat komisaris di uji OJK harus dibaca sebagai peringatan. Ini bukan sekadar gagal administrasi, tapi sinyal bahwa BJB membutuhkan figur yang memenuhi integritas, pengalaman, dan pemahaman perbankan yang kuat.”
Yadi juga menyoroti arah kebijakan nasional yang berencana menyederhanakan struktur komisaris di BUMN sektor perbankan, termasuk bank daerah. Menurutnya, langkah ini tepat. Alasannya: 1. semakin banyak komisaris tidak berarti semakin sehat; 2. perbankan membutuhkan profesional, bukan penumpang; 3. semakin ramping struktur, semakin jelas garis akuntabilitasnya.
Untuk itu, Komisaris Independen sebagai Penjaga Moral Lembaga, Bukan Sekadar Penonton yang artinya Komisaris Independen memiliki tugas yang tidak bisa dinegosiasi: yakni, mengawasi operasional bank, memastikan prinsip kehati-hatian dijalankan, menjaga transparansi dan memberikan penilaian objektif tanpa intervensi politik.
Yadi menilai bahwa Bank BJB harus memperketat standar rekruitmen komisaris independen. “Independen berarti bebas dari tekanan politik dan kepentingan bisnis. Tanpa independensi, komisaris hanya asesoris,” ujar Yadi.
Saatnya BJB Mengembalikan Kesakralan Fungsi Komisaris dan Direktur Kepatuhan, karena menurut Yadi, Bank BJB bukan sekadar bank. Ia adalah lembaga yang mengelola dana publik, APBD daerah, gaji ASN, hingga kebutuhan pembiayaan UMKM dan pembangunan.
Karena itu, jabatan komisaris dan direktur kepatuhan bukan hanya jabatan, tetapi mandat moral.
“Perbankan daerah harus jadi contoh tata kelola, bukan ikut-ikutan model politik. Kalau BJB mau tetap jadi bank besar, ya mulai dari hulunya: profesionalkan komisarisnya,” tutup Yadi.
Bank yang Sehat Dibangun dari Integritas Struktur, Bukan dari Popularitas Pejabatnya
Opini ini menegaskan bahwa:
Direktur Kepatuhan dan Komisaris Independen adalah pilar kesehatan bank.
Bank BJB memerlukan figur yang kuat secara integritas dan pengalaman, bukan nama besar tanpa kompetensi teknis.
Kebijakan OJK harus dibaca sebagai peluang pembenahan, bukan sebagai kontroversi.
Penguatan tata kelola jauh lebih penting daripada penambahan jumlah komisaris.
Porosmedia.com melihat bahwa suara kritis seperti yang disampaikan R. Yadi Suryadi adalah pengingat bahwa bank daerah tidak boleh dikelola seperti lembaga biasa.
Ia harus steril dari motif politik, bersih dari intervensi, dan sepenuhnya fokus pada stabilitas serta kepentingan publik.







