Skandal Penipuan Kepala Dinas di Kota Bandung: Antara Jalur Langit dan Ketegasan Hukum

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Di balik euforia pelantikan 13 pejabat baru di lingkungan Pemerintah Kota Bandung yang diklaim sebagai babak baru menuju pemerintahan yang unggul dan amanah, justru mencuat kabar yang meretakkan kepercayaan publik. Seorang pejabat tinggi, Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Bandung, (DK), dilaporkan atas dugaan penipuan dan/atau penggelapan dana ratusan juta rupiah. Ironisnya, kasus ini bukan hanya mengusik etika birokrasi, tapi menguji komitmen Wali Kota Muhammad Farhan dalam membasmi praktik menyimpang di lingkar kekuasaan.

Pelaporan terhadap DK dilakukan oleh seorang warga berinisial R.YG, yang mengklaim telah menjadi korban janji manis sang kepala dinas. Bermula dari permintaan “dana talangan” untuk proyek fiktif di Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB), DK yang saat itu menjabat sebagai kepala dinas, disebut-sebut menjanjikan keuntungan besar. Namun, hingga bertahun-tahun berlalu, uang tak kunjung kembali. Bukannya menyelesaikan masalah, DK justru memberikan cek kosong senilai Rp357.975.000 yang ditolak pihak bank karena dana tidak mencukupi.

Sinyal bahaya bagi Pemkot Bandung bukan sekadar dari dugaan kriminalitas yang menyeret nama DK. Menurut Pengamat Kebijakan Publik dan Politik Wempy Syamkarya jangan sampai pola ini selalu berulang: birokrat menjadikan jabatan sebagai alat memperkaya diri. Dugaan penipuan ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia terjadi di tengah semangat reformasi birokrasi yang diusung Farhan dengan slogan “Bandung Unggul, Terbuka, Amanah, Maju, dan Agamis”. Kini, jargon itu diuji realitasnya.

Baca juga:  Mari Dukung Saudara Kita di Palestina dengan Doa dan Donasi

Wali Kota Farhan harus menyadari bahwa kasus ini berpotensi menjadi preseden buruk, apalagi DK merupakan satu-satunya perempuan dalam lingkaran pejabat eselon tinggi. Jika tidak ditangani secara tegas, Farhan akan dicap permisif terhadap pelanggaran etik dan hukum, apalagi ia sendiri adalah figur publik yang menjanjikan transparansi dan akuntabilitas sejak awal menjabat.

Dalam pernyataannya kepada media, Senin, 7 Juli 2025, di Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Bandung, Jalan Sumbawa, Kota Bandung, DK menyebut bahwa persoalan ini sudah “diselesaikan secara kekeluargaan” dan ia memilih “jalur langit” untuk keluar dari masalah. Ungkapan ini menyiratkan penolakan terhadap jalur hukum formal dan menjadi cermin sikap feodal yang masih tumbuh dalam birokrasi modern: bersembunyi di balik spiritualitas ketika berhadapan dengan konsekuensi hukum.

Pernyataan DK tak hanya mencederai rasa keadilan, tapi juga memperlihatkan betapa lemahnya sense of accountability di kalangan pejabat publik. Bukannya menunjukkan rasa malu dan tanggung jawab, ia malah menyandarkan solusi pada hal-hal yang tidak bisa diverifikasi secara publik.

Salah satu pemerhati Kota Bandung, yang enggan disebutkan namanya, hanya tertawa mendengar alasan “jalur langit” tersebut. Bahkan di internal ASN, muncul suara-suara agar media tidak mencampuri urusan ini karena “sudah ditangani kepolisian”. Sebuah sinyal betapa sempitnya pemahaman sebagian aparatur soal keterbukaan dan fungsi pengawasan publik.

Baca juga:  Anggota DPRD Kota Cimahi Dadang Mulyana Angkat Bicara Soal Jalan KCIC yang Kumuh dan Jadi Tempat Parkir Truk Besar

Maka dari itu, Wempy Syamkarya lebih dalam menerangkan Farhan berada pada titik genting. Publik menanti, apakah ia akan mengambil tindakan tegas, atau justru terjebak dalam kompromi politik dan loyalitas personal. Investigasi internal harus segera dilakukan secara terbuka, dengan melibatkan Inspektorat dan BKPSDM. Jika terbukti bersalah, DK harus dinonaktifkan sementara, atau bahkan diberhentikan demi menjaga marwah birokrasi.

Bukan hanya itu, Farhan juga perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan internal, termasuk memperkuat mekanisme kontrol proyek dinas-dinas. Kasus ini menunjukkan bahwa ruang bagi penyimpangan masih terbuka lebar—dan itu berbahaya bagi iklim pemerintahan yang sedang dibangun.

Selanjutnya, penyelesaian kasus ini tak cukup hanya lewat pidana. Pemerintah Kota Bandung harus melakukan autopsi birokrasi: menelusuri mengapa seorang kepala dinas bisa leluasa meminta dana proyek kepada pihak luar tanpa dasar hukum jelas. Siapa yang membiarkan celah itu terbuka? Apakah ada jaringan yang lebih besar di balik satu nama DK?

Dalam situasi krisis kepercayaan seperti ini, komunikasi publik yang jujur dan terbuka mutlak diperlukan. Farhan harus tampil di depan, menjelaskan langkah-langkah konkret yang diambil. Ia harus bersikap sebagai pemimpin, bukan sekadar manajer kebijakan.

Baca juga:  Ketika Suara Pedagang Diabaikan: Pasar Ciroyom, APPSINDO, dan Mandat yang Dikhianati

Kasus DK bukan hanya perkara hukum, tapi ujian integritas bagi pemerintahan Farhan. Kota Bandung tak boleh dibiarkan dikelola oleh orang-orang yang lebih pandai menciptakan ilusi proyek daripada melayani publik. Keadilan tidak boleh diselesaikan di balik pintu kekeluargaan, apalagi dijustifikasi dengan kalimat magis seperti “jalur langit”.

Semoga skandal ini menjadi pelajaran mahal yang memaksa perubahan nyata, bukan sekadar rotasi jabatan dan kata-kata manis di podium. Karena warga Bandung tidak butuh pemimpin yang hanya pandai berbicara, tapi pemimpin yang berani bertindak demi keadilan dan kebenaran.