Dirgahayu Polri, Polisi Ideal Itu Ada?

Avatar photo

Oleh: Komjen Pol (Purn) Drs. Firli Bahuri, M.Si.

Porosmedia.com – Perayaan hari ulang tahun senantiasa menjadi momentum penting bagi setiap institusi. Ada tiga makna utama yang bisa ditarik dari sebuah peringatan hari lahir: refleksi atas perjalanan yang telah ditempuh, evaluasi terhadap capaian dan kekurangan, serta penetapan strategi baru guna menjawab tantangan masa depan.

Demikian pula halnya dengan Hari Bhayangkara ke-79 pada 1 Juli 2025. Ia bukan sekadar seremoni, melainkan ruang kontemplasi kolektif: sejauh mana Polri telah memenuhi harapan masyarakat, dan pertanyaan mendasar yang kini sering muncul: masih adakah sosok polisi ideal?

Menjawab pertanyaan itu perlu dimulai dari pemahaman filosofis mengenai eksistensi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam sejarah peradaban, keberadaan polisi bukanlah sekadar penegak hukum, melainkan pilar penyangga ketertiban sosial demi terwujudnya tata tentrem kerta raharja—sebuah kondisi ideal masyarakat yang aman dan sejahtera.

Konsep ini sejalan dengan teori kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan Abraham Maslow—rasa aman, kebutuhan sosial, egoistik, aktualisasi diri, hingga kebutuhan fisiologis. Semua unsur tersebut hanya dapat terpenuhi jika ada ketertiban dan keamanan yang dijaga secara sistematis.

Baca juga:  Diduga Dikriminalisasi: Pengacara Muda LKBH-PKN Jadi Sasaran Manuver sekelompok Orang Tak Puas atas Pemberhentian Ketua Umum PKN

Di titik inilah kehadiran polisi menjadi vital, bahkan melengkapi struktur kekuasaan negara sebagaimana konsep Trias Politika Montesquieu. Namun, seperti dijelaskan antropolog Cornelis van Vollenhoven, tiga cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) tidak cukup untuk menegakkan keteraturan sosial tanpa kehadiran lembaga kepolisian sebagai penjaga ketertiban umum.

Dengan kata lain, polisi hadir bukan sekadar sebagai instrumen represif, melainkan bagian tak terpisahkan dari struktur sosial yang menjaga agar hak-hak dasar warga dapat diwujudkan.

Dalam konteks konstitusi, peran Polri tertaut erat dengan Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan perlindungan terhadap seluruh bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta berkontribusi terhadap ketertiban dunia.

Secara legal formal, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menegaskan bahwa tujuan Polri adalah menciptakan keamanan dalam negeri, menegakkan hukum, serta menyelenggarakan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Maka, polisi ideal adalah sosok yang sanggup mewujudkan tujuan itu dengan berpegang teguh pada nilai-nilai Tribrata dan mengamalkan Catur Prasetya sebagai landasan etik dan spiritual dalam menjalankan tugas.

Tribrata bukan sekadar doktrin, tetapi cerminan jiwa polisi Indonesia. Tiga butir Tribrata mengandung komitmen luhur:

Baca juga:  Teti Mulyati aktifis HIPSI Garut mendukung Gelar Doktor Honoris Causa Raffi Ahmad, Kemendikbudristek Tidak Mengakui

1. Berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
→ Nilai spiritualitas sebagai landasan pengabdian.

2. Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum.
→ Etika penegakan hukum yang berkeadilan.

3. Melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan.
→ Jiwa pelayanan sebagai identitas utama polisi ideal.

Lebih dari sekadar slogan, Catur Prasetya adalah janji hidup bagi setiap insan Bhayangkara:

1. Meniadakan segala bentuk gangguan keamanan.
→ Polisi hadir untuk memberi rasa aman, bukan menambah kegelisahan.

2. Menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda, dan hak asasi manusia.
→ Kepolisian harus menjamin perlindungan nyata terhadap seluruh elemen kehidupan masyarakat.

3. Menjamin kepastian berdasarkan hukum.
→ Tidak boleh ada penundaan keadilan. Delayed justice is denied justice.

4. Memelihara perasaan tentram dan damai.
→ Polisi menjadi agen perdamaian, bukan sumber keresahan.

Catur Prasetya ini awalnya berakar dari nilai-nilai Sanskerta: Satya Haprabu (kesetiaan pada negara), Hanyaken Musuh (menghapuskan ancaman), Giniung Pratidina (mengagungkan negara), dan Tansa Tresna (tidak terikat nafsu duniawi). Nilai-nilai ini kemudian dimodernisasi ke dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami dan diinternalisasi.

Baca juga:  Pengamat :  Penyitaan Barang Milik Hasto Kristiyanto oleh KPK Sudah Tepat, Apalagi terbukti 'menyembunyikan'

Saya percaya, meskipun tantangan dan persepsi publik terhadap institusi Polri tidak selalu positif, polisi ideal masih ada. Sosok yang bekerja dalam senyap, menjunjung integritas, serta konsisten menjalankan Tribrata dan Catur Prasetya secara murni dan konsekuen.

Namun untuk memperkuat dan memperluas keberadaan sosok polisi ideal itu, saya mendorong agar institusi Polri melakukan retreat moral secara berkala—sebuah proses penyegaran nilai, penyadaran kembali terhadap esensi pengabdian, dan revitalisasi semangat Bhayangkara sebagai pelayan dan pelindung rakyat.

Kita butuh polisi yang bukan hanya cakap secara teknis, tapi juga matang secara moral. Polisi yang tidak hanya bekerja karena seragam, tapi karena panggilan nurani.

Dirgahayu Polri ke-79. Teruslah menjadi penjaga damai, pelayan rakyat, dan pilar peradaban. Polisi ideal itu ada, dan harus terus dihidupkan.

Penulis:
Komjen Pol (Purn) Drs. Firli Bahuri, M.Si.
Ketua KPK RI 2019–2023,
Kabaharkam Polri (2019),
Kapolda Sumsel (2019),
Kapolda NTB (2018–2019),
Wakapolda Jateng (2016–2017),
Wakapolda Banten (2014–2015).