Pemilu 2024: Evaluasi Kritis atas Dugaan Kegagalan Sistemik Demokrasi Indonesia

Avatar photo

Porosmedia.com – Pemilu 2024 di Indonesia telah menimbulkan berbagai kontroversi dan kritik tajam dari berbagai kalangan. Meskipun secara formal terlaksana, banyak pihak menilai bahwa proses demokrasi ini mengalami kegagalan sistemik yang signifikan. Berbagai pelanggaran, ketidaknetralan aparat, dan masalah teknis mencerminkan adanya krisis dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

1. Skala Pelanggaran: Indikator Gagalnya Proses Demokrasi

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat bahwa hingga 26 Februari 2024, terdapat 1.271 laporan dan 650 temuan dugaan pelanggaran selama tahapan Pemilu 2024. Dari jumlah tersebut, 479 kasus dikategorikan sebagai pelanggaran, yang mencakup pelanggaran administrasi, tindak pidana pemilu, pelanggaran kode etik, dan pelanggaran hukum lainnya.

Lebih lanjut, data Bawaslu per 6 Maret 2024 menunjukkan bahwa dari 2.264 laporan atau temuan, hanya 52,69 persen yang diregistrasi. Dari jumlah yang diregistrasi, 531 kasus dinyatakan sebagai pelanggaran, dengan pelanggaran kode etik menjadi yang paling banyak terjadi, yaitu 266 kasus.

2. Ketidaknetralan Aparat dan Penyelenggara Pemilu

Salah satu aspek krusial dalam pemilu adalah netralitas penyelenggara dan aparat negara. Namun, Bawaslu menemukan bahwa pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu menjadi pelanggaran terbanyak, dengan 205 kasus tercatat hingga 8 Januari 2024. Kasus-kasus ini mencakup ketidaknetralan Panwaslu Kecamatan, KPU yang tidak profesional dalam perekrutan PPK/PPS/KPPS, dan PPK yang menunjukkan keberpihakan kepada peserta pemilu.

Baca juga:  Efek Jera Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi & Hak Politik

Selain itu, pelanggaran hukum lainnya didominasi oleh ketidaknetralan aparat pemerintah, termasuk aparatur sipil negara, kepala desa, perangkat desa, hingga kepala daerah.

3. Masalah Teknis dan Logistik yang Mengganggu Integritas Pemilu

Masalah teknis dan logistik juga menjadi sorotan dalam Pemilu 2024. Di Cimahi, misalnya, pemungutan suara tidak dapat dilakukan di salah satu tempat pemungutan suara karena kotak suara yang dikirim kosong. Di Kabupaten Bogor, Bawaslu mengonfirmasi bahwa delapan surat suara telah dicurangi untuk memilih kandidat tertentu sebelum didistribusikan kepada pemilih. Selain itu, Bawaslu mencatat sekitar 1.200 pelanggaran pemilu selama pemungutan suara, sebagian besar terkait dengan pelanggaran etika dan ketidaknetralan oleh pegawai pemerintah.

Selama penghitungan suara, muncul tuduhan bahwa suara yang ditampilkan dalam aplikasi daring Sirekap yang dibuat oleh KPU lebih besar daripada hasil sebenarnya.

4. Evaluasi Terhadap Kinerja Bawaslu, Mendagri, Kapolri, dan DPR RI

Evaluasi terhadap kinerja lembaga terkait menunjukkan adanya kelemahan dalam pengawasan dan penegakan hukum.

Bawaslu: Meskipun telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan pengawasan, Bawaslu mengakui adanya permasalahan dalam penanganan pelanggaran, termasuk waktu penanganan yang panjang dan kurangnya pemahaman bersama dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).

Baca juga:  Partai Koalisi Cimahi Bersatu Nomor Urut 1 Dikdik – Bagja Perusakan APK Akan Dilaporkan Kepada Pihak Bawaslu Dan Polres Dengan Bukti Rekaman CCTV

Kementerian Dalam Negeri (Mendagri): Sebagai pembina aparatur sipil negara dan pemerintah daerah, Mendagri memiliki tanggung jawab untuk memastikan netralitas aparat. Namun, temuan Bawaslu menunjukkan adanya pelanggaran oleh kepala daerah dan perangkat desa, yang mencerminkan kurangnya pengawasan dan pembinaan dari Mendagri.

Kepolisian Republik Indonesia (Polri): Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengerahkan 261.695 personel untuk mengamankan Pemilu 2024. Namun, masih terjadi intimidasi terhadap petugas pemilu di 1.473 tempat pemungutan suara, yang menunjukkan perlunya evaluasi terhadap efektivitas pengamanan yang dilakukan.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI): Sebagai lembaga legislatif, DPR RI memiliki fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan pemilu. Namun, belum terlihat tindakan konkret dari DPR RI dalam menanggapi berbagai pelanggaran dan permasalahan yang terjadi selama Pemilu 2024.

5. Kesimpulan: Kegagalan Sistemik dalam Pemilu 2024

Berdasarkan data dan temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemilu 2024 mengalami kegagalan sistemik yang mencakup berbagai aspek, mulai dari pelanggaran oleh penyelenggara dan aparat, masalah teknis dan logistik, hingga kurangnya pengawasan dan penegakan hukum. Hal ini mencerminkan adanya krisis dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia, yang memerlukan evaluasi menyeluruh dan reformasi dalam sistem pemilu.

Baca juga:  Basa-Basi Seleksi, Pengkondisian Calon Pimpinan KPK yang Bisa Kompromi Korupsi

Untuk memulihkan kepercayaan publik dan memastikan integritas pemilu di masa depan, diperlukan langkah-langkah konkret, termasuk penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran, peningkatan kapasitas dan profesionalisme penyelenggara pemilu, serta penguatan pengawasan oleh lembaga legislatif dan masyarakat sipil.