Ijasah dalam Prespektif Sejarah, Akademis dan Hukum: antara Legitimasi Pendidikan dan Kecurangan Struktural 

Avatar photo

Porosmedia.com – Ijazah telah lama menjadi simbol keberhasilan akademik di Indonesia. Di mata masyarakat, ijazah bukan sekadar kertas bukti kelulusan, tetapi sering kali dianggap sebagai tiket menuju pekerjaan, status sosial, dan bahkan kekuasaan. Namun, di tengah fungsinya yang strategis, ijazah juga menjadi objek penyimpangan, mulai dari pemalsuan hingga jual-beli. Artikel ini akan membedah secara kritis sejarah lahirnya sistem ijazah di Indonesia, menilai bobot akademis dan hukum dalam kasus pemalsuan, serta mengurai alasan mengapa ijazah begitu dikultuskan dalam dunia pendidikan dan sosial-politik tanah air.

Sejarah Ijazah di Indonesia: Warisan Kolonial dan Standarisasi Nasional

Sistem ijazah di Indonesia merupakan warisan langsung dari kolonialisme Belanda. Pada masa Hindia Belanda, lembaga pendidikan yang dibentuk seperti Europeesche Lagere School (ELS), Hollandsch-Inlandsche School (HIS), hingga Hoogere Burgerschool (HBS) semuanya menggunakan ijazah sebagai alat standarisasi pendidikan. Setelah Indonesia merdeka, sistem ini dilestarikan dan diadaptasi oleh pemerintah sebagai instrumen formalisasi hasil belajar.

Pada era Orde Baru, kebijakan pendidikan semakin menekankan pada sertifikasi. Ijazah menjadi syarat mutlak dalam semua jenjang pekerjaan, baik di sektor publik maupun swasta. Standarisasi kurikulum nasional juga menegaskan posisi ijazah sebagai legitimasi tunggal keberhasilan pendidikan formal. Dalam konteks ini, ijazah berubah dari sekadar dokumen administratif menjadi simbol status dan mobilitas sosial.

Baca juga:  Sudah Diakui Pemerintah, Pejabat yang Menolak Ijazah Pesantren Bisa Digugat di PTUN

Makna Akademis Ijazah: Simbol Kompetensi atau Formalitas Kosong?

Secara ideal, ijazah merepresentasikan capaian intelektual, keterampilan, dan etika akademik seseorang. Namun dalam praktik, kualitas ijazah tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan nyata lulusan. Banyak kritik diarahkan pada sistem pembelajaran yang lebih berorientasi pada kelulusan dan angka, bukan penguasaan substansi ilmu. Fenomena “sekolah untuk ijazah” menjamur, di mana peserta didik hanya mengejar kelulusan tanpa integritas akademik.

Ijazah akhirnya mengalami reduksi makna. Di banyak kasus, ia menjadi alat formalitas semata, tanpa memastikan kualitas sumber daya manusia. Hal ini diperparah dengan maraknya praktik jual beli ijazah, rekayasa nilai, hingga kemunculan “kampus abal-abal” yang hanya memproduksi ijazah tanpa proses pembelajaran memadai.

Aspek Hukum: Pemalsuan Ijazah sebagai Kejahatan Akademik dan Pidana

Dari perspektif hukum, pemalsuan ijazah merupakan tindakan kriminal serius. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara eksplisit melarang pemalsuan dokumen pendidikan. Pasal 263 KUHP menyatakan bahwa barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, kewajiban atau pembebasan utang, diancam pidana penjara hingga enam tahun.

Baca juga:  Kiamat Ekologi : Saat Sampah Membunuh Kota

Selain itu, aspek akademik juga mencatatkan pemalsuan ijazah sebagai pelanggaran etika berat. Jika dilakukan oleh pejabat publik, dosen, atau tenaga pendidik, konsekuensinya bisa berupa pencabutan gelar, pemecatan, bahkan sanksi administratif dari kementerian terkait. Dalam konteks pendidikan tinggi, hal ini mencederai nilai keilmuan dan integritas lembaga akademik.

Mengapa Ijazah Dianggap Penting: Antara Status Sosial dan Kepentingan Struktural

Ijazah memiliki posisi simbolik dan praktis yang sangat kuat dalam masyarakat Indonesia. Ia berfungsi sebagai “pembuka pintu” dalam rekrutmen kerja, seleksi CPNS, pemilihan politik, hingga akses pendidikan lanjutan. Sistem birokrasi yang rigid menjadikan ijazah sebagai satu-satunya alat ukur kualifikasi, tanpa banyak mempertimbangkan pengalaman atau kapasitas nyata.

Dalam banyak kasus, orang lebih dihargai karena gelarnya ketimbang kontribusi riilnya. Inilah yang memicu kehausan terhadap ijazah dan gelar akademik, bahkan jika harus diperoleh secara tidak sah. Maka, ijazah bukan sekadar simbol pencapaian, tapi telah menjadi alat akumulasi kekuasaan dalam struktur sosial yang masih kental dengan patronase dan formalisme.

Baca juga:  Ziarah Aktivis 98 ke Makam Hafidin Royan, Mengenang Pahlawan Reformasi dari Bandung

Rekomendasi

Secara historis, ijazah merupakan instrumen penting dalam sistem pendidikan Indonesia, namun transformasinya menjadi alat legitimasi sosial telah menimbulkan distorsi makna dan penyimpangan hukum. Pemalsuan ijazah bukan sekadar kejahatan administratif, tapi juga bentuk sabotase terhadap dunia pendidikan dan keadilan sosial.

Diperlukan reformasi mendasar dalam cara pandang terhadap ijazah. Pemerintah perlu memperkuat sistem verifikasi ijazah berbasis digital dan transparan. Dunia kerja harus mulai menilai kompetensi berdasarkan praktik, portofolio, dan integritas, bukan semata-mata ijazah. Masyarakat pun perlu dididik untuk melihat pendidikan sebagai proses pembelajaran, bukan sekadar koleksi gelar.

Sebagaimana dikatakan Paulo Freire, pendidikan seharusnya menjadi alat pembebasan, bukan instrumen penindasan melalui birokratisasi nilai. Maka, saatnya kita meletakkan ijazah di tempat yang proporsional: sebagai bukti kompetensi, bukan komoditas kekuasaan.