Porosmedia.com – Di tengah dinamika sosial dan politik Indonesia era 70-an, muncul sekelompok pemuda cerdas yang mengubah wajah hiburan nasional. Mereka adalah Dono, Kasino, dan Indro—tiga nama yang kemudian abadi dalam sejarah sebagai Warkop DKI, ikon lawakan yang tak sekadar mengundang tawa, tetapi juga menyentil nalar dan menggugah empati masyarakat.
Awal Mula: Dari Udara Radio ke Panggung Layar
Warkop, singkatan dari Warung Kopi, pertama kali hadir bukan di layar lebar, melainkan di udara—melalui program radio Prambors pada awal 1970-an. Bermula dari kelompok lawak Warkop Prambors, anggotanya terdiri dari mahasiswa Universitas Indonesia dan Universitas Pancasila yang kritis dan penuh ide segar. Mereka adalah Dono (Drs. H. Wahyu Sardono), Kasino (H. Kasino Hadiwibowo), Indro (H. Indrodjojo Kusumonegoro), serta dua anggota awal lainnya: Nanu Moeljono dan Rudy Badil.
Nanu memilih mundur lebih awal dan wafat pada 1983, sementara Rudy Badil yang mengalami kelumpuhan tidak melanjutkan kiprahnya di panggung hiburan. Maka sejak akhir 1970-an, nama Warkop DKI—mengambil inisial dari Dono, Kasino, dan Indro—menjadi formasi tetap yang melegenda.
Masa Keemasan: Lawak Cerdas yang Menembus Layar Lebar
Masuk ke dunia perfilman pada tahun 1979 lewat film Mana Tahaaan…!, Warkop DKI langsung merebut hati penonton. Gaya humor mereka berbeda. Tak sekadar slapstick, tapi menyajikan satire sosial, kritik halus terhadap birokrasi, kemiskinan, pendidikan, hingga ketimpangan sosial. Canda mereka dibalut cerdas, menggelitik, dan tetap relevan lintas generasi.
Dalam kurun waktu dua dekade, Warkop DKI membintangi lebih dari 30 judul film. Beberapa yang paling dikenang antara lain:
Gengsi Dong (1980)
Setan Kredit (1981)
Sama Juga Bohong (1986)
Maju Kena Mundur Kena (1983)
CHIPS (1982)
Depan Bisa Belakang Bisa (1987)
Lupa Aturan Main (1990)
Tak hanya di bioskop, mereka juga merambah layar kaca lewat serial Warkop DKI di TVRI dan beberapa stasiun swasta yang muncul setelah era reformasi.
Perlahan Menepi: Ketika Tawa Berganti Duka
Kehidupan adalah panggung yang tak abadi. Kasino mulai jatuh sakit pada awal 1990-an. Setelah berjuang melawan tumor otak, ia wafat pada 18 Desember 1997. Kepergiannya menyisakan luka mendalam, bukan hanya bagi keluarga, tapi juga seluruh rakyat Indonesia yang tumbuh bersama tawanya.
Dua tahun berselang, Dono pun divonis kanker paru-paru. Sang profesor yang pernah menjadi dosen sosiologi UI itu berpulang pada 30 Desember 2001. Kepergiannya seolah menggenapkan sunyi yang dulu dipenuhi gelak tawa.
Kini, Indro DKI menjadi satu-satunya anggota Warkop yang masih hidup. Di usianya yang senja, ia terus memperjuangkan nilai-nilai persahabatan, idealisme seni, dan warisan moral yang dulu mereka bangun bersama.
Warisan Abadi: Tawa yang Tak Pernah Mati
Warkop DKI bukan sekadar grup lawak. Ia adalah refleksi zaman, cermin masyarakat, dan simbol persatuan dalam tawa. Di balik banyolan mereka, terselip kepekaan sosial, intelektualitas, dan kritik konstruktif yang jarang dimiliki komedian lain.
Meski dua sosok utama telah tiada, karya-karya mereka tetap hidup. Film-filmnya terus diputar ulang, dialog-dialognya dijadikan meme, dan nilai-nilainya terus dikenang.
Mereka mengajarkan kita bahwa menghibur adalah ibadah, bahwa tawa bisa menjadi cara paling elegan untuk mencintai negeri ini.