Oleh: Harri Safiari (Praktisi Media dan Pemerhati Sosial dan Publik)
Porosmedia.com – Niscaya, warga awam di negeri ini masih suka bertanya, sedikitnya di dalam hatinya : Unjuk rasa yang ‘halal’ alias dibolehkan, dan berdaya guna, seperti apa sih wujudnya?
Ini dia jawaban termudah untuk pertanyaan di atas, basisnya masih merujuk pada UUD 1945 Pasal 28E. Pasal ini, menjamin kebebasan menyampaikan pendapat, serta UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Artinya, demonstrasi sah secara hukum, selama memenuhi 3 syarat:
1. Pemberitahuan kepada aparat kepolisian minimal 3×24 jam sebelumnya.
2. Dilaksanakan secara damai, tertib, dan tidak melanggar hukum (tidak merusak fasilitas umum, tidak mengganggu hak orang lain, serta tidak membawa senjata).
3. Menjunjung etika demokrasi, artinya punya tuntutan jelas, tidak provokatif, serta bertanggung jawab.
Lalu,bagaimana bentuk unjuk rasa yang “halal” dan berdaya guna? Kira-kira demikian lanjutan kata tanya ini.
Secara teoritis, tuntutan itu sebaiknya spesifik dan terukur: Misalnya menolak kebijakan tertentu dengan alternatif solusi, bukan sekadar penolakan umum yang tak jelas apa yang harus dilakukan, utamanya para pembuat keputusan.
Selanjutnya lakukan koordinasi internal yang kuat: Hadirkan juru bicara resmi, ada tim dokumentasi, dan adakan aturan internal perihal disiplin massa saat turun ke jalan.
Bermitralah dengan pegiat media: Tujuannya agar pesan lebih cepat tersampaikan jika ada liputan.
Jagalah citra damai dengan konsisten: Duduk damai, orasi, long march dengan izin, aksi simbolik (misalnya teatrikal atau performance art). Ini membuat legitimasi publik lebih kuat.
Lakukan advokasi berkelanjutan: Setelah aksi, tindak-lanjuti melalui petisi, dialog, judicial review, atau advokasi hukum.
Rujukan Demokrasi Level Dunia
Paling populer ditigkat dunia, unjuk rasa fenomenal yang menjadi rujukan di negara-negara demokrasi, antara lain: Martin Luther King Jr. (Amerika Serikat) – menekankan non-violent resistance (1963-an):
Perjuangan tanpa kekerasan adalah cara paling bermartabat untuk perubahan sosial. Pidatonya berjudul I Have a Dream yang memperjuangkan kesetaraan, serta menolak Perang Vietnam pada 23 Maret 1967, masih dikenang banyak kalangan hingga kini.
Lanjutnya, Mahatma Gandhi (India, 1869 – 1948) – dengan konsep satyagraha (kekuatan kebenaran), mengajarkan bahwa perlawanan damai lebih kuat daripada kekerasan. Terbukti berkat Mahatma Gandhi senantiasa kukuh dengan gerakan damai, India bisa meraik kemerdekaannya dari Inggris pada 15 Agustus 1947.
Nelson Mandela (Afrika Selatan, 1918 – 2013) – meski awalnya keras, kemudian menekankan rekonsiliasi dan aksi massa yang mengarah pada kesetaraan dan demokrasi. Kandungan gerakannya, ia dipandang sebagai revolusioner anti apartheid hingga menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan periode 1994 – 1999.
Penting dicatat ada Greta Thunberg (Swedia, isu iklim) – contoh generasi baru yang konsisten menyuarakan perubahan lewat aksi damai global Usianya pada 2025 masih sekitar 20-an, Sosoknya makin mendunia, karena ia memperjuangkan aksi atas masalah perubahan iklim.
Paling anyar ia tak kapok-kapok, kembali ke Gaza dari Barcelona (31/8/2025), menerobos blokade Israel atas wilayah Palestina untuk membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Yang “boleh dan berdaya guna”
Begini kawan, intinya unjuk rasa yang ‘halal’ itu, sebaiknya berlandaskan hukum dan prosedur.Eloknya, dilakukan secara damai, bermartabat, dan komunikatif. Kandungan utamanya, meliliki tuntutan spesifik, realistis, dan punya jalur advokasi lanjutan. Lalu, mengutamakan legitimasi moral, serta publik, bukan sekadar mobilisasi massa atawa abring-abringan teu puguh!.
Rujukan & Tokoh di Indonesia
Keberadaan unjuk rasa di negeri kita, ia merupakan salah satu cara rakyat menyampaikan suara dan aspirasinya. Aksi ini memiliki posisi penting karena menjadi wujud nyata dari kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.
Sayangnya, acap kali unjuk rasa dipandang sebelah mata, bahkan dianggap mengganggu ketertiban umum. Padahal, jika dijalankan dengan tertib, damai, dan sesuai hukum, unjuk rasa bukan hanya “halal”, tetapi juga berdaya guna sebagai sarana koreksi sosial dan jembatan komunikasi antara masyarakat dengan pengambil kebijakan.
Sekedar info, ini beberapa rujukan unjuk rasa yang masuk kisi-sisi ‘halaldan berdaya guna’ ala Indonesia. Beberapa di antaranya, gerakan Mahasiswa 1966 (Tuntutan: Tritura, Turunkan harga, Bubarkan PKI, dan Rombak Kabinet), dampaknya rezim Orde Lama beralih kekuasaan ke Orde Baru; Demonstrasi Malari 1974, ini dipicu kunjungan Perdana Menteri Jepang, menyoroti dominasi modal asing.
Dampaknya, mengguncang stabilitas politik awal Orde Baru, meski berujung kerusuhan; Reformasi 1998, dengan tuntutan turunkan Soeharto, hapus KKN, demokratisasi. Tokoh utamanya mahasiswa dari berbagai kampus (Trisakti, UI, UGM, dll.), dengan dampak lanjutan Presiden Soeharto lengser, dan lahir era Reformasi; Pada 2019 bergulir Aksi Menolak UU KPK.
Gerakan ini muncul karena mahasiswa dan masyarakat sipil menolak revisi UU KPK yang dianggap melemahkan pemberantasan korupsi.
Dampaknya, masih bias walaupun muncul penguatan kesadaran publik soal pentingnya lembaga antikorupsi, dengan catatan hingga 2025 fungsi KPK masih dipertanyakan efektivitasnya.
Selanjutnya ada Aksi Menolak Omnibus Law 2020, pada tahap ini buruh, mahasiswa, dan aktivis menentang UU Cipta Kerja karena dianggap merugikan pekerja dan lingkungan.Dampaknya, gelombang protes nasional, meski UU tetap disahkan.
Rasanya tak lengkap bila di Indonesia pun banyak beberapa tokoh rujuan di antaranya: Soe Hok Gie – aktivis mahasiswa era 1960-an, dikenal lewat catatan dan perjuangan moralnya. Lanjutannta ada Hariman Siregar – tokoh Malari 1974, ikon mahasiswa kritis. Lalu ada Budiman Sudjatmiko – aktivis PRD yang vokal pada era 1990-an.
Lainnya yang lebih massive Para aktivis Reformasi 1998 – meski banyak bersifat kolektif, nama seperti mahasiswa Trisakti dan elemen Cipayung (HMI, GMNI, PMKRI, dll.) sering disebut. Selanjutnya ada tokoh buruh seperti Said Iqbal (KSPI) pada era 2020-an, ia banyak memimpin aksi terkait kesejahteraan pekerja.
Sebelumnya ada Marsinah, wanita kelahiran Nglundo, Jawa Timur 10 April 1969. Marsinah dikenal sebagai pembela hak-hak buruh di PT Catur Putra Surya di Porong, Sidoarjo. Selanjutnya ada Muchtar Pakpahan (1953 – 2021), ia pendiri Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Seterusnya ada nama-nama Jacob Nuwa Wea, Thamrin Mosii, Agus Sudono, serta Bomer Pasaribu. (RD).







