Porosmedia.com, Klaten – Di sebuah bengkel di Trucuk, Klaten, Jawa Tengah, terukir kisah inspiratif Sukiyat, sosok visioner kelahiran 22 April 1957 yang melambungkan nama Kiat Esemka—mobil kebanggaan anak bangsa yang sempat menjadi fenomenal di Indonesia. Meski mengalami lumpuh di kaki kiri akibat polio sejak usia enam tahun, Sukiyat tak pernah surut semangat. Dari balik keterbatasannya, ia membuktikan bahwa kegigihan dan kecerdasan lokal mampu melahirkan karya monumental, sekaligus menegaskan filosofi hidupnya yang sarat makna.
Perjalanan Karier: Dari Bengkel Kecil hingga Lahirnya Kiat Esemka
Sukiyat memulai kariernya pada 1977 dengan mendirikan Kiat Motor di Kradenan, Trucuk, Klaten, Jawa Tengah, berbekal keterampilan tangan dan ketekunan, ia membangun bisnisnya secara bertahap. Pada 2004, ia memperluas usaha dengan membuka cabang di Ngaran, Mlese, Ceper, Klaten, yang kelak menjadi tempat ia mewujudkan ambisi besarnya.
Titik balik terjadi pada 2009, saat ia menjabat sebagai wakil ketua komite SMK Negeri 1 Trucuk. Prihatin dengan minimnya minat siswa terhadap jurusan otomotif, Sukiyat mengajak para siswa magang di bengkelnya untuk merakit mobil dari nol—sebuah proses yang penuh tantangan namun sarat pembelajaran sekaligus mencetak generasi-generasi muda terampil lahir dari tangan dingin Sukiyat . Pada 2011, lahirlah Kiat Esemka, yang langsung mencuri perhatian nasional ketika Joko Widodo, Wali Kota Solo saat itu, menjadikannya sebagai kendaraan dinas. Nama Sukiyat pun melambung sebagai simbol inovasi lokal yang membanggakan.
Dalam setiap karyanya, Sukiyat selalu mengedepankan prinsip “3N”—niteni (mengamati), nirokke (meniru), dan nambahi (menambahkan)—sebuah pendekatan yang menggabungkan adaptasi teknologi modern dengan sentuhan kearifan lokal.
Filosofi Hidup: Kontribusi, Kerendahan Hati, dan Keteladanan
Lebih dari sekadar pencapaian teknis, Sukiyat mewariskan nilai-nilai luhur yang mendalam. “Bukan apa yang kudapatkan, tapi apa yang kupersembahkan kepada bangsa dan negara,” ujarnya suatu ketika, menegaskan bahwa esensi hidup terletak pada kontribusi, bukan keuntungan pribadi. Ia juga kerap berujar, “Kalau tidak bisa membuat jalan raya, namuuun buatlah jalan setapak yang menuju ke mata air,” sebuah metafora bahwa setiap upaya kecil—betapapun sederhananya—tetap bermakna selama memberi manfaat bagi kehidupan.
Bagi Sukiyat, keterbatasan fisik bukanlah penghalang, melainkan anugerah yang harus disyukuri. “Cacat adalah anugerah Ilahi yang mestinya disyukuri. Cacat bukan aib, melainkan ujian yang memacu kreativitas,” tegasnya. Polio yang melumpuhkannya justru menjadi pendorong untuk terus berkarya tanpa henti.
Dalam keseharian, ia menjalani hidup dengan prinsip-prinsip Jawa yang arif:
“Banter ojo ndisiki, landep ojo natoni, pinter ojo minteri” (Cepat tapi tak mendahului, tajam tapi tak melukai, pintar tapi tak menyombongkan diri).
“Adepan mapan empan, ojo gonyak ganyuk hangling semi” (Hadapi segala sesuatu dengan tenang, jangan terombang-ambing seperti benih tak bertumbuh).
Ia juga meyakini falsafah: “Bejo-bejone wong kang lali, isih bejo wong kang eling lan waspodo” (Beruntunglah orang yang selalu ingat dan waspada). “Koyo gabah kang den interi, sing menir awor menir las awor las, ketepu awor ketepu” (Hidup ibarat gabah yang harus disaring, memisahkan yang bernilai dari yang tak berguna).
Di tengah dedikasinya membangun generasi terampil, Sukiyat juga mewariskan falsafah hidup yang dalam tentang memberi tanpa pamrih. Ia kerap mengingatkan:
“Lamun siro di gawe becik wong liyan, ukiren ono watu”.
(Jika engkau diperlakukan baik oleh orang lain, ukirlah di atas batu—simpanlah dalam ingatan sebagai kebaikan yang abadi.).
Namun sebaliknya,
“Lebu Kena Angin ilang”.
(Tetapi jika engkau berbuat baik kepada orang lain, biarlah seperti debu tertiup angin—lupakan, jangan berharap balasan.).
Filosofi ini menjadi pedoman Sukiyat dalam perjalanan hidupnya. “Kebaikan itu harus tulus. Kalau kita berbuat baik sambil menunggu imbalan, itu bukan memberi, tapi berdagang,” ujarnya sambil melirik foto Jokowi penuh simbol isyarat tertentu.
Warisan Abadi: Inspirasi dari Klaten untuk Indonesia
Kini, di usianya yang ke-68, meskipun Kiat Esemka belum menjadi raksasa otomotif nasional, warisan Sukiyat jauh lebih berharga: ia membuktikan bahwa dari sebuah kota kecil seperti Klaten, dengan keterbatasan dan ketekunan, seseorang dapat memberi dampak besar bagi bangsa. Dengan semangat “Man jadda wajada” (Siapa yang bersungguh-sungguh, pasti akan berhasil), Sukiyat tetap menjadi sosok teladan yang menginspirasi generasi penerus untuk terus berkarya dengan hati dan integritas.