Porosmedia.com, Bandung – Pemerintah Provinsi Jawa Barat kembali menjanjikan pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang bersih, transparan, akuntabel, dan adil. Namun di balik pernyataan optimistis itu, muncul pertanyaan krusial: apakah sistem yang ada sudah benar-benar berpihak pada anak-anak dari keluarga miskin?
Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Herman Suryatman, menegaskan bahwa SPMB 2025 tetap akan dijalankan sesuai arahan Gubernur, Peraturan Menteri Pendidikan, dan prinsip keadilan sosial. “Kami pastikan semuanya bersih dan transparan,” ujarnya di Gedung Sate, Rabu (18/6/2025), saat mengumumkan tahapan dan skema jalur masuk.
Tahap pertama penerimaan telah dimulai sejak 16 Juni 2025 melalui jalur afirmasi, domisili, dan mutasi. Jalur prestasi akan dibuka dalam tahap kedua mulai 24 Juni hingga 1 Juli 2025.
Namun demikian, janji tersebut belum sepenuhnya meredam kritik publik. Berbagai kalangan masih mempertanyakan keberpihakan pemerintah terhadap kelompok rentan, terutama mereka yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atau program penghapusan kemiskinan ekstrem (P3KE).
Dalam pernyataannya, Sekda mengangkat satu kasus tragis: seorang siswa di Cirebon diduga melakukan percobaan bunuh diri karena tidak mampu membeli perlengkapan sekolah. Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa permasalahan pendidikan bukan sekadar soal kuota atau jalur penerimaan, tetapi juga terkait kemiskinan struktural yang belum diatasi secara serius.
Untuk mencegah situasi serupa, Pemprov Jabar menyatakan akan mengoptimalkan Bantuan Pendidikan Menengah Universal bagi siswa ekonomi lemah yang masuk sekolah swasta. Namun, efektivitas program ini juga patut dievaluasi, mengingat belum semua sekolah swasta mampu atau bersedia menampung siswa miskin secara penuh tanpa ada beban tambahan.
Dalam mengantisipasi lonjakan peserta dari keluarga tidak mampu, Pemprov tengah mempertimbangkan penambahan kuota siswa per rombongan belajar (rombel), dari 36 menjadi 50 orang. Hal ini sesuai sinyal positif dari Kementerian Pendidikan, namun tetap menyisakan kekhawatiran tentang kualitas pembelajaran dan beban guru.
Apakah solusi penambahan kuota ini akan memperparah kepadatan ruang kelas dan menurunkan mutu pendidikan? Jawabannya tergantung pada kesiapan infrastruktur sekolah dan pelatihan guru yang proporsional.
Kebijakan baru lainnya adalah penyertaan formulir pernyataan dukungan dari orang tua saat daftar ulang. Formulir ini diklaim sebagai bentuk sinergi antara rumah dan sekolah, namun memunculkan pertanyaan: apakah kebijakan ini menjamin ruang aman bagi guru atau justru membuka celah bagi potensi intimidasi terhadap orang tua?
“Kami ingin ada kepercayaan penuh dari orang tua kepada pihak sekolah. Tapi tentu tetap dalam koridor etika dan hukum, tanpa menimbulkan kesan kriminalisasi terhadap guru,” ujar Herman. Ia menambahkan bahwa guru perlu keberanian untuk bertindak dalam membina siswa, asalkan tidak melanggar UU Perlindungan Anak.
Namun pengamat kebijakan pendidikan mengingatkan bahwa akar masalah sering kali bukan karena kurangnya kepercayaan, melainkan komunikasi yang buruk, beban administrasi yang berlebihan, dan tidak adanya kanal aduan yang berpihak pada siswa dan guru secara seimbang.
Jalur afirmasi yang dibuka dalam SPMB 2025 terbagi menjadi dua kategori: KETM-P3KE dan KETM non-P3KE. Tujuannya jelas: mengakomodasi anak-anak dari kelompok kesejahteraan terendah. Namun dalam praktiknya, proses verifikasi dan validasi DTKS seringkali bermasalah, sehingga membuat banyak keluarga miskin tersingkir tanpa bisa membela diri.
Ironisnya, jika siswa tidak lolos tahap pertama, dan sudah menyetujui penyaluran ke sekolah swasta, maka mereka tidak dapat lagi mengikuti tahap kedua. Padahal banyak dari mereka belum mendapatkan pilihan terbaik karena keterbatasan akses dan informasi.
SPMB bukan sekadar urusan teknis tahunan, melainkan cerminan dari sejauh mana negara hadir dalam urusan mendasar: pendidikan yang adil dan merata. Komitmen transparansi dan keadilan harus diikuti dengan kebijakan yang terukur, tepat sasaran, dan responsif terhadap dinamika sosial ekonomi masyarakat.
Pemerintah tidak bisa sekadar mengandalkan retorika “bersih dan transparan”, tetapi harus memperkuat sistem pendataan, memudahkan mekanisme pengaduan, serta memperluas afirmasi berbasis kondisi real di lapangan — bukan sekadar dokumen.
Masyarakat harus terus memantau implementasi SPMB Jabar 2025 secara kritis dan objektif. Karena pendidikan bukan hanya tentang masuk sekolah, tetapi soal siapa yang benar-benar mendapat hak untuk bermimpi lebih tinggi.